Sadari Tanggung Jawab sebagai Pesohor, Jangan Sebar Hoaks!
›
Sadari Tanggung Jawab sebagai ...
Iklan
Sadari Tanggung Jawab sebagai Pesohor, Jangan Sebar Hoaks!
Para figur publik, termasuk pesohor, harus menyadari bahwa ikatan terhadap pengikutnya berbasis emosi yang tidak terbatas. Informasi apa pun di luar keahlian si figur publik akan ditelan tanpa filter yang memadai.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pengikut yang banyak hadir bersamaan dengan tanggung jawab yang besar. Ikut memberikan informasi yang akurat adalah timbal balik bagi seorang figur publik kepada masyarakat yang sudah membesarkan namanya.
Siapa pun memiliki tanggung jawab untuk turut mencerdaskan masyarakat, tetapi, menurut sutradara Fajar Nugros, figur publik memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Ia berpandangan bahwa seorang figur publik tidak bisa hanya mengambil untung dari masyarakat.
”Punya followers banyak membuat seseorang dengan mudah mendapat rezeki, seperti endorse, sponsor, dan iklan. Lalu apa imbal baliknya untuk masyarakat?” kata Nugros saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Secara terpisah, Juru Bicara dan Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito meminta peneliti dan figur publik untuk perlu berhati-hati dalam menyampaikan berita kepada mayarakat. Ia mengingatkan, jangan sampai masyarakat yang sedang panik mencari jalan keluar malah mendapat informasi yang tidak benar.
Prof Wiku menegaskan bahwa pemerintah terbuka akan adanya penelitian obat ataupun vaksin Covid-19 yang dilakukan oleh peneliti baik di dalam negeri maupun internasional. Namun, penelitian tidak bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa prosedur yang tepat.
”Tidak bisa mengklaim obat Covid-19 tanpa uji klinis. Obat itu juga harus mendapatkan izin edar baru bisa diedarkan. Tidak bisa sembarangan karena ini adalah urusan nyawa manusia,” katanya.
Tidak bisa mengklaim obat Covid-19 tanpa uji klinis. Obat itu juga harus mendapatkan izin edar baru bisa diedarkan. Tidak bisa sembarangan karena ini adalah urusan nyawa manusia.
Ia memastikan bahwa obat yang saat ramai diperbincangkan tersebut bukanlah fitofarmaka ataupun obat herbal terstandar karena tidak terdapat pada daftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Prof Wiku meminta masyarakat sebelum membeli obat selalu memperhatikan KLIK: kondisi ”Kemasan”, ”Label” informasi, nomor ”Izin” edar BPOM, dan tanggal ”Kedaluwarsa”.
Sementara itu, spesialis penyakit dalam, dr Dirga Sakti Rambe, juga merasa bahwa ia memiliki dua tugas selama pandemi Covid-19. Pertama, merawat pasien Covid-19. Kedua, melawan informasi menyesatkan yang disebut infodemics.
Dirga merasa terpanggil untuk meluruskan informasi melenceng yang terus beredar di media sosial. Menurut dia, setiap informasi yang melenceng memiliki dampak yang besar terhadap kesehatan masyarakat.
Dr Dirga menilai saat ini memang ada kekosongan ruang edukasi yang perlu diisi, terlebih lagi ia melihat masih rendahnya literasi sebagian masyarakat. ”Jadi harus ada background check. Apakah benar profesor, apakah benar pakar bidang tertentu. Ini kalau memang tujuannya adalah edukasi,” kata dr Dirga.
Berbagai informasi mengenai Covid-19 yang disampaikan dr Dirga melalui akun Twitter-nya, @dirgarambe, sering mendapat sambutan baik oleh warganet; lebih dari 70.000 pengikut. Videonya meluruskan klaim obat ”cairan antibodi” di-retweet sekitar 3.000 kali dan mendapat like lebih dari 5.000 kali.
Pakar budaya dan komunikasi digital, Firman Kurniawan, mengatakan, fenomena ini menunjukkan tersingkirnya kepakaran dalam lanskap masyarakat kekinian.
Dalam buku The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters karya Tom Nichols tahun 2007 menggambarkan bagaimana terjadinya ekosistem yang menyebabkan kepakaran tersingkirkan dan seakan memberikan jalan bagi sejumlah orang yang tidak memiliki kompetensi malah mengambil peran memberikan informasi bagi khalayak luas.
Menurut dia, para figur publik harus menyadari bahwa ikatan terhadap pengikutnya berbasis emosi yang tidak terbatas. Karena itu, informasi apa pun di luar keahlian si figur publik akan ditelan tanpa filter yang memadai.
”Jadi, selain si figur publik harus menahan diri untuk tak berkomentar di luar kompetensinya, tampaknya masyarakat juga harus dibiasakan untuk tidak menelan pendapat apa pun dari siapa pun hanya dengan dasar panutan,” kata Firman.