RUU Cipta Kerja memiliki sejumlah bahaya dalam mengatur sumber daya alam dan pertanahan. Sebaiknya perancangnya menggunakan masa reses ini untuk secara sungguh-sungguh melihat dampak liberalisasi agraria yang terjadi.
Oleh
Dewi Kartika
·4 menit baca
Meski saat ini sedang reses, DPR dan pemerintah tetap membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Semestinya reses digunakan untuk kunjungan ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi langsung masyarakat. Berbeda dengan sejumlah RUU lain yang sering terbengkalai, tampaknya DPR bersikukuh membahas RUU Cipta Kerja ini.
Merujuk ke sejumlah pasal, omnibus law akan membahayakan sendi ekonomi kerakyatan, khususnya petani dan masyarakat perdesaan yang masih tersisa. Sebab, menempatkan tanah dan sumber daya alam sebagai barang dagangan. Padahal, dengan rendahnya taraf hidup masyarakat perdesaan dewasa ini, pilihan menjual tanah menjadi lebih terdorong.
Bahaya ”Omnibus”
RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 1.224 pasal, di bidang agraria hendak mengamputasi tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Caranya dengan menciptakan norma baru terkait pertanahan.
Sayangnya, norma baru tersebut menempatkan petani dan masyarakat perdesaan lainnya dalam situasi berbahaya karena lebih memberi seperangkat kemudahan dan keistimewaan kepada investor, tetapi minim perlindungan kepada masyarakat rentan.
Beberapa bahaya dari RUU ini, pertama, RUU ini merevisi aturan dalam UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Intinya, perolehan izin untuk mengonversi tanah pertanian pangan ke non-pertanian semakin dipermudah. Dengan begitu, selain memudahkan konversi yang menghilangkan tanah-tanah pertanian rakyat juga mengancam petani kita.
Padahal, Sensus Pertanian 2003-2013 mencatat, sedikitnya 5,1 juta rumah tangga petani terlempar dari sektor pertanian. Tak heran desa menyuplai banyak tenaga kerja ke kota hingga ke luar negeri. Tenaga kerja ini berasal dari keluarga-keluarga petani.
Kedua, RUU ingin mengubah peraturan dalam UUPA 1960. Salah satu perubahan fundamental yang didorong dalam RUU ini adalah mempersilakan perusahaan untuk mengantongi hak atas tanah berupa hak guna usaha (HGU) langsung selama 90 tahun sejak permohonan awal.
Rancangan semacam ini adalah kemunduran besar mengingat UUPA telah mengatur dan membatasi badan usaha melalui HGU paling lama 25/30 tahun dan hanya boleh diperpanjang jika memenuhi syarat.
Pengusulan HGU 90 tahun bahkan lebih lama daripada UU agraria masa kolonial yang ”hanya” memberi 75 tahun kepada maskapai-maskapai perkebunan Belanda. Tampaknya pembahas RUU ini tengah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Penanaman Modal yang telah membatalkan pengaturan HGU 90 tahun.
Pengusulan HGU 90 tahun bahkan lebih lama daripada UU agraria masa kolonial yang ”hanya” memberi 75 tahun kepada maskapai-maskapai perkebunan Belanda.
Ketiga, RUU ini bertujuan memperkuat posisi UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah tidak lagi hanya untuk pembangunan proyek kepentingan umum, tetapi diperluas untuk kepentingan bisnis, khususnya pertambangan, pariwisata, dan kawasan ekonomi khusus (KEK), dalam gerbong kepentingan umum.
Sebenarnya, pengadaan tanah untuk investor tidaklah sesulit seperti opini yang kerap memberitakan tentang sulitnya investor memperoleh tanah. Sebab, faktanya laju kepemilikan tanah swasta begitu cepat naik dibandingkan dengan masyarakat.
Omnibus law ini berwatak ”rakus tanah”, padahal proses semacam ini akan meningkatkan konflik agraria, seperti penggusuran, atas nama investasi. Dalam situasi semacam ini, masyarakat luas, khususnya masyarakat perdesaan, seolah tidak memiliki pilihan selain melepaskan tanahnya. Karena itu, RUU ini tidak melihat ketimpangan struktur dan konflik agraria yang telah terjadi dewasa ini sebagai prioritas untuk ditanggulangi.
Konstitusionalitas petani
Mendudukkan konstitusi nasional sebagai acuan dalam menciptakan lapangan kerja sering kali dianggap terlalu utopia di tengah berjayanya liberalisme ekonomi. Apalagi tiga faktor utama penggerak ekonomi, yakni tanah, modal, dan tenaga kerja, sebagian besar telah diliberalisasi.
Oleh karena itu, penting untuk berkiblat kembali pada pandangan konstitusi kita, yang memberi mandat kepada pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk menciptakan perekonomian yang disusun atas dasar usaha bersama, di mana kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting serta menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keseluruhan terjemahan tersebut adalah kewajiban konstitusional negara yang harus dijalankan pemerintahan saat ini.
Klaim RUU ini untuk menciptakan lapangan kerja tentu ironis jika menghilangkan agenda bangsa kita untuk menciptakan kerja dan peningkatan kualitas hidup bagi petani. Agenda tersebut dinamakan reforma agraria (land reform plus). Selain merupakan agenda bangsa, agenda ini juga janji pemerintahan saat ini, yakni akan menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektar melalui redistribusi tanah untuk memenuhi hak-hak petani atas tanahnya.
Keseluruhan terjemahan tersebut adalah kewajiban konstitusional negara yang harus dijalankan pemerintahan saat ini.
Agenda inilah yang akan menghasilkan lapangan kerja melalui keadilan distribusi aset tanah sekaligus mengurangi monopoli swasta atas tanah yang sebenarnya telah terjadi di banyak tempat di negeri ini. Selain itu, kita juga dapat keluar dari perangkap liberalisme bahwa tanah adalah komoditas perdagangan dan tetap menempatkan tanah memiliki fungsi sosial.
Karena RUU ini memiliki sejumlah bahaya dalam mengatur sumber daya alam dan pertanahan, sebaiknya perancangnya menggunakan masa reses ini untuk secara sungguh-sungguh melihat dampak liberalisasi agraria yang telah terjadi. Tentunya berbahaya jika liberalisasi ini semakin diperluas oleh omnibus law RUU Cipta Kerja.
(Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)