Setelah Dilindungi, UMKM Harus Tingkatkan Daya Saing
›
Setelah Dilindungi, UMKM Harus...
Iklan
Setelah Dilindungi, UMKM Harus Tingkatkan Daya Saing
Dengan berlakunya batasan nilai pembebasan bea masuk terhadap impor barang kiriman sebesar 3 dollar AS atau sekitar Rp 43.000, para pelaku usaha yang berjualan di e-dagang diharapkan dapat bersaing dengan produk impor.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan batasan nilai pembebasan bea masuk terhadap impor barang kiriman sebesar 3 dollar AS atau sekitar Rp 43.000 diharapkan dapat melindungi industri dan pelaku usaha dalam negeri. Di sisi lain, para pelaku usaha lokal pun didorong untuk terus berinovasi agar produk lebih berdaya saing.
Sebelumnya, batasan nilai pembebasan bea masuk untuk impor barang kiriman mencapai 75 dollar AS. Namun, per 30 Januari 2020 batas nilai pembebasan bea masuk diturunkan menjadi 3 dollar AS sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.04/2019 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.
Dalam aturan tersebut, pemerintah juga merasionalisasi tarif dari semula berkisar 27,5 persen-37,5 persen menjadi sekitar 17,5 persen. Rasionalisasi dilakukan dengan menghapuskan pajak penghasilan berkisar 10-20 persen (Kompas.id, 30 Januari 2020).
Widyaiswara Ahli Madya Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea Cukai M Jafar menjelaskan, pada dasarnya barang kiriman adalah barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri kepada penerima tertentu di dalam negeri. Penjelasan ini dicatat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Secara prinsip, dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Kepabeanan, barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk. Namun, harus dibedakan antara terutang dan wajib bayar.
”Tidak seluruh barang yang diimpor itu wajib bayar. Ada pasal yang memberikan pengkhususan. Barang kiriman yang diberikan perlakuan khusus, meskipun terutang bea masuk, kalau tidak melewati batasan nilai tertentu (3 dollar AS) maka diberikan kebebasan,” kata Jafar, Rabu (5/8/2020).
Paparan ini dibahas dalam webinar bertajuk ”Membedah Ketentuan Barang Kiriman Impor: Hingga Masa Pandemi Covid-19”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Kepala Subdirektorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan Djanurindro Wibowo dan Head of Public Policy and Government Relation Shopee Radityo Triatmojo.
Peningkatan impor
Penurunan batasan nilai tersebut dilakukan karena adanya peningkatan pengiriman paket dari luar negeri secara signifikan. Data Direktorat Jendral Bea dan Cukai menunjukkan, jumlah paket dari luar negeri dalam kegiatan e-dagang meningkat dari 6,1 juta paket (2017) menjadi 19,5 juta paket (2018), bahkan naik 216 persen hingga 57,9 juta paket (2019).
Dalam masa pandemi Covid-19 karena adanya pembatasan layanan transportasi, jumlah paket dari luar negeri sempat menurun dari 4,52 juta paket (Januari) menjadi 2,19 juta paket (Februari). Namun, ketika layanan transportasi mulai kembali dibuka, pengiriman paket kembali meningkat menjadi 4,1 juta paket (Juni) dan 3,77 juta paket (Juli).
Djanurindro Wibowo menilai, data ini menunjukkan, meskipun dalam kondisi pandemi, permintaan barang impor tetap ada. Untuk itu, aturan batasan nilai pembebasan bea masuk untuk impor barang kiriman memang harus ada agar pelaku usaha domestik tidak tertekan.
”Kegiatan barang impor kiriman sudah menjadi suatu keniscayaan. Siapa pun bisa menjadi importir sehingga wajar pemerintah harus membuat peraturan untuk melindungi industri dalam negeri,” kata Djanurindro.
Penurunan batasan nilai, kata Djanurindro, secara khusus dilakukan untuk melindungi komoditas tas, sepatu, dan tekstil. Sebab, impor barang kiriman atas ketiga produk ini sebesar 63 persen dari total importasi barang kiriman.
Guna melindungi produk unggulan dalam negeri, biaya impor ketiga produk ini dikenakan tarif bea masuk Most Favoured Nation (MFN) sebesar 32,5-50 persen. Namun, apabila melalui skema impor barang kiriman, besaran bea masuk menjadi hanya 17,5 persen.
”Kalau ketiga produk impor ini masuk dengan skema barang kiriman, ya, berantakan karena bea masuk 7,5 persen, pajak pertambahan nilai 10 persen, dan pajak penghasilan itu dihapus. Jelas semua (eksportir) akan beralih ke e-dagang karena biaya masuk mereka sebenarnya tinggi,” kata Djanurindro.
Pemberdayaan
Hasil analisis dan survei internal Shopee pada 2019 menunjukkan, penjual usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Shopee lebih dari 99 persen. Kontribusi UMKM untuk Shopee berdasarkan jumlah barang penjualan pun mencapai 64,4 persen, sementara kontribusi penjualan barang lintas batas negara hanya 7,7 persen.
Radityo Triatmojo menyampaikan, dari hasil analisis terhadap 10.000 produk terlaris di Shopee, barang impor yang dibeli masyarakat secara umum tidak bersaing dengan produk lokal, misalnya topi kelinci, kacamata mode, dan jam tangan pintar anak. Sementara untuk produk jilbab, persaingan terjadi kurang dari 0,7 persen.
”Produk lokal (jilbab) mengalahkan barang impor hampir dua kali lipat (63 persen). Artinya masyarakat Indonesia juga sudah memahami produk jilbab buatan lokal itu sudah bagus kualitasnya, bahkan sudah ekspor,” kata Radityo.
Untuk itu, pendampingan dan pembinaan menjadi penting bagi pelaku UMKM yang berjualan di e-dagang agar produk tidak kalah bersaing. Shopee kini mendampingi dan membina 40.000 UMKM untuk memulai bisnis dalam jaringan (daring).
Pelatihan dan pembinaan dilakukan dengan menyediakan kanal edukasi mulai dari belanja daring secara gratis di Youtube dan Vidio.com. Edukasi UMKM pun tidak hanya di kota, tetapi juga menjangkau kabupaten dan desa.
”Shopee juga memiliki kanal khusus Kreasi Nusantara untuk memberikan bantuan pemasaran bagi produk UMKM. Saat ini, kami telah membantu hingga 20.000 UMKM lokal untuk mengekspor produk ke Singapura dan Malaysia,” ujar Radityo.