Penerapan Protokol Kesehatan di Pesantren Masih Hadapi Tantangan Berat
›
Penerapan Protokol Kesehatan...
Iklan
Penerapan Protokol Kesehatan di Pesantren Masih Hadapi Tantangan Berat
Penerapan protokol kesehatan Covid-19 di pesantren hadapi tantangan berat. Penyebabnya, antara lain, mayoritas pesantren terbatas dalam menyediakan sarana prasarana pendukung, pendanaan, hingga sumber daya manusianya.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
PONOROGO, KOMPAS — Penerapan protokol kesehatan untuk mencegah sebaran Covid-19 di sekolah berasrama, seperti pesantren, pada era adaptasi kebiasaan baru menghadapi tantangan yang tidak ringan. Penyebabnya, antara lain, mayoritas pesantren memiliki kemampuan terbatas dalam menyediakan sarana prasarana pendukung, pendanaan, hingga sumber daya manusianya.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Waryono dalam seminar daring Penerapan Protokol Kesehatan di Pesantren pada Era Adaptasi Kebiasaan Baru yang difasilitasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Rabu (5/8/2020), mengatakan, mayoritas pesantren belum memiliki infrastruktur yang ideal. Contohnya, banyak yang kekurangan fasilitas mandi, mencuci, dan buang air besar.
Dalam upaya mencegah sebaran Covid-19 di pesantren, keterbatasan infrastruktur yang terjadi di pesantren mendorong para pengelola mencari strategi sistem pembelajaran yang efektif, tetapi aman dari ancaman penyakit. (Waryono)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berencana memberikan bantuan fasilitas mandi, cuci, dan buang air besar kepada 100 pesantren di 10 provinsi tahun ini. Dibandingkan dengan jumlah pesantren yang mencapai 28.000 dan mayoritas kekurangan infrastruktur, bantuan itu masih sangat minim. Pihaknya berharap hal itu menjadi stimulan bagi pesantren untuk meningkatkan infrastrukturnya.
”Dalam upaya mencegah sebaran Covid-19 di pesantren, keterbatasan infrastruktur yang terjadi di pesantren mendorong para pengelola mencari strategi sistem pembelajaran yang efektif namun aman dari ancaman penyakit,” ujar Waryono.
Dia mencontohkan, pesantren mendatangkan santri baru secara bertahap dengan pengaturan yang ketat dan menyediakan tempat isolasi. Selain itu, ada pula pesantren yang menerapkan pendaftaran santri baru secara daring, bahkan menyelenggarakan ujian seleksi secara daring. Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan bisa memberikan dukungan berupa fasilitas internet terhadap pesantren, terutama di perdesaan.
Beragam upaya
Meski beragam upaya mencegah sebaran Covid-19 telah dilakukan, menurut Waryono, hingga saat ini ada beberapa pesantren yang menjadi kluster penularan. Para pengasuh pesantren tersebut sebenarnya telah berupaya maksimal melindungi santrinya agar tetap sehat sehingga bisa mengikuti pendidikan dengan baik.
Sementara itu, Kepala Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes Kirana Pritasari mengatakan, pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama lima bulan telah menelan korban 115.000 orang terkonfirmasi positif. Mereka tersebar di 479 kabupaten dan kota. Mayoritas penderita berasal dari kelompok usia produktif yang aktivitasnya banyak dan mobilitasnya tinggi.
Melihat tingginya kasus Covid-19 tersebut, upaya mengendalikan sebaran penyakit harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh semua pihak tanpa terkecuali. Bicara soal pesantren, lembaga ini memiliki peran besar dalam bidang pencegahan dan pengendalian penyakit karena jumlah lembaga dan santrinya yang banyak dan aksesnya yang luas.
Menurut Kirana, setidaknya ada lima hal yang harus selalu diterapkan untuk mencegah sebaran Covid-19, yakni menggunakan masker, rajin cuci tangan, menjaga jarak, menjaga daya tahan tubuh agar tetap sehat, serta menjaga asupan gizi yang baik. Protokol kesehatan sederhana, tetapi memerlukan komitmen yang kuat.
Oleh karena itu, agar protokol kesehatan berjalan efektif, upaya pencegahan harus dilakukan dengan memberdayakan masyarakat pesantren. Caranya, meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat pesantren dalam menangani Covid-19. Mengingat kondisi setiap pesantren tidak sama, strategi yang dilakukan harus dimulai dengan mengidentifikasi persoalan dan mencari solusinya.
Berkaca dari pengalaman Pesantren Wali Songo, Ponorogo, penerapan protokol kesehatan memerlukan komitmen yang kuat dari para pengelola. Komitmen itu kemudian ditindaklanjuti dengan menganalisis situasi di pesantren untuk memahami permasalahan yang ada. Setelah itu melakukan pengorganisasian di dalam pesantren dan menggalang kemitraan dengan para pemangku kepentingan di luar pesantren. Kemitraan bisa dilakukan dengan pemda, puskesmas, dan warga sekitar.
Literasi kesehatan
Pada tahap lanjutan, pesantren harus melakukan literasi kesehatan untuk memahami Covid-19, penyebarannya, pencegahannya, hingga pengobatannya. Meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan di pesantren dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai juga perlu dilakukan agar masyarakat bisa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan baik.
”Kemenkes berharap pesantren bisa menjadi percontohan penerapan protokol kesehatan di era adaptasi kebiasaan baru,” kata Kirana.
Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo KH Heru Syaiful Anwar MA mengatakan, jauh sebelum pandemi, pihaknya telah bekerja sama dengan puskesmas setempat. Saat itu terkait dengan penyelenggaraan poskestren (pos kesehatan pesantren). Hasilnya, pesantren memiliki bekal edukasi tentang kesehatan.
Di masa pandemi, pesantren menyusun panduan tentang protokol kesehatan dan membukukannya agar mudah disebarluaskan. Panduan itu diujicobakan kepada santri yang tidak diizinkan pulang, yakni mereka yang menduduki jenjang pendidikan akhir madrasah aliyah agar bisa disempurnakan kekurangannya.
Pesantren juga membentuk Satgas Covid-19 dan menyediakan dana sekitar Rp 600 juta yang diperoleh dari hasil merealokasi anggaran pesantren pada tahun berjalan. Dana dipakai melengkapi sarana prasarana pendukung, seperti membuat sistem satu pintu untuk mengontrol mobilitas orang dan membuat sarana cuci tangan dalam jumlah banyak sehingga mudah diakses.
Kemenkes berharap pesantren bisa menjadi percontohan penerapan protokol kesehatan di era adaptasi kebiasaan baru. (Kirana Pritasari)
Pesantren juga menyediakan tempat isolasi untuk santri yang baru kembali untuk daftar ulang meskipun mereka wajib menunjukkan surat karantina selama 10 hari yang ditandatangani oleh ketua RT setempat dan surat keterangan sehat. Wali pengantar tidak diizinkan masuk ke pesantren.
Masih menurut Heru, santri yang baru datang harus mandi, berganti pakaian baru, dan mengikuti pemeriksaan kesehatan. Untuk mendukung PHBS, pesantren menambah fasilitas penunjang seperti kamar mandi menjadi 75 unit untuk 980 santri laki-laki dan 157 unit untuk santri putri yang jumlahnya lebih dari 1.000 orang.
“Untuk menjaga kesehatan, jam belajar dikurangi dari enam jam menjadi tiga jam sehingga santri cukup beristirahat. Memberikan vitamin dan meningkatkan asupan gizi serta membiasakan berolahraga secara rutin,” kata Heru.
Menghadapi wali santri yang ingin ketemu anaknya, pesantren mensyaratkan mereka melakukan uji usap dan bukan uji cepat. Selain bertujuan untuk kesehatan, syarat itu dibuat untuk mencegah wali santri meminta izin. Mereka pasti akan berpikir berulang kali karena biaya uji usap yang mahal.
Dalam seminar itu mengemuka, masalah pendanaan dan pengorganisasian sumber daya manusia menjadi persoalan yang banyak dialami oleh pesantren terutama pesantren kecil. Mereka berharap pemerintah daerah dan pusat hadir membantu mencarikan solusinya.