Resesi adalah salah satu istilah dalam perekonomian yang makin sering dicari masyarakat. Otoritas bisa mengomunikasikan berbagai hal terkait kondisi ekonomi terkini agar masyarakat tidak khawatir.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Di sebuah grup obrolan Whatsapp, seorang anggota membuat analisis ekonomi Indonesia yang terkena dampak pandemi Covid-19. Ia menceritakan data situasi ekonomi Indonesia yang kacau balau. Di akhir cerita, sambil menyodorkan data antah berantah, ia memperlihatkan kemungkinan ancaman resesi hingga depresi besar yang akan dihadapi Indonesia. Ceritanya sangat seram.
Kata-kata mulai dari krisis, resesi, hingga depresi makin kencang meluncur di dunia maya. Namun, sedikit yang memahami istilah-istilah itu. Para pembajak kata-kata bergentayangan, baik yang motivasinya bisnis maupun politik. Ada yang ”menjual ketakutan” yang ujung-ujungnya berjualan buku, jasa pelatihan, dan jasa konsultasi. Ada pula yang menggalang kekuatan untuk menyudutkan pemerintah dengan berbagai data yang dimiliki.
Apa yang bisa dilakukan otoritas? Penanganan isu-isu ekonomi dalam konteks pandemi yang berpotensi memunculkan krisis ekonomi (termasuk resesi dan depresi) perlu mempertimbangkan perbincangan di media sosial. Pada krisis-krisis lalu, pemerintah cukup berkomunikasi dengan media-media arus utama sehingga masalah tidak rumit. Namun, kali ini berbeda karena kanal komunikasi sangat banyak. Salah satu faktor penting adalah keberadaan media sosial.
Menghadapi perubahan dunia komunikasi, otoritas perlu melihat berbagai kanal, seperti media arus utama, media digital, media sosial, dan tatap muka. Media arus utama tetap menjadi sandaran karena menjalankan laku jurnalisme sehingga isinya bisa dipertanggungjawabkan. Di luar itu, otoritas perlu membangun cara dan isi komunikasi yang tepat.
Pertama-tama, otoritas perlu menjelaskan secara membumi, mulai dari informasi ekonomi terkini, pengelolaan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, potensi ancaman resesi, hingga syarat resesi. Seorang kawan mengingatkan, semua itu adalah istilah milik para ”dewa”. Orang kebanyakan belum bisa memahami secara detail sehingga mudah terhasut para pembajak kata. Otoritas harus bisa membahasakan berbagai istilah itu menjadi enak didengar dan mudah dipahami.
Otoritas juga perlu memantau orang-orang yang kerap menggunakan isu-isu ekonomi dalam perbincangan di media sosial di tengah pandemi. Arah perbincangan juga perlu diketahui. Ketika ada kesalahan dalam penggunaan istilah, otoritas bisa langsung meluruskan. Mereka juga perlu memantau kemungkinan motivasi yang muncul di setiap perbincangan sehingga bisa menangani secara tepat.
Oleh karena itu, dalam jangka pendek, otoritas harus mulai ”menggarap” secara khusus isu resesi dalam komunikasi. Otoritas perlu menjemput bola mengelola isu resesi agar isu ini tidak menjadi liar. Misalnya, dengan menjelaskan istilah resesi, syarat terjadinya resesi, hingga upaya yang telah dilakukan pemerintah. Isu ini mudah menjadi liar karena memori tentang krisis ekonomi 1998 masih membayang di ingatan sebagian besar warga.
Jalan yang bisa diambil otoritas adalah mengurangi ketakutan yang muncul. Isu resesi dipastikan memunculkan kebingungan, ketakutan, dan sinisme. Semua itu bisa mereda ketika pemerintah bisa memberikan gambaran yang jernih mengenai langkah yang diambil, peran yang bisa dilakukan warga, peran yang bisa dilakukan pelaku bisnis, dan lain-lain. Komunikasi dengan media sosial tidak berarti otoritas hanya mengandalkan kanal-kanal yang ada secara langsung.
Otoritas bisa berkomunikasi dengan tokoh, pebisnis, pengamat, media, pemberi pengaruh, organisasi, dan lain-lain terlebih dahulu, kemudian membuat konten di media sosial.
Kita berharap resesi tidak terjadi dan kita yakin pemerintah tengah melakukan berbagai upaya untuk mencegah resesi. Akan tetapi, isu resesi sendiri mulai digunakan oleh beberapa pihak sehingga meresahkan masyarakat. Di kalangan ahli pemasaran, saat ekonomi berpotensi bermasalah, yang dibutuhkan pebisnis adalah kepastian langkah yang diambil pemerintah. Pemerintah perlu membangun ”cerita” yang memberikan harapan dalam berkomunikasi di tengah isu resesi dan menunjukkan niat untuk bekerja sama dengan semua kalangan.