Lebanon Menanti Keadilan atas Tragedi bagi Hariri
Tiga hari jelang pembacaan vonis kasus pembunuhan mantan PM Lebanon Rafik Hariri, Beirut diguncang ledakan dahsyat. Apakah proses peradilan ”in-absentia” ini akan membawa kebahagiaan bagi warga Lebanon atau sebaliknya?
Hanya berselang tiga hari sebelum pembacaan vonis kasus pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri di pengadilan khusus bentukan PBB dan Lebanon di Den Haag, Belanda, ledakan besar mengguncang Beirut, ibu kota Lebanon. Terkait atau tidak, ledakan pada Selasa petang itu mengingatkan publik terhadap kejadian hampir serupa tahun 2005.
Tanggal 14 Februari 2005 seharusnya menjadi hari yang menyenangkan bagi pasangan Ehsan Fayed dan suaminya, Talal Nasser. Fayed membeli sekuntum bunga untuk Nasser, Kepala Keamanan Pengawal mantan PM Rafik Hariri.
Namun, kenyataan berkata lain. Bunga mawar yang dibelinya itu tidak jadi dipersembahkan untuk memperingati hari kasih sayang dengan sang suami terkasih. Bunga yang dibelinya tersebut kemudian diletakkan Fayed di atas peti jenazah sang suami, Nasser, yang ikut tewas bersama Hariri, 14 Februari 2005.
”Tidak ada yang bisa mengembalikan bagian dari hidup kami yang telah hilang. Namun, ada sesuatu yang dapat memberikan kembali hak Anda, hak orang-orang yang tewas dan mereka yang terluka karena peristiwa itu,” kata Fayed.
Dia berharap otoritas berwenang dapat menangkap para pelaku pengeboman yang membuat dirinya kehilangan orang yang dicintainya. Tidak hanya itu, Fayed juga berharap kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan atas serangan yang menghancurkan kehidupan dirinya dan rakyat Lebanon secara keseluruhan.
”Meski waktu terus berlalu, banyak hal yang membuat kami terus mengingatnya,” ujar Fayed.
Tragedi bagi Hariri
Hariri, bagi sebagian besar warga Lebanon, ibarat pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih baik. Anak petani dari Sidon, wilayah Lebanon selatan, itu dikenal sebagai pengusaha konstruksi yang sukses di Arab Saudi, memiliki peran penting dalam tercapainya kesepakatan Taif pada 1989 yang mengakhiri perang saudara di Lebanon.
Baca juga: Ledakan Dahsyat di Beirut Tewaskan Sedikitnya 78 Orang, Melukai 4.000 Orang
Dengan kecakapannya dalam lobi dan jaringannya yang luas semasa menjalankan usaha di Arab Saudi, Hariri terpanggil untuk membangun kembali tanah kelahirannya, Lebanon, yang porak-poranda akibat perang berkepanjangan. Ia dipercaya menjadi pemimpin negara itu selama dua periode (1992-1998, 2000-2004). Hariri dinilai sebagai salah satu pemimpin Lebanon yang berhasil membawa negara itu bangkit kembali.
Namun, seolah menggambarkan perjalanan Lebanon sebagai bangsa, roda kehidupan Hariri tak selamanya berjalan mulus. Hubungannya yang tidak harmonis dengan Presiden Lebanon Emile Lahoud memaksa pria yang pernah mendapat julukan sebagai ”Bapak Mukjizat” oleh majalah Time ini mundur pada Oktober 2004. Beberapa bulan kemudian, bom mobil seberat lebih dari 1.000 kilogram menewaskan Hariri, Nasser, dan puluhan warga lain. Ratusan warga sipil terluka akibat ledakan itu (Kompas, 16 Februari 2005).
Pembunuhan Hariri pada 2005 menjerumuskan Lebanon ke dalam serangkaian krisis politik, pembunuhan, dan pengeboman yang menyeret negara itu ke ambang perang saudara berikutnya. Padahal, saat itu Lebanon tengah membangun kembali dirinya setelah konflik 15 tahun yang berakhir pada 1990.
Baca juga: Lebanon, Tanah Indah Bangsa Fenisia yang Terkoyak Perang dan Konflik Sektarian
Untuk menyelidiki kematiannya, tim khusus dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tim penyidik awal dipimpin Detlev Mehlis, penyidik asal Jerman. Mehlis melakukan penelusuran dan menemukan adanya sejumlah pejabat tinggi asal Suriah dan Lebanon terindikasi terkait dengan pembunuhan Hariri. Suriah, yang memiliki kedekatan dengan sejumlah pejabat tinggi Lebanon, termasuk Lahoud, membantah terlibat dalam pembunuhan itu.
Tim juga sempat menahan empat petinggi militer Lebanon dengan tuduhan terlibat dalam aksi keji itu. Namun, mereka dibebaskan empat tahun kemudian setelah pengadilan menilai tak cukup bukti untuk menghukum mereka. Setahun kemudian, Mehlis mundur dari tim investigasi itu.
Baca juga: Beirut, Libanisasi, Sebuah Catatan Wartawan ”Kompas”
PBB didukung Pemerintah Lebanon kemudian membentuk pengadilan internasional untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan tim sebelumnya. Pengadilan Khusus untuk Lebanon, yang mengadili pelaku pengeboman 14 Februari 2005, dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1757. Pemerintah Lebanon mendukung pembentukan pengadilan khusus (Special Tribunal for Lebanon/STL) yang terletak di Leidschendam, tidak jauh dari Den Haag, Belanda, lokasi Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Empat tersangka
Dua tahun kemudian, tim penyidik menyebut empat nama yang merupakan anggota kelompok Hezbollah sebagai tersangka kasus pengeboman itu, yaitu Salim Jami Ayyash, Mustafa Badreddine, Hussein Hassan Oneissi, dan Assad Hassan Sabra. Satu tersangka lainnya, Hassan Habib Merhi, baru disebut tahun 2013.
Dalam dakwaannya, tim penuntut menyatakan bahwa kelimanya terlibat mulai dari perencanaan hingga eksekusi di lapangan, berdasarkan penyelidikan tim. Namun, sebagian besar bukti yang terkait dengan kelima tersangka adalah bukti tidak langsung yang diperoleh dari catatan percakapan telepon. Tim juga mendakwa Badreddine dan Ayyash sebagai otak pengeboman.
Pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah, membantah tuduhan keterlibatan anggotanya dalam pembunuhan Hariri. Dia menyatakan akan memberi perlindungan maksimal terhadap kelima orang itu dan mengancam akan melukai setiap petugas keamanan yang hendak menangkap anggotanya.
Persidangan dimulai pada 2014 tanpa kehadiran kelima terdakwa. Hezbollah tetap menolak menyerahkan kelima anggotanya dan menyatakan bahwa setiap tuduhan yang diajukan oleh tim penyelidik adalah tidak berdasar. Hezbollah juga menilai bahwa proses peradilan itu adalah alat Amerika Serikat dan Israel. Belum sempat Badreddine duduk di kursi pesakitan, tahun 2016 Hezbollah mengumumkan Badreddine tewas dalam sebuah serangan di Suriah.
Baca juga: Iran Kian Pengaruhi Lebanon
Selama beberapa tahun bersidang, sebanyak 300 orang telah memberikan kesaksian. Bukti-bukti telah dikumpulkan. Pada September 2019, STL mendakwa Ayyash bertanggung jawab terhadap tiga pembunuhan politisi lainnya dengan tindakan yang sama sepanjang tahun 2004-2005. Dia didakwa atas tindakan terorisme dan pembunuhan yang menewaskan mantan pemimpin Partai Komunis Lebanon Georges Hawi dan dua orang lainnya.
Mencari keadilan
Lillane Khallouf, salah satu korban luka dalam kejadian 15 tahun silam, mengaku membutuhkan jawaban tentang siapa dan mengapa tindakan keji itu dilakukan. ”Ada kenyamanan mengetahui siapa yang melakukan ini kepada Anda dan, jika mereka dihukum, hal itu adalah kenyamanan lebih lanjut. Di sana akan ada (keadilan), di sini agak sulit,” kata perempuan yang hingga saat ini masih trauma mendengar sirene ambulans.
Rekannya, Clemence Tarraf, mengaku tidak bisa memaafkan pelaku. ”Apa pun keputusannya, tidak akan cukup. Ibuku kehilangan seorang putra dan anak-anaknya kehilangan seorang ayah. Kami kehilangan sayap,” kata Tarraf.
Saad Hariri, putra Rafik Hariri, yang juga sempat menjabat sebagai perdana menteri seperti sang ayah, menyatakan bahwa dia mencari keadilan, bukan balas dendam. Dirinya tidak ingin mengganggu stabilitas Lebanon, yang sekarang bergulat dengan krisis keuangan yang mendalam.
Tidak hanya berhadapan dengan pandemi Covid-19, Lebanon kini berhadapan dengan masalah ekonomi. Dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar pound atau lira Lebanon terus melemah. Berbagai upaya untuk memperoleh suntikan dana, merancang reformasi sebagai syarat yang diajukan oleh kelompok negara peminjam, terus mendapat tentangan keras dari sejumlah partai politik, termasuk Hezbollah.
Dengan vonis yang akan dibacakan pada Jumat (7/8/2020), apakah hal itu akan membawa kebahagiaan di tengah impitan ekonomi dan peristiwa ledakan yang baru saja terjadi? (REUTERS/AFP)