Hubungan Bisnis Jadi Senjata Ekspor Perkebunan di Tengah Kontraksi
›
Hubungan Bisnis Jadi Senjata...
Iklan
Hubungan Bisnis Jadi Senjata Ekspor Perkebunan di Tengah Kontraksi
Pelaku usaha dan industri bersama pemerintah mesti mencermati ekspor komoditas perkebunan yang masih berjalan. Pelaku usaha dan industri nasional juga mesti memperkuat hubungan bisnis dengan importir di negara tujuan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komoditas perkebunan Indonesia selalu menjadi andalan ekspor. Agar keandalannya tetap terjaga di tengah kontraksi perekonomian akibat pandemi Covid-19, hubungan bisnis antara eksportir Tanah Air dan importir di negara tujuan mesti diperkuat.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, komoditas perkebunan selalu menjadi salah satu penopang ekspor, baik sebelum maupun saat pandemi Covid-19 melanda.
”Di tengah pandemi Covid-19 muncul sejumlah tantangan, seperti proteksi terhadap pasar di negara tujuan ekspor,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (5/8/2020) malam.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kelompok produk lemak hewan dan nabati yang didominasi oleh kelapa sawit menempati posisi kedua sebagai golongan barang utama yang diekspor dengan andil 12,34 persen sepanjang semester-I 2020. Produk karet menempati posisi ketujuh dengan andil 3,52 persen.
Selain dua komoditas itu, sejumlah produk perkebunan dan turunannya juga mencatatkan pertumbuhan ekspor yang positif sepanjang Januari-Juni 2020 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Misalnya, teh yang ekspornya tumbuh 47,1 persen dan bubuk kakao yang tumbuh 43,83 persen.
BPS juga menyebutkan, ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 tumbuh minus 5,32 persen. Sektor pertanian pada triwulan II-2020 tumbuh signifikan sebesar 16,24 persen. Pertumbuhan sektor ini di tengah pandemi lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II-2019 yang sebesar 13,77 persen.
Subsektor tanaman pangan dan perkebunan masing-masing tumbuh 33,77 persen dan 23,46 persen pada triwulan II-2020. Khusus subsektor perkebunan, pertumbuhan ini ditopang peningkatan produksi kelapa sawit, kopi, dan tebu, serta permintaan dari luar negeri.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Bayu berpendapat, pelaku usaha dan industri bersama pemerintah mesti mencermati ekspor komoditas perkebunan yang masih berjalan. Selain itu, pelaku usaha dan industri nasional mesti memperkuat hubungan bisnis dengan importir di negara tujuan. Importir tersebut juga memiliki kepentingan untuk mempertahankan sumber pasokannya.
Dalam memperkuat hubungan bisnis tersebut, pelaku usaha dan industri Indonesia dapat memanfaatkan platform e-dagang yang menghubungkan antarperusahaan. ”Oleh sebab itu, spesifikasi produk menjadi penting. Apalagi, Indonesia punya peluang karena komoditas perkebunannya tergolong dalam makanan-minuman primer yang tetap dibutuhkan, misalnya teh, kopi, dan minyak goreng berbasis kelapa sawit,” tuturnya.
Pelaku usaha dan industri bersama pemerintah mesti mencermati ekspor komoditas perkebunan yang masih berjalan.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang memperkirakan, ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada Juli dan Agustus 2020 akan membaik dibandingkan Juni 2020. Hal ini disebabkan oleh peningkatan volume dan harga.
Pada Juni 2020, BPS mendata, nilai ekspor minyak kelapa sawit mencapai 1,25 miliar dollar AS atau lebih tinggi 11,85 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan grafik harga minyak kelapa sawit mentah yang ada di laman resmi Gapki dengan basis Rotterdam, angka per 3 Agustus 2020 berkisar 712,5 dollar AS per ton, sedangkan per 3 Juni 2020 di posisi 600 dollar AS per ton.
Meskipun demikian, Togar menyatakan, pelaku usaha dan industri kelapa sawit tetap memantau rambu-rambu permintaan dunia. ”Permintaan dunia terhadap kelapa sawit dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan perekonomian yang berdampak pada daya beli masyarakat,” ujarnya.
Togar menilai, kenaikan harga kelapa sawit saat ini bersifat sementara. Salah satu penyebabnya ialah pembelian dari India yang meningkat karena pengisian stok penyangga, bukan karena kenaikan permintaan konsumen.
Di sisi lain, China menjadi salah satu pasar potensial karena permintaannya cenderung stabil atau minimal tak anjlok seperti negara-negara tujuan lainnya. Untuk pasar di kawasan Uni Eropa, dia berpendapat, produk kelapa sawit masih menghadapi tantangan.