Kasus Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan signifikan. Sekolah diharapkan tidak gegabah membuka kegiatan belajar mengajar tatap muka.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan belum adanya indikasi wabah terkendali, pembukaan kembali sekolah berisiko memicu ledakan kasus Covid-19. Penerapan zonasi juga tidak akan efektif karena tidak didukung data kecukupan jumlah tes dan pelacakan kontak.
”Sekolah bisa dibuka jika wabah sudah terkendali dan tidak ada lagi penularan di komunitas, dan itu harus didukung dengan bukti kecukupan tes di wilayah itu. Jika tidak, risikonya sangat besar,” kata Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, Australia, Rabu (5/8/2020).
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan membuka kembali sekolah-sekolah di wilayah yang masuk zona hijau sejak 13 Juli 2020. Keputusan ini dibuat berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. Kini, pemerintah berencana membuka sekolah di zona kuning.
Berdasarkan peta risiko yang dikeluarkan Satuan Tugas Covid-19, saat ini terdapat 94 kabupaten/kota di zona hijau, 182 zona kuning atau kategori risiko rendah, 185 zona oranye atau risiko sedang, dan 53 zona merah atau berisiko tinggi. Untuk Jawa dan Bali, hingga saat ini belum ada yang masuk zona hijau.
Dicky mengatakan, penerapan zonasi ini kurang tepat karena tidak ada pembatasan yang tegas antarwilayah. ”Selama mobilitas warga antarkabupaten/kota ini tidak dibatasi dengan ketat, jangan beranggapan ada daerah yang aman atau zona hijau,” katanya.
Ahli kesehatan masyarakat pasti tidak setuju dengan konsep zonasi ini karena misleading, bisa menyebabkan keamanan semu. (Joko Mulyanto)
Epidemiolog dari Universitas Jenderal Soedirman, Joko Mulyanto, mengatakan, penerapan zonasi ini kurang tepat karena tidak ada pembatasan yang tegas antarwilayah. ”Ahli kesehatan masyarakat pasti tidak setuju dengan konsep zonasi ini karena misleading, bisa menyebabkan keamanan semu,” katanya.
Sepanjang tidak ada pembatasan mobilitas yang ketat antarkabupaten/kota, risiko penularan tetap tinggi. Oleh karena itu, setiap daerah wajib mewaspadai adanya penularan, yang bisa jadi belum diidentifikasi karena masih kurangnya pemeriksaan.
Zonasi
Sebelumnya, berdasarkan data Kemendikbud, terdapat 79 kabupaten/kota yang belum mengikuti SKB Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.
Sejumlah sekolah yang mengadakan pembelajaran tatap muka juga ditemukan adanya kasus penularan, seperti terjadi di Pariaman, Sumatera Barat. Dua anggota staf sekolah ditemukan positif Covid-19 sehingga sekolah kembali ditutup dan kegiatan belajar mengajar kembali dilakukan secara daring. Penutupan kembali sekolah juga dilakukan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, setelah ada satu keluarga siswa yang diketahui positif Covid-19.
”Ada banyak contoh negara yang mengalami ledakan kasus setelah membuka kembali sekolah, misalnya di Israel, sebagian Australia, dan Korea Selatan. Hanya dalam dua minggu setelah sekolah dibuka serentak, terjadi ledakan kasus,” kata Dicky.
Dia mencontohkan, dua minggu setelah Israel membuka kembali sekolah secara penuh pada pertengahan Mei 2020, ditemukan 130 kasus Covid-19 di satu sekolah saja. Berikutnya, lebih dari 244 kasus telah dikonfirmasi di antara para siswa dan staf di sekolah-sekolah. Akibatnya, lebih dari 6.800 siswa dan guru di karantina atas perintah pemerintah dan sekolah kembali ditutup.
Dicky mengatakan, jika pemerintah tetap akan membuka sekolah, syaratnya di wilayah yang sudah tidak ada lagi transmisi di komunitas ditandai dengan jumlah kasus baru kurang dari 1 per 100.000 penduduk. Dengan catatan, jumlah tesnya sudah memadai, yaitu minimal 1 per 1000 penduduk per minggu. ”Kalau zona hijau tetapi jumlah tesnya tidak memenuhi standar, tetap berisiko,” katanya.
Studi yang dilakukan para peneliti University College London dan London School of Hygiene and Tropical Medicine yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Child & Adolescent Health pada Senin (3/8/2020) juga menunjukkan, pembukaan kembali sekolah dapat dihindari jika disertai dengan tes, pelacakan, dan isolasi dengan cakupan yang cukup luas.
Hasil pemodelan menunjukkan gelombang kedua di Inggris dapat dihindari dengan peningkatan tingkat pengetesan, yaitu dengan memeriksa antara 59 persen dan 87 persen dari orang yang bergejala di beberapa lokasi selama infeksi SARS-CoV-2 aktif dan pelacakan kontak yang efektif dan isolasi.
Masalahnya, jumlah pemeriksaan di Indonesia sejauh ini masih sangat rendah dan tidak merata. Sejauh ini, baru Jakarta yang secara konsisten bisa memenuhi jumlah tes minimal, tetapi kasus penularannya masih sangat tinggi. Misalnya, pada Rabu ini, jumlah orang yang diperiksa di Indonesia 14.722 per hari, dengan 4.287 atau 29 persen di antaranya dilakukan di Jakarta.