Meski ada peningkatan keberpihakan media pada perempuan dan kelompok rentan, secara umum media di Indonesia belum berperspektif jender. Pemahaman pada isu-isu tersebut kurang, juga karena adanya kepentingan ekonomi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih banyak media massa yang belum adil memberlakukan perempuan dan kelompok rentan dalam pemberitaan. Alih-alih memberikan suara kepada mereka, media sering kali justru menjadikan mereka sebagai obyek. Kurangnya pemahaman dan orientasi media pada kepentingan pasar membuat banyak media belum berperspektif jender.
Pengambilan sudut pandang dan pemilihan diksi dalam konten media secara umum masih menempatkan perempuan dan kelompok rentan masih melanggengkan stereotip dan konstruksi sosial yang salah. Masih ada konstruksi berita yang menyalahkan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual (victim blaming).
Demikian juga masih banyak pemberitaan atau tayangan di media daring dan televisi yang mengekspose perempuan untuk kepentingan ekonomi. Ini menunjukkan media masih sekadar mengedepankan kepentingan pasar, demi clickbait (umpan klik) dan rating, yang mengabaikan fungsi media sebagai pendidik.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring bertema ”Menggugat Keberpihakan Media terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Selasa (4/8/2020). Pembicara dalam diskusi ini Pemimpin Redaksi Konde.co Luviana, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Hendriana Yadi, dan komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin. Diskusi dipandu Nani Afrida dari AJI Indonesia.
Luviana mengatakan, secara umum ada peningkatan perhatian media pada isu-isu jender, tidak hanya ketika ada kasus atau pada hari-hari penting terkait perempuan. Ini dipengaruhi banyaknya kampanye feminis muda di media sosial yang mengubah struktur gerakan perempuan menjadi lebih terbuka.
Namun, dari sisi konten, kata Luviana, secara umum pemberitaan di media masih bersifat informatif dan belum banyak yang mendalam. Ini berdasarkan pengamatan Luviana terhadap 239.000 tulisan di media tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. ”Problemnya, (banyak) jurnalis belum mempunyai pemahaman soal kekerasan apa saja yang masuk dalam RUU ini,” katanya.
Selain itu, kata Luviana, penggunaan logika waktu yang pendek menyebabkan media daring dan televisi menyampaikan informasi secara cepat, tetapi dangkal untuk kepentingan clickbait dan ekonomi. Data Remotivi pada 2018 menunjukkan, banyak media daring tumbuh dengan menyajikan berita yang menjual sensasi dan menjadikan perempuan sebagai obyek berita.
Pemeringkatan
Menyambung Luviana, Hendriana Yadi mengatakan, ada masalah dalam penentuan ranking atau rating program di televisi yang masih mengedepankan apa yang disukai penonton, bukan pada kualitas program. ”Jika berdasarkan yang disukai penonton, maka kekerasan, horor, dan seks selalu berpihak terhadap rating atau share televisi,” katanya.
Di satu sisi pengelola televisi belum mengedepankan konten yang berkualitas, di sisi lain pengiklan juga masih melihat rating. Yadi mengatakan, IJTI telah mendorong lembaga rating untuk berorientasi pada kualitas program, tetapi belum membuahkan hasil.
Dari sisi konten berita, pada jurnalis televisi dan kebijakan redaksional ada upaya untuk berpihak pada perempuan, juga ada pertimbangan pada dampak berita yang ditayangkan. ”Rating share tayangan kekerasan, misalnya yang berisi eksploitasi perempuan, tinggi, dan ini masalah. Tapi, kini penonton (mulai) lebih suka inspiring news (berita yang menginspirasi),” kata Yadi.
Dengan perempuan dan anak-anak sebagai penonton terbanyak televisi, kata Yadi, konten yang disajikan seharusnya berubah untuk melindungi perempuan dan anak-anak. Karena rating program di televisi ditentukan lembaga pemeringkat, maka perubahan harus dilakukan juga oleh lembaga pemeringkat.
”Lembaga pemeringkat semakin kuat, tidak ada yang mengontrol, sementara lembaga pemeringkat program yang dibuat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tidak jelas dan tidak kuat. Karena itu, negara harus hadir. Sangat penting negara tahu, kita tidak akan selesai dengan dampak buruk (tayangan televisi) selama lembaga pemeringkat hanya melihat rating dari banyaknya penonton,” kata Yadi.
Mariana mengatakan, pemberitaan ataupun konten di media arus utama seharusnya berpihak pada kepentingan umum. Media arus utama harus membedakan diri dengan media sosial yang dibuat tanpa tanggung jawab dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah jurnalistik.
”Pemberitaan tentang hal-hal pribadi tidak bermanfaat untuk kepentingan umum, lebih untuk melayani keinginan publik untuk gosip. Ini artinya mengabaikan kepentingan umum,” katanya. Mariana menyayangkan, meski ada UU Pers dan kode etik jurnalistik, masih banyak media yang melalui pemberitaannya membuat kelompok rentan semakin tidak terlindungi.
Keberpihakan pada perempuan dan kelompok rentan, kata Luviana, harus dimulai juga dari dalam ruang redaksi. Tim redaksi yang tidak hanya paham tentang hak-hak perempuan dan kelompok rentan, tetapi juga mencerminkan kesetaraan jender dalam strukturnya.
Dia mengatakan, masih ada masalah kesetaraan jender di industri media di Indonesia. Berdasar data AJI Indonesia pada 2012, jumlah jurnalis perempuan hanya sepertiga jumlah jurnalis laki-laki. Sejumlah penelitian lainnya menunjukkan, jumlah jurnalis perempuan di sejumlah media daring berkisar 15-23 persen.