Meratapi Nestapa Lebanon
Ledakan amonium nitrat di gudang pelabuhan kota Beirut menjadi ledakan terdahsyat di kota itu. Selain menimbulkan korban, ledakan itu juga menghancurkan pelabuhan yang menjadi urat nadi ekonomi.
Ledakan sangat dahsyat yang meluluhluntahkan kota Beirut, ibu kota Lebanon, Selasa (4/8/2020), memang layak ditangisi.
Ledakan dahsyat yang berasal dari area pelabuhan kota Beirut akibat ledakan bahan kimia jenis amonium nitrat seberat 2.750 ton itu telah membawa korban tewas sedikitnya 100 orang dan lebih dari 4.000 luka-luka.
Belum lagi kehancuran gedung-gedung penting yang segera menjadi puing-puing, mengingat pelabuhan kota Beirut sangat dekat dengan pusat kota yang terdapat banyak gedung penting. Media lokal Lebanon menyebut tidak pernah terjadi ledakan sedahsyat hari Selasa itu sejak kemerdekaan Lebanon dari kolonial Perancis tahun 1943.
Saat puncak berkecamuknya perang saudara di Lebanon (1975-1990) dan saat invasi Israel ke Beirut tahun 1982, tidak pernah terdengar bunyi ledakan sedahsyat ledakan Selasa itu. Gubernur Kota Beirut Marwan Abboud melukiskan dahsyatnya ledakan kota Beirut seperti ledakan bom atom yang dijatuhkan AS atas kota Hiroshima, Jepang, pada Perang Dunia II tahun 1945.
Suatu hal yang sangat patut dirisaukan akibat ledakan dahsyat tersebut adalah semakin rusaknya citra kota Beirut dan negeri Lebanon yang dahulu sangat dikenal sebagai negeri indah dan damai, kini berbalik menjadi negeri yang cukup mengerikan.
Siapa pun yang sempat menonton rekaman video detik-detik ledakan dahsyat di kota Beirut pada hari Selasa itu akan segera menyayangkan adanya tangan-tangan samar yang sengaja ingin memutar balik arah peradaban kota Beirut dan negeri Lebanon dari menuju ke arah kemajuan menjadi berbalik ke arah kegelapan.
Negeri Lebanon sesungguhnya memiliki semua potensi untuk menjadi negara maju di dunia Arab dan Timur Tengah. Lebanon telah memiliki warisan sejarah modern, sebagai negara Arab termaju dan termakmur yang dicapainya pada tahun 1950-an dan 1960-an hingga awal tahun 1970-an.
Baca juga : Dari Batumi ke Beirut, Asal Amonium Nitrat yang Meluluhlantakkan
Sumber daya manusia (SDM) Lebanon yang berintikan dari multikultur, sekte, dan agama sesungguhnya merupakan kekayaan dan sekaligus kekuatan negeri itu jika bisa dikemas dan diramu secara modern, efisien, dan produktif.
Mosaik SDM Lebanon tersebut terbukti relatif bisa menjadi kekuatan negara itu pada tahun 1950-an dan 1960-an, hingga Lebanon sering menjadi barometer kesuksesan di dunia Arab dan Timur Tengah saat itu. Tak pelak lagi, Lebanon saat itu menjadi tujuan utama wisata dan investasi warga Arab dari banyak negara Arab lain, khususnya warga negara Arab Teluk (Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Bahrain, Oman, dan Uni Emirat Arab/UEA).
Dahulu, menyebut kota Beirut dan negeri Lebanon selalu identik dengan sebuah wilayah indah di Timur Tengah. Sudah sering dijumpai banyak tulisan di media ataupun buku yang menyebut Lebanon sebagai Swiss di Timur Tengah. Sebutan itu tidak berlebihan. Negeri Lebanon memang bak duplikat negeri Swiss. Panorama alam Lebanon, seperti halnya Swiss, didominasi alam perbukitan. Di kala musim dingin, perbukitan Lebanon bisa dibuat main ski, seperti halnya di Swiss.
Luas wilayah Lebanon, seperti halnya Swiss, dibilang sangat kecil. Lebanon memiliki panjang dari utara ke selatan hanya sekitar 200 km dan lebar dari barat ke timur hanya sekitar 70 km serta berpenduduk hanya sekitar 7 juta jiwa. Kultur Lebanon pun cenderung liberal mirip Eropa. Maka, Lebanon sering disebut pula negeri unik karena hidup di tengah dunia Arab yang secara kultur cenderung konservatif.
Baca juga : Bantuan Mulai Mengalir ke Lebanon
Namun, semua kisah indah tentang negeri Lebanon itu kini seperti sudah menjadi kenangan sejarah. Lebanon mendadak berubah begitu menyeramkan, menyusul meletus perang saudara yang berlangsung selama 15 tahun (1975-1990). Peristiwa kekerasan demi kekerasan kemudian terus tidak pernah berhenti yang semakin mencoreng citra negeri Lebanon. Lebanon juga semakin kehilangan kedaulatannya, menyusul semakin kuat campur tangan asing di negeri itu, seperti Suriah, Iran, Arab Saudi, dan Perancis.
Kekerasan demi kekerasan yang tak pernah berhenti terjadi di negeri Lebanon itu selalu tidak berdiri sendiri, tetapi bagian dari pertarungan sengit kekuatan-kekuatan regional dan internasional yang melakukan intervensi di negara itu.
Lebanon pun semakin tidak berdaya menghadapi intervensi kekuatan-kekuatan regional dan internasional tersebut, baik dengan alasan ideologi maupun ekonomi. Hezbollah, misalnya, sebagai salah satu kekuatan politik utama di Lebanon, secara ideologi sangat terikat dengan Iran.
Partai al-Mostaqbal pimpinan Saad al-Hariri, secara ekonomi sangat tergantung kepada Arab Saudi. Partai Syiah Amal pimpinan Nabih Berri secara ekonomi sangat tergantung kepada Suriah.
Baca juga : Kisah Ibadah Haji, dari Dinasti Ottoman ke Dinasti Al Saud
Itulah kisah pilu yang melekat pada negeri Lebanon terakhir ini. Publik Lebanon kini menunggu hasil kinerja komite penyidik yang dibentuk Dewan Tinggi Pertahanan Lebanon pada Selasa malam lalu atas ledakan dahsyat kota Beirut.
Publik masih bertanya-tanya, apakah ledakan dahsyat kota Beirut itu sebuah insiden biasa akibat keteledoran manusia, atau bagian dari pertarungan politik kekuatan domestik dan regional?
Apa pun hasil laporan komite penyidik tersebut, peristiwa ledakan dahsyat kota Beirut tidak hanya menggemparkan lantaran daya dahsyatnya ledakan yang luar biasa, tetapi juga telah begitu mematikan pilar andalan ekonomi Lebanon, yakni pelabuhan.
Pelabuhan Beirut merupakan pelabuhan terpenting di Lebanon dan kawasan Mediterania bagian timur. Pelabuhan Beirut yang dibangun pada tahun 1894 merupakan pintu utama aktivitas ekspor-impor dari dan ke Lebanon. Tercatat sebanyak 70 persen aktivitas ekspor-impor dari dan ke Lebanon melalui pelabuhan kota Beirut. Pelabuhan Beirut pun menjadi urat nadi utama perekonomian Lebanon.
Baca juga : Turki-Mesir : Tegang tapi Mesra
Pelabuhan Beirut tercatat telah menjalin kerja sama dengan 300 pelabuhan di seluruh dunia, dan jumlah kapal yang berlabuh di Pelabuhan Beirut rata-rata 3.100 kapal per tahun.
Pakar ekonomi Lebanon, Basel Khateb, mengatakan, tidak beroperasinya Pelabuhan Beirut merupakan pukulan berat atas perekonomian Lebanon yang bisa mendatangkan kerugian miliaran dollar AS. Gubernur Kota Beirut Marwan Abboud memperkirakan kerugian akibat ledakan dahsyat kota Beirut bisa mencapai 5 miliar dollar AS.
Pada tahun 2005 hingga tahun 2018, kapal yang merapat dan membongkar muat di Pelabuhan Beirut terus menunjukkan kenaikan dari hanya 4,48 juta ton tahun 2005 hingga 8 juta ton pada tahun 2018. Pada 2018, Pelabuhan Beirut menerima 7,05 juta ton yang merupakan 72 persen dari keseluruhan impor komoditas, berbanding sekitar 1 juta ton atau 78 persen dengan keseluruhan ekspor.
Pada tahun 2020, jumlah kapal yang merapat untuk membongkar atau memuat komoditas sekitar 1.872 kapal, berbanding sebanyak 2.400 kapal pada tahun 2009. Tahun 2019 merupakan tahun terburuk untuk pendapatan pelabuhan kota Beirut karena terpuruknya ekonomi Lebanon sehingga membawa dampak atas lemahnya permintaan domestik atas komoditas.
Pada tahun 2019, pendapatan Pelabuhan Beirut tidak mencapai 200 juta dollar AS, berbanding 313 juta dollar AS pada tahun 2018. Maka ledakan dahsyat kota Beirut itu telah membuat negeri Lebanon semakin mundur baik secara politik, budaya, maupun ekonomi, yang terakhir ini negeri itu sudah dililit krisis politik dan ekonomi.