Koran Tak Akan Mati
Berita kecil bertajuk ”Pemerintah Pastikan Industri Media Terima Insentif agar Tidak Tutup” di pojok kiri bawah halaman 2 ”Kompas” (Senin, 27/7/2020) terasa melegakan.
Berita kecil bertajuk ”Pemerintah Pastikan Industri Media Terima Insentif agar Tidak Tutup” di pojok kiri bawah halaman 2 Kompas (Senin, 27/7/2020) terasa melegakan. Pasalnya, sudah lama ada berita ramalan kematian media cetak akibat invasi teknologi internet.
Sebagai pembaca media cetak tradisional, saya sering waswas. Jumlah halaman makin susut. Beberapa rubrik terpaksa kehilangan pekarangan. Resensi buku dan puisi beserta ilustrasi vinyet dalam edisi akhir pekan koran ini, contohnya, lenyap dari peredaran. Luasan rubrik yang lain—semisal pendidikan/kebudayaan, teknologi, dan sains/lingkungan/kesehatan—kerap terpangkas iklan. Surat pembaca pun kadang tergusur habis oleh iklan.
Iklan, jika terlalu ekspansif, memang mengganggu keasyikan membaca, seperti lagi seru-serunya nonton debat di televisi, tiba-tiba harus menunggu ”setelah yang satu ini”. Tapi kita mafhum adanya, media apa pun tak bisa menafikan iklan. Belakangan, diam-diam, saya malah ikut ”bingung” manakala iklan, terutama yang berukuran jumbo, menghilang dari halaman media cetak. Ketiadaan iklan bisa jadi taruhan hidup-mati media.
Yang juga terasa, lembar koran sekarang agak sulit dilipat kembali dengan rapi setelah dibaca. Juga rentan lecek. Saya tersadar kemudian, kertas koran sekarang terasa lebih tipis daripada sebelumnya. Artinya, bahkan dalam wujud fisik pun, koran sedikit turun kualitas.
Berita kecil tersebut membawa kabar gembira bahwa pemerintah memberikan insentif bagi industri media (cetak) guna menghindari penutupan perusahaan pers. Keberlangsungan media sungguh dibutuhkan. Perannya sangat penting dalam demokrasi dan pemberitaan.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman membubuhkan argumen bagus bahwa negara membutuhkan pers yang berperspektif jernih untuk melawan kekacauan informasi, penyebaran hoaks, dan ujaran kebencian yang mengancam kehidupan demokrasi.
KASIJANTO SASTRODINOMO
Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat
Kompasiana PK Ojong
Saat buka perpustakaan pribadi, saya menemukan buku PK Ojong Kompasiana. Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah. Buku ini kumpulan tulisan PK Ojong di Kompas selama 1966-1971, diterbitkan Penerbit PT Gramedia tahun 1981 setebal xii+813 halaman.
Kumpulan tulisan PK Ojong meliputi 10 masalah, yaitu pers, politik, asimilasi, cendekiawan, pelayanan masyarakat, tertib hukum, kebudayaan, ekonomi, kepemimpinan, dan Kota Jakarta. Tulisan tersebut merekam berbagai peristiwa yang terjadi saat itu dan merupakan salah satu ciri khas Kompas dan disertai analisis.
Salah satu yang menarik adalah mengenai pengadilan dr Subandrio yang disiarkan langsung oleh RRI. Siaran itu bukan sekadar laporan wartawan sehingga rakyat dapat mengikuti jalannya pengadilan (hal 389-391) dari Kompas 7 Oktober 1966. Ini mungkin dapat dijadikan contoh siaran langsung pengadilan terbuka para koruptor sehingga dapat diikuti rakyat.
Semoga buku Kompasiana PK Ojong ini dicetak ulang.
Mustakim, SH
Jl Para Duta, Pondok Duta 1, Depok 16451
Pencipta Lagu Anak
Pencipta lagu Papa T Bob dengan nama asli Erwanda Lukas telah melahirkan lagu-lagu bernada riang untuk anak-anak. Pencipta lagu anak-anak terkenal lain adalah Ibu Sud dan AT Mahmud.
Mereka cinta anak-anak dan melahirkan karya cipta dengan nada dan lirik lagu sederhana, tetapi penuh makna. Abadi sepanjang masa.
Tahun 1980-an saya setia menonton acara Ayo Menyanyi asuhan Bu Fat dan Lagu Pilihanku asuhan Bu Mul diiringi piano Bu Meinar.
Semoga pencipta lagu masa kini juga peduli anak-anak.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan, Jatiwaringin, Jakarta 13620
Masih Ditagih
Saya berlangganan Indihome dengan ID 122214208239, telepon 021-22975xxx atas nama anak saya. Tagihan lewat debet kartu kredit Bank Permata.
Karena internet sering bermasalah, saya memutuskan berhenti berlangganan. Tagihan terakhir, Januari 2020, sebesar Rp 264.000 beserta tagihan telepon Rp 51.000 telah saya lunasi, 23 Januari 2020. Peralatannya saya kembalikan ke Plaza Telkom, Fatmawati.
Namun, di tagihan kartu kredit Maret 2020, ternyata masih ada biaya langganan Februari 2020. Saya menelepon Telkom 147 dan dijawab mungkin ada kesalahan karena Covid-19.
Alih-alih uang saya dikembalikan, ternyata Maret dan April juga ditagih, Rp 360.000 setiap bulan. Akhirnya saya minta Bank Permata menghentikan pendebetan tagihan Indihome.
Pada 13 Mei 2020, saya telepon 147 diterima Sdri Tya, nomor laporan IN67368802. Saya diminta menunggu, akan ditelepon staf Indihome.
Sampai saya menelepon lagi, 6 Juni 2020, tidak ada telepon. Kali ini yang menerima Sdri Karin, nomor laporan IN 68682724, jawaban sama.
Pada 21 Juli 2020, saya menelepon 147 lagi, diterima Sdri Luna, nomor laporan IN 71649698. Jawaban sama.
Keesokan harinya saya ditelepon Telkom, tetapi hanya menanyakan apakah benar saya melapor dan disuruh menunggu lagi.
Sampai surat ini saya buat, tidak ada lagi staf Indihome yang menghubungi saya. Saya tanyakan, apakah bisa langsung datang ke Plaza Telkom, dijawab bahwa selama pandemi tidak ada tatap muka.
JAMES SINAY
Jl Tabanan, Graha Cinere, Depok
Kupon Elektronik
Pada 18 dan 19 Mei, saya belanja dengan kartu kredit Mandiri 4149-3130-0094-xxxx, dapat kupon-el (e-voucher) 2 x Rp 200.000. Tak bisa dipakai.
Pada 22 Mei 2020, saya ke Bank Mandiri Bandengan Selatan Delta Mas, tidak ada yang bisa menjelaskan.
Saya juga komplain via telepon ke Bank Mandiri 14000 hingga lima kali: 27 Mei pukul 16.07 dengan Mista, 31 Mei pukul 10.56 dengan Susan, 2 Juni pukul 15.22 dengan Keni, 5 Juni pukul 18.33 dengan Mailo, dan 19 Juni pukul 10.43 dengan Sani. Tetap tak ada kejelasan.
Untung Santosa
Jl Jembatan, Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara
Hagia Sophia
Menanggapi tulisan analisis budaya Ahmad Najib Burhani di Kompas, 25 Juli 2020, yang berjudul ”Toleransi”, saya kira masalah Hagia Sophia, Turki, bukan sekadar itu.
Persoalan Hagia Sophia adalah pengubahan fungsi bangunan. Didirikan pada zaman Bizantium (532-537), bangunan ini menjadi Gereja Ortodoks Timur selama 916 tahun.
Namun, karena perang dan penaklukan Turki atas Konstantinopel pada 1453, gereja tersebut diubah fungsinya menjadi masjid. Oleh Kemal Ataturk, status Hagia Sophia diubah menjadi museum pada 1934. Zaman Erdogan, Hagia Sophia diubah menjadi masjid.
Hagia Sophia barangkali lebih tepat sebagai simbol yang mewakili ketegangan berabad-abad antara umat Kristen dan Islam. Kemal Ataturk berupaya meredakan dengan menjadikan museum. Jadi, utamanya Hagia Sophia bukanlah persoalan intoleransi karena saat Kemal Ataturk mengubahnya menjadi museum, tidak banyak yang memprotes Turki, seperti sekarang.
Di sisi lain, persoalan intoleransi di Tanah Air umumnya didominasi penolakan pendirian bangunan gereja dan tempat ibadah lain di luar masjid. Bukan soal pengubahan status bangunan dari gereja menjadi masjid.
Boyke Nainggolan
Jl Mawar Merah, Perumnas Klender, Jakarta Timur 13460
Warisan Kolonial?
Menarik membaca tulisan Ward Berenschot, profesor antropologi Universitas Leiden, berjudul ”150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah” di harian Kompas (20/7/2020). Tulisan mengulas masalah agraria di Indonesia dan benang merah yang melatarbelakanginya.
Dikatakan, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, mewarisi asas domein verklaring yang diadopsi pemerintah kolonial Belanda sejak 1870. Semua tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan adalah domain negara, berarti kepentingan negara atas tanah lebih prioritas daripada hak-hak warga negara.
Di India, reformasi kepemilikan tanah dideklarasikan sebagai landasan bagi keadilan sosial oleh Gandhi sejak 1951. Indonesia baru melahirkan UU Pokok Agraria tahun 1960, yang berupaya mengoreksi ketidakadilan hak atas tanah. Sayang, Orde Baru membalikkan lagi arah ke domein verklaring dengan mengeluarkan UU Pokok Kehutanan 1967 yang menetapkan hampir seluruh tanah sebagai kawasan hutan yang dikuasai negara, dibarengi maraknya pemilikan tanah oleh penguasa dan keluarganya.
Di era reformasi, tampaknya ”keinsafan” timbul lagi dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Tahun 2012, keluar keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas hutan dan lahan.
Namun, arus balik juga terjadi, DPR kian menguatkan penguasaan tanah oleh negara dengan UU SDA dan UU Perkebunan (2004) serta UU Pertambangan (2009). Belum lagi yang terbaru, omnibus law Tata Kerja memperpanjang hak guna usaha hingga 90 tahun. Memang ada pengakuan terhadap 65 hutan adat dan pembagian ribuan sertifikat tanah oleh Presiden Joko Widodo. Namun, sertifikasi belum menyentuh persoalan mendasar karena sertifikat yang dibagikan umumnya berasal dari tanah yang sudah jelas administrasinya, di luar kawasan hutan.
Sebenarnya mewarisi domein verklaring bukan dosa asal ”untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ternyata generasi penerus tak mampu mewujudkan amanat para pendiri bangsa. Rakyat kecil malah makin kehilangan hak atas tanah.
Rasio gini pemilikan tanah 0,68 tahun 2013, berarti 1 persen penduduk menguasai 68 persen dari seluruh lahan. Data tahun 2017 menunjukkan, 96 persen konsesi kehutanan diberikan kepada korporasi dan hanya 4 persen dialokasikan untuk masyarakat.
Domein verklaring dipertahankan karena merupakan sumber kemakmuran bagi elite politik dan ekonomi, baik dengan mengakumulasi tanah, menyalahgunakan wewenang, maupun percaloan. Sumber kekayaan para elite kebanyakan berasal dari perusahaan ekstraksi SDA dan kelapa sawit yang memperoleh konsesi.
Para pembuat undang-undang juga berkepentingan mempertahankan domein verklaring. Mereka bersama korporasi menikmati kemakmuran sebesar-besarnya dari bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Di negara lain ada semboyan land for the tiller, di Indonesia penggarap kehilangan tanahnya, dikonversi jadi konsesi. Yang mencoba bertahan, diusir petugas satpam, ditangkap polisi, dan dipenjarakan hakim, bangsanya sendiri.
Selain mewarisi asas domein verklaring, ternyata generasi penerus Indonesia banyak yang mewarisi mentalitas penjajah. Reforma agraria tidak akan terlaksana sebelum dilakukan revolusi mental seluas-luasnya!
SUMANTORO MARTOWIJOYO
Jl Daksa I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan