Kritik dan Apresiasi dalam Lukisan Para Seniman Sulawesi Utara
›
Kritik dan Apresiasi dalam...
Iklan
Kritik dan Apresiasi dalam Lukisan Para Seniman Sulawesi Utara
Untuk pertama kalinya, Pemprov Sulawesi Utara menggelar pameran lukisan virtual. Para pelukis tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengkritik maupun mengapresiasi kerja pemerintah di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Jeffry Wattimena (47) datang mendekati pengunjung yang melihat dua lukisan bernuansa komikal di salah satu sisi aula Dinas Kebudayaan Sulawesi Utara. ”Halo, saya pelukis dua karya ini. Boleh saya beri penjelasan dan sedikit interpretasi?” tanya pria bertubuh tinggi dan besar itu dengan ramah.
Jeffry pun mulai menjelaskan lukisan bermedia cat akrilik di atas kanvas miliknya. Pertama, yang bergambar monyet hitam sulawesi berpantat merah (Macaca nigra) atau yaki yang mudah ditemui di Hutan Tangkoko di Bitung, kota asal Jeffry. Lukisan berlatar belakang warna biru langit itu menampilkan setengah tubuh yaki ke bawah, berikut pantat merah dan kakinya yang menyerupai tangan.
Di samping setengah badan yaki itu, tampak kepala yaki dengan jambulnya. Menurut Jeffry, banyak jenis yaki di Sulawesi, tetapi hanya Macaca nigra yang endemik di Sulut. Jambul dan pantat merah adalah ciri khasnya. Uniknya, yaki itu digambarkan sedang mengisap rokok seperti orang-orang tua, melambangkan yaki sudah ada jauh sebelum Sulut dihuni manusia.
”Kita harus menghormati mereka karena mereka jauh lebih tua dari kita. Kalau kita ganggu mereka di habitatnya, bisa-bisa kita tidak akan melihat yaki lagi di masa depan,” kata Jeffry, Rabu (29/7/2020), tentang karya yang dibuatnya pada 2018 itu.
Lukisan kedua menampilkan karikatur Gubernur Sulut Olly Dondokambey dengan pengukur suhu tubuh infra merah (thermogun) di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang gulungan tali sebuah layang-layang putih bergambar palang merah. ”Ini adalah kritik buat penanganan Covid-19 di Sulut,” ujar Jeffry.
Layang-layang itu menunjukkan posisi pemerintah yang cenderung tarik ulur aturan dan imbauan, tak jarang memunculkan ketidakjelasan. Dalam pandangan Jeffry, kadang Pemprov Sulut memperketat aturan dengan melarang beberapa aktivitas seperti sekolah, tetapi membiarkan ekonomi berjalan seperti biasa karena pertumbuhan ekonomi sudah jatuh dari kisaran 6 persen ke 4 persen selama triwulan kedua 2020.
”Pemerintah tarik ulur saja sesuai kepentingan, tetapi tidak ada ketegasan dalam menangani Covid-19. Kesehatan diabaikan. Adapun thermogun ini menunjukkan Gubernur bisa mendeteksi mood publik dan kepentingan yang harus dia utamakan,” kata Jeffry.
Di belakang karikatur Olly, ada kepala banteng yang mengenakan masker. Dengan gambar itu, Jeffry berusaha menyampaikan, ada komando dari pemerintah pusat yang mendorong Pemprov untuk bungkam sekalipun ada kebijakan yang tidak tepat. Banteng identik dengan lambang PDI-P, partai Olly dan Presiden Joko Widodo.
Pemerintah tarik ulur saja sesuai kepentingan, tetapi tidak ada ketegasan dalam menangani Covid-19. Kesehatan diabaikan. Sedangkan thermogun ini menunjukkan Gubernur bisa mendeteksi mood publik dan kepentingan yang harus dia utamakan. (Jeffry Wattimena)
Jeffry merupakan satu dari 25 pelukis asli Sulut yang menjadi peserta pameran lukisan bertajuk ”Sulut Hebat di Tengah Pandemi Covid-19” selama 27 Juli hingga 3 Agustus 2020. Pameran yang juga digelar secara virtual oleh Dinas Kebudayaan Sulut di Manado itu bertujuan memberikan insentif bagi para seniman Sulut untuk terus berkarya ketika permintaan akan karya mereka lesu selama wabah merebak.
Kompetisi daring
Kepala Dinas Kebudayaan Sulut Jenry Sualang mengatakan, ke-25 pelukis diminta mengirimkan dua lukisan terbaiknya. Salah satunya harus bercerita tentang kegiatan Gubernur Olly selama pandemi Covid-19. Lukisan itu dikompetisikan secara daring. Tiga lukisan yang mendapat like paling banyak dari warganet di Facebook menjadi pemenang.
Jeffry mengaku tak takut mengkritik pemerintah sekalipun dirinya adalah pegawai negeri sipil di Bitung. Ia percaya, seni bisa menjadi media kritik yang baik. Kesempatan untuk jadi peserta dalam pameran lukisan, sekalipun diselenggarakan oleh Pemprov Sulut, tak disia-siakannya.
”Saya bukan berontak. Toh, tidak ada salahnya mengkritik lewat seni di ruang yang disediakan pemerintah,” katanya.
Beberapa pelukis lain lebih suka mengapresiasi Gubernur Olly karena masih memikirkan nasib para seniman. Yosef Sikome (52), pelukis asal Eris, Minahasa, pun memanfaatkan pameran itu untuk mengelu-elukan Olly melalui lukisan beraliran impresionis dengan media cat akrilik di atas kanvas pula.
Sosok setengah badan Olly digambarnya seakan berada dalam sebuah bingkai berwarna putih. Namun, tangan kanan Olly keluar dari bingkai itu, seolah menawarkan dua kuas untuk menggambar. Bagi Yosef, lukisan itu menyiratkan kehendak Olly untuk mendekat pada para seniman, lalu memberikan semangat dan dukungan.
”Memang, bisa saja pameran ini salah satu cara kampanye Gubernur. Tapi, bukan itu yang penting saat ini. Saya sangat menghargai dukungan pemerintah yang sangat besar bagi seniman agar terus berkarya. Dengan kuas yang ditawarkan Olly serta senyum di wajahnya, saya berusaha menggambarkan Pemprov Sulut akan terus mendampingi dan memfasilitasi para seniman,” kata dia.
Masa pandemi jelas bukan masa terbaik bagi Yosef dan sejawat seperjuangannya, terutama pada awal masa pandemi, Maret, April, dan Mei lalu. Permintaan pembuatan mural di kafe-kafe tertunda, bahkan batal. Permintaan lukisan, terutama lukisan potret diri, juga tertunda karena tidak boleh ada pertemuan.
Yosef bahkan terpaksa kembali bertani untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan. Ia menanam berbagai jenis bahan makanan, mulai dari jagung, ubi, hingga sayur-sayuran. ”Dua-tiga bulan di awal pandemi memang tidak ada pemasukan sama sekali dari kerja seni. Kami harus cari cara lain untuk survive,” kata dia.
Pameran yang dibuat Dinas Kebudayaan Sulut itu pun kembali memantik semangatnya untuk berkarya. Pemprov memberikan dana Rp 1,9 juta kepada para seniman untuk menyediakan bahan. ”Tidak penting besar atau kecilnya dana, tetapi ini memberikan secercah harapan bagi kami,” kata Yosef.
Yosef percaya, pintu harapan bagi seniman akan selalu terbuka selama para seniman tetap semangat berkarya. Justru di masa yang sulit, ia yakin akan lahir karya-karya yang luar biasa. Harapan itu pun dituangkannya pada lukisan bertajuk War in the Spirit yang dibuatnya kala pandemi semakin tak teratasi.
Dalam lukisan impresionis itu, digambarkannya seorang wanita yang mengarahkan tangannya ke depan. Dari samping, tampak tangan yang menawarkan bola kristal bercahaya. Bagi Yosef, lukisan itu menunjukkan manusia harus berusaha menghadapi masa susah ini dengan semangat, lalu Tuhan akan memberikan hikmat bagi manusia.
Alhasil, kendati tidak menang, Yosef dan Jeffry tak berkecil hati. Mereka pun menatap masa depan untuk terus berkarya.
”Kita harus terus tegar dan semangat menghadapi masa sulit ini sesuai tugas kita masing-masing. Saya harap, pemerintah selalu mengingat seniman dengan menyediakan ruang bagi karya-karya kami hingga di masa yang akan datang,” kata Yosef.