Konsumsi Masyarakat Digenjot agar Terhindar dari Resesi
›
Konsumsi Masyarakat Digenjot...
Iklan
Konsumsi Masyarakat Digenjot agar Terhindar dari Resesi
Penanganan Covid-19 mesti lebih optimal agar masyarakat percaya diri untuk kembali beraktivitas dan meningkatkan konsumsi. Dengan cara itu, Indonesia akan terhindar dari jurang resesi.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi rumah tangga menjadi kunci untuk mencegah Indonesia tergelincir ke jurang resesi. Upaya mengembalikan rasa percaya diri konsumen untuk berbelanja terkait erat dengan penanganan Covid-19 yang optimal.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (5/8/2020), perekonomian Indonesia pada triwulan II-2020 tumbuh negatif 5,32 persen secara tahunan. Kontraksi terjadi pada seluruh pengeluaran. Konsumsi masyarakat yang selama ini berperan lebih dari 50 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia terkontraksi 5,51 persen.
Sekretaris Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede, Rabu, menyampaikan, sebagai faktor yang berkontribusi paling tinggi terhadap kontraksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga menjadi kunci menghindari resesi. Pemerintah memprioritaskan perbaikan konsumsi masyarakat pada triwulan III-2020, yang tersisa dua bulan lagi, Agustus dan September.
Upaya menggenjot belanja masyarakat berhubungan erat dengan program perlindungan sosial dan optimalisasi penanganan Covid-19. Penguatan program bantuan sosial ditujukan untuk mendorong daya beli masyarakat berpenghasilan rendah yang pendapatannya tergerus selama pandemi. Sejauh ini realisasi program perlindungan sosial sebesar Rp 85,3 triliun dari pagu Rp 203,91 triliun.
Sementara itu, kunci mendorong konsumsi masyarakat kelas menengah berupa penanganan Covid-19 yang lebih maksimal.
Menurut Raden, selama ini masyarakat kelas menengah memilih untuk menabung daripada berbelanja karena berhati-hati menyikapi perkembangan penanganan Covid-19. Indikator yang mengukur tingkat keyakinan konsumen menunjukkan, masyarakat Indonesia masih pesimistis menghadapi situasi perekonomian saat ini. Secara psikologis, keyakinan masyarakat untuk membelanjakan uangnya masih rendah.
”Jika dilihat dari data perbankan, tabungan masyarakat kelas menengah-atas juga naik luar biasa, sementara kredit turun. Jadi, ada keraguan dan motif berhati-hati yang membuat masyarakat enggan berbelanja,” katanya.
Raden mengatakan, salah satu cara menumbuhkan rasa percaya kelas menengah-atas untuk berbelanja adalah dengan menangani Covid-19 lebih optimal. Untuk itu, pemerintah akan mendorong penyaluran obat, penyelenggaraan tes cepat, tes usap yang lebih masif, serta memproduksi dan mendistribusikan vaksin.
Selama vaksin belum ditemukan, konsumen tetap akan ragu untuk berbelanja dan perekonomian tidak bisa pulih sepenuhnya.
”Program utama semester II ini adalah Indonesia aman dan sehat, membangkitkan kepercayaan konsumen masyarakat dan dunia usaha dengan mengurangi pesimisme akibat Covid-19. Caranya, kita harus memastikan belanja kesehatan lebih cepat lagi,” katanya.
Realisasi belanja kesehatan dalam program PEN sebesar Rp 6,3 triliun dari total pagu Rp 87,55 triliun. Realisasi itu terdiri dari insentif kesehatan pusat dan daerah (Rp 1,7 triliun), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp 12,9 miliar), penyaluran Gugus Tugas Covid-19 (Rp 3,2 triliun) dan insentif BM kesehatan (Rp 1,4 triliun).
Salah satu cara menumbuhkan rasa percaya kelas menengah-atas untuk berbelanja adalah dengan menangani Covid-19 lebih optimal. (Raden Pardede)
Belanja pemerintah
Di sisi lain, belanja pemerintah juga didorong untuk meningkatkan permintaan. Pemerintah akan menyisir ulang satu per satu belanja setiap kementerian/lembaga dan anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) agar cepat terserap.
Meski demikian, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir meyakini belanja pemerintah tidak akan signifikan memengaruhi kenaikan permintaan. Pemerintah tetap menggantungkan asa pemulihan ekonomi pada konsumsi masyarakat.
”Kalau hanya mengharapkan belanja pemerintah, tidak akan mengungkit. Paling mentok kontribusinya 16 persen. Kuncinya tetap pada konsumsi rumah tangga dan dunia usaha, khususnya UMKM,” kata Iskandar.
Di tengah perkembangan penyebaran virus korona tipe baru yang dinamis ini, pemerintah mengaku sulit membuat proyeksi untuk triwulan III dan IV. Raden mengatakan, faktor ketidakpastian kali ini sangat tinggi dibandingkan dengan krisis ekonomi global sebelumnya.
Berbagai proyeksi global, termasuk dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), terus-menerus direvisi dari waktu ke waktu hingga terus mendekati skenario terburuk.
”Tidak ada yang bisa menjamin ke depan apakah kita akan positif atau negatif. Yang pasti, targetnya kita harus mencegah resesi. Minimal, ekonomi sepanjang tahun ini tumbuh nol persen pada triwulan III,” kata Raden.