Keterbukaan pada Teknologi Membantu Orangtua Menerapkan Pola Asuh Digital
›
Keterbukaan pada Teknologi...
Iklan
Keterbukaan pada Teknologi Membantu Orangtua Menerapkan Pola Asuh Digital
Orangtua perlu mengenal teknologi untuk membangun komunikasi yang baik dengan anak di zaman sekarang. Pengenalan terhadap teknologi dan manfaatnya membantu pola asuh orangtua terhadap anak di era digital native saat ini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pola asuh digital mengharuskan orangtua mengenal teknologi beserta manfaat dan dampaknya. Ini penting agar orangtua bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anak di era digital.
Pola asuh digital (digital parenting) dimaknai sebagai pola asuh yang menjadikan orangtua pembimbing utama anak dalam mengenal teknologi. Anak diberikan hak untuk mengakses gawai.
Di sisi lain, anak juga dididik untuk mengenal batasan konten yang boleh dikonsumsi, durasi menggunakan gawai, serta diajak berdiskusi sebab-akibat, serta sisi positif dan negatif pemanfaatan teknologi.
Pola asuh serupa diterapkan oleh karyawan swasta, Eka (34). Ia mengenalkan ponsel pintar ketika anaknya duduk di kelas I SD. Kini, anaknya ada di kelas III SD. Pengenalan dimulai ketika Eka mengajak anaknya menyimak lagu anak-anak di Youtube.
”Setelahnya, dia mengulik sendiri cara menggunakan Youtube. Dari lagu anak-anak, sekarang anak saya sudah paham cara menonton video-video lain, misalnya Manga (kartun Jepang). Dia boleh main gawai hanya ketika sudah menyelesaikan materi PJJ (pembelajaran jarak jauh),” kata Eka saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Tak lupa Eka menggunakan fitur pengawasan orangtua pada sejumlah aplikasi di ponsel pintar. Eka juga menghubungkan berbagai aplikasi dan browser dengan akun e-mail miliknya. Dengan ini, Eka bisa memastikan konten digital yang dikonsumsi sesuai dengan usia anaknya. Ia pun dapat memantau riwayat pencarian anak di laman internet.
Anak pun diajak mengenal batasan sejak dini. Eka memberi waktu 30 menit selama dua kali sehari untuk memainkan gawai. Jika melebihi waktu tersebut, anak akan diberi konsekuensi.
”Misalnya, saya tidak memberikan jatah bermain gawai di malam hari karena jatahnya sudah dihabiskan di siang hari. Agar anak tidak kesal dan bosan, saya mengajak dia melakukan aktivitas lain, seperti membuat puding dan menggambar,” kata Eka.
Batasan tentang konten yang baik dan tidak pun disampaikan kepada anak setiap hari. Batasan dan penjelasannya disampaikan Eka dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak.
Sementara itu, direktur regional lembaga pendidikan bahasa Inggris, Elisabeth Maria, mengatakan, pola asuh digital dilakukan sambil membagi diri antara pekerjaan dan keluarga. Teknologi ia gunakan untuk berkomunikasi dan memantau kegiatan belajar sang anak sambil bekerja.
Saya tidak memberikan jatah bermain gawai di malam hari karena jatahnya sudah dihabiskan di siang hari. Agar anak tidak kesal dan bosan, saya mengajak dia melakukan aktivitas lain, seperti membuat puding dan menggambar. (Eka)
”Saya bilang kepada anak untuk mengabari saya jika ada PR yang tidak dipahami. Kami lalu mengerjakannya bersama setelah saya pulang bekerja. Menurut saya, anak perlu diajarkan tentang kewajiban dan kedisiplinan (dalam melakukan tugas sehari-hari dan menggunakan teknologi),” kata Elisabeth.
Terbuka pada teknologi
Psikolog anak dan remaja Irma Dianita mengatakan, orangtua zaman sekarang perlu terbuka pada perkembangan teknologi yang ada. Orangtua diharapkan belajar mengikuti teknologi terbaru, begitu pula dengan fungsi dan dampak negatifnya.
”Kita tidak bisa hanya hidup di masa lalu, tetapi juga harus hidup di zaman anak kita yang serba maju. Jangan menolak teknologi. Terima saja dulu, lalu pilihlah mana yang baik untuk anak,” kata Irma dalam diskusi virtual berjudul ”The Rise of Digital Parenting”.
Orangtua yang terbuka dan mau belajar teknologi dinilai dapat membangun komunikasi yang baik dengan anak. Dengan begitu, orangtua bisa berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak di era digital.
Sebelumnya, peneliti Tim Remaja Kelompok Penelitian Keluarga dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agustina Situmorang, menyatakan, ada kesenjangan penggunaan media digital antara orangtua dan remaja. Ini mempersulit jalinan komunikasi antara keduanya. Menurut Agustina, belum ada upaya signifikan dari orangtua untuk memperbaiki pola komunikasi itu. Belum banyak pula orangtua yang berusaha mengikuti perkembangan media digital (Kompas.id, 15/4/2019).
Digital native
Jim Taylor dalam buku Raising Generation Tech mengatakan, anak-anak masa kini adalah digital native, yaitu orang yang tumbuh di era digital. Dunia digital native disebut sebagai dunia yang menyenangkan dan penuh dengan kemungkinan baru. Dunia anak-anak masa kini berbeda jauh dengan dunia generasi sebelumnya.
Tantangan orangtua masa kini ialah memastikan anak-anak punya persiapan matang untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks. Menurut Taylor, orangtua tidak perlu bersikap anti-terhadap teknologi karena teknologi bisa menciptakan kebudayaan baru. Dengan memahami prinsip itu, orangtua bisa memanfaatkan teknologi untuk kepentingan anak.
Sementara itu, Direktur Regional Asia Timur dan Pasifik Unicef Karin Hulshof mengatakan, media sosial dan teknologi memberikan peluang dan risiko besar. Namun, menolak akses ke teknologi bukan jawaban untuk melindungi anak.
”Kita perlu memahami risiko yang dihadapi anak-anak di dunia maya. Kita pahami bagaimana mereka menggunakan media sosial, memandang risiko yang mereka hadapi, dan langkah apa yang bisa diambil untuk melindungi diri,” kata Hulshof.