Tiktok telah menjadi komoditas politik. Esensi masalah sebenarnya dari Tiktok menjadi kabur karena berbagai kepentingan tumpang tindih dari mulai kepentingan politik hingga kepentingan ekonomi pesaingnya.
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
Selama kemunculan industri digital, tidak pernah ada usaha rintisan yang berwujud aplikasi yang menjadi perdebatan sengit antarbangsa. Pekan ini, aplikasi bernama Tiktok menjadi perdebatan di sejumlah negara, secara khusus Amerika Serikat dan China, hingga hampir setiap hari ada kabar mengenai usaha rintisan yang satu ini. Tiktok berada di tengah-tengah gelombang berbagai kepentingan yang tengah bergulung-gulung.
Beberapa hari ini saja beredar berbagai kabar tentang Tiktok dari mulai akan mendapat pesaing baru, yaitu Instagram Reels, sahamnya akan dibeli Microsoft, media China membalas rencana pembelian itu sebagai pencurian, dan ancaman aplikasi itu akan dilarang di AS. Cerita tentang usaha rintisan ini belum bakal berakhir pada pekan-pekan ini. Tiktok sangat boleh jadi masih akan menjadi bulan-bulanan beberapa bulan ke depan.
Tiktok adalah aplikasi berbagai video yang didirikan pada tahun 2012. Usaha rintisan ini dimiliki perusahaan ByteDance dan berbasis di Beijing, China. Awalnya mereka hanya melayani pasar China dengan nama Douyin pada 2016 dan pada 2017 dipasarkan ke luar negeri. Akan tetapi, aplikasi ini baru bisa digunakan secara global setelah mereka merger dengan Music.ly. Setelah merger ini, jumlah pengunduh melonjak secara drastis, termasuk di pasar AS, hingga mencapai 2 miliar pengunduh.
Sejak kelahirannya, Tiktok seperti ”ditakdirkan” diserang dari berbagai sisi, mulai dari tuduhan membuat kecanduan alias adiksi, kontennya bermasalah, memberi peluang perundungan, keamanan privasi, keamanan datanya rentan, dan tentu persoalan yang lagi hangat, yaitu keamanan yang berbumbu politik global. Berbagai tuduhan dilayangkan oleh sejumlah organisasi dan pemerintahan. Pemerintah Indonesia juga sempat ikut melarang aplikasi ini dengan tuduhan mengandung konten pornografi, tetapi kemudian pelarangan itu dibuka.
Salah satu pergunjingan yang tengah memanas tentu terkait dengan masalah keamanan dan politik global. Sejak awal tahun ini, Tiktok sudah menjadi bulan-bulanan sejumlah negara. India melakukan pelarangan Tiktok setelah negara itu berkonflik di perbatasan. Di AS, perdebatan soal Tiktok memanas sepertinya terkait dengan pemilihan presiden November mendatang. Pada akhir Juli lalu, Presiden Donald Trump telah mengancam akan melarang Tiktok di negaranya.
Lanjutan perang urat saraf antarnegara pasti akan berlanjut. Isu Tiktok bakal menjadi salah satu isu yang diseret-seret. Kepentingan pemerintahan Trump untuk menggoreng isu Tiktok itu diduga terkait dengan isu ”nasionalisme” yang laku menjadi isu politik di kalangan pemilih di AS.
Serangan terhadap Tiktok yang diidentikkan dengan kepentingan asing, yaitu China, yang bakal membangkitkan semangat membela kepentingan AS. Trump menjadi figur yang lincah dalam mengelola isu-isu semacam ini. Pendukungnya pun mudah sekali terbawa dengan isu-isu nasionalisme.
Tuduhan Tiktok mengoleksi data para pengguna sering diungkapkan berbagai kalangan. Beberapa negara mencemaskan masalah ini dan mudah sekali menjadikan soal itu sebagai isu keamanan dan privasi.
Tentu saja ketika seorang pejabat pemerintah melontarkan masalah ini pasti akan bergaung dan bersambut. Mereka sangat sensitif dengan isu kedaulatan meski aplikasi lain melakukan hal yang sama atau bahkan mengoleksi data lebih banyak. Namun, isu Tiktok lebih seksi ketika bergabung dengan isu lain, bahkan isu rasial di beberapa negara.
Kepentingan bisnis pun mungkin berkelindan dengan kepentingan politik pada saat ini. Kemunculan Instagram Reels, fitur di Instagram yang bakal berhadapan dengan Tiktok, di tengah situasi seperti sekarang ini sangat kecil kemungkinan hanya sekadar durian runtuh. Apalagi Facebook sebagai induk dari Instagram pernah gagal membuat lawan yang sebanding dengan Tiktok. Mereka pernah membuat Lasso, tetapi gagal di pasar. Oleh karena itu, mereka bekerja keras untuk menaklukkan Tiktok yang merupakan ancaman terbesar di pasar anak-anak muda. Apalagi pada saat pandemi, Tiktok berkembang pesat luar biasa.
Penggunaan Tiktok juga mulai melebar, dari sekadar untuk hiburan kemudian untuk kepentingan pemasaran perusahaan kini para politisi mulai menggunakan Tiktok untuk pencitraan mereka sehingga popularitas Tiktok melonjak. Maklum saja, pesohor di Tiktok lebih terkenal dibandingkan para politisi. Politisi muda di sejumlah negara mulai menggunakan Tiktok. Di kalangan mereka, Tiktok lebih memperlihatkan sikap-sikap alami pengguna dibandingkan aplikasi media sosial lainnya. Ekspresi-ekspresi pengguna bisa memukau para calon pemilih.
Tiktok mungkin juga sudah menyadari sejak awal tentang berbagai serangan yang berbumbu bisnis dan politik. Mereka melakukan berbagai cara agar serangan itu mereda dan meyakinkan publik bahwa berbagai tuduhan yang beredar adalah tidak benar, seperti pada Juni lalu mengangkat CEO Kevin Mayer yang berkebangsaan AS. Pengangkatan Mayer diduga untuk menunjukkan keterbukaan mereka dan mengeliminasi tuduhan kepentingan Pemerintah China di balik operasi Tiktok.
Di sejumlah negara, Tiktok bekerja keras untuk menjalin kerja sama baik dengan pengguna maupun dengan berbagai lembaga untuk memperkuat eksistensinya. Sandaran Tiktok adalah negara-negara yang belum atau tidak melarang penggunaan Tiktok. Mereka harus memperbesar pasar ini untuk mengompensasi jumlah pengguna yang hilang akibat pelarangan di puluhan negara. Mereka memasuki tak hanya pasar orang kebanyakan, tetapi juga pasar bisnis.
Kasus Tiktok mungkin menjadi peringatan bagi usaha rintisan yang memasuki pasar global. Isu politik dan bisnis usaha rintisan berbasis teknologi digital makin melekat dan bergantung dengan kebijakan dan situasi politik di sebuah negara. Tiktok mungkin menjadi korban pertama dari berbagai kepentingan negara. Tidak mengherankan bila seorang penulis bernama Ari Lightman di dalam laman Thehill.com mengatakan, Tiktok adalah korban dari perang politik dan kultur dibandingkan isu tentang penyalahgunaan data di dalam operasinya.
Tiktok telah menjadi komoditas politik. Esensi masalah sebenarnya dari Tiktok dan berbagai aplikasi yang beredar menjadi kabur karena berbagai kepentingan tumpang tindih dari mulai kepentingan politik hingga kepentingan ekonomi atau bisnis dari pesaingnya. Usaha rintisan akan makin menghadapi masalah seperti ini di sejumlah negara. Mereka makin membutuhkan pelobi-pelobi politik untuk berjaya di sebuah negara.