Penanganan Kasus Perkantoran di Jakarta Mengandalkan Laporan Masyarakat
›
Penanganan Kasus Perkantoran...
Iklan
Penanganan Kasus Perkantoran di Jakarta Mengandalkan Laporan Masyarakat
Pada masa pandemi, perusahaan yang bisa bertahan adalah perusahaan yang mampu menjaga pekerjanya tetap sehat dan produktif. Oleh sebab itu, pengelolaan risiko hanya bisa dimulai dari perusahaan itu sendiri.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya sumber daya manusia mengakibatkan pemerintah sulit melakukan pemeriksaan secara masif terhadap perusahaan dan perkantoran di Jakarta terkait kedisiplinan menerapkan protokol keamanan Covid-19. Penjaminan keamanan dan kesehatan pekerja bergantung pada kesadaran setiap perusahaan dan individu menjaga diri masing-masing.
”Di Jakarta Selatan saja ada 25.700 perusahaan, mayoritas bergerak di sektor jasa dan layanan. Jumlah karyawan mulai dari hanya dua orang hingga ribuan orang. Mereka bisa mengokupasi satu gedung, satu lantai, satu rumah toko, atau dari rumah,” kata Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Jakarta Selatan Sudradjad ketika ditemui di Jakarta, Rabu (6/8/2020).
Ia mengatakan, Sudin Nakertrans Jaksel hanya memiliki enam pengawas. Mereka dibantu oleh lima petugas dari Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD) Jaksel dan PPKD Jakarta Timur. Setiap hari, tim mendatangi tiga perusahaan untuk memeriksa penerapan protokol keamanan Covid-19.
Akibat terbatasnya jumlah pengawas, Sudradjad mengungkapkan, pihaknya lebih memprioritaskan melakukan tindakan berdasarkan laporan dari warga, pegawai, ataupun lembaga lainnya terkait suatu perusahaan tertentu. Sejauh ini di Jaksel ada tiga perusahaan yang ditutup sementara karena terbukti memiliki kasus positif Covid-19. Informasi itu didapat berdasarkan laporan yang oleh Sudin Nakertrans Jaksel dan diikuti dengan inspeksi mendadak.
”Bank BTPN Pondok Indah, BNI Life, dan Hana Bank adalah perusahaan yang kami suruh tutup dan lakukan tes usap tenggorokan bagi semua karyawan. Di ketiga perusahaan ini terungkap ada kasus positif,” ujarnya.
Di samping itu, juga ada perusahaan yang dilaporkan kepada Sudin Nakertrans Jaksel melanggar protokol Covid-19. Mereka tidak memberlakukan giliran kerja, yaitu jumlah pegawai yang masuk hanya boleh setengah dari kapasitas maksimum, itu pun dibagi ke dalam dua sif. Laporan mengatakan, pada jam kerja tidak ada kedisiplinan memakai masker dan menjaga jarak. Alasannya karena sibuk dan harus menangani banyak klien.
Di Jakarta Selatan saja ada 25.700 perusahaan, mayoritas bergerak di sektor jasa dan layanan. Jumlah karyawan mulai dari hanya dua orang hingga ribuan orang. Mereka bisa mengokupasi satu gedung, satu lantai, satu rumah toko, atau dari rumah. (Sudradjad)
Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Telematic Multisystem, PT Daehong Communications Indonesia, PT Kronus Indonesia, dan PT AsiaPay Technology Indonesia. Menurut Sudrajad, lama penutupan beragam, mulai dari satu hari hingga 14 hari guna memberi waktu perusahaan melakukan penyemprotan disinfektan di kantor.
Terdapat pula perusahaan yang diberi denda Rp 25 juta karena dilaporkan mengabaikan protokol bermasker, menjaga jarak, mengecek suhu tubuh, dan menyediakan tempat cuci tangan atau setidaknya cairan antiseptik. Mereka adalah PT Samsung SDS Global dan PT JULO Teknologi Finansial.
Dalam waktu yang berbeda, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, sejauh ini di Ibu Kota ada 24 perusahaan ditutup akibat karyawannya terbukti mengidap Covid-19. Di samping itu, ada tujuh perusahaan lain yang ditutup karena melanggar protokol kesehatan.
Meskipun begitu, Sudradjad mengatakan, terdapat pula sejumlah perusahaan yang memiliki pakta integritas untuk menangani Covid-19 di lingkungan masing-masing. Pakta ini merupakan komitmen nyata, tidak sekadar memasang spanduk ataupun poster meminta orang bermasker dan menjaga jarak. Ada satuan tugas di kantor tersebut yang dibentuk untuk memastikan penerapan protokol berjalan dengan benar.
”Misalnya di Aksi Cepat Tanggap dan BCA di kawasan bisnis Sudirman yang menutup kantor atas kesadaran sendiri dan melakukan uji kesehatan kepada pegawainya. Ini wujud tanggung jawab kantor memastikan karyawan dan fasilitasnya aman dari Covid-19,” tuturnya.
Ia juga mengatakan ada perusahaan-perusahaan yang memberi sanksi kepada karyawan yang tidak disiplin. Misalnya jika ketahuan tidak bermasker, uang makan atau uang transpornya akan dipotong. Ada pula yang menerapkan sistem pemotongan saldo cuti. Setiap perusahaan bisa mengadaptasi peraturan sesuai dengan karakteristik masing-masing.
”Kasusnya memang bervariasi. Misalnya pengelola gedung sudah menerapkan protokol, tetapi ada salah satu perusahaan yang menyewa lokasi di gedung itu yang nakal. Ada juga kasus pengelola gedung abai protokol Covid-19, tetapi para pegawai dan perusahaan yang menyewa tempat memiliki kesadaran individual menjaga kesehatan,” kata Sudradjad. Teguran dilayangkan kepada badan hukum yang terbukti melanggar aturan, bisa ke perusahaan yang nakal dan bisa juga kepada pengelola gedung perkantoran.
Biaya
Pakar manajemen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto menjabarkan bahwa belum semua perusahaan, termasuk badan usaha milik negara dan daerah, yang memasukkan Covid-19 sebagai biaya kerugian. Konsep ”normal baru” melenakan pengelola kantor bahwa segala sesuatu telah kembali seperti biasa, padahal ada ancaman kerugian yang besar jika karyawan di satu perusahaan terjangkit virus korona jenis baru.
”Perkembangan ekonomi melambat akibat pembatasan sosial berskala besar. Ini bukti betapa seriusnya ancaman Covid-19. Jika perusahaan karyawannya terkena virus ini akibat tidak disiplin, kerugian yang terjadi lebih besar dari tingkat kemajuan ekonomi. Harus ditanamkan agar jangan mengambil atau mengundang risiko yang jelas-jelas tidak berharga,” ucapnya.
Toto menerangkan, di masa pandemi, perusahaan yang bisa bertahan adalah perusahaan yang mampu menjaga pekerjanya tetap sehat dan produktif. Oleh sebab itu, pengelolaan risiko hanya bisa dimulai dari perusahaan itu sendiri. Pemerintah bisa saja mengambil tindakan koersif seperti menurunkan aparat penegak hukum untuk menindak perusahaan jika dinilai abai. Akan tetapi, hal ini bisa dihindari dengan memiliki kedewasaan dalam berbisnis.
Di masa pandemi, perusahaan yang bisa bertahan adalah perusahaan yang mampu menjaga pekerjanya tetap sehat dan produktif. Oleh sebab itu, pengelolaan risiko hanya bisa dimulai dari perusahaan itu sendiri. (Toto Pranoto)
Ia menjelaskan, bulan Agustus hingga Oktober biasanya merupakan waktu penyerapan anggaran, terutama di kantor-kantor milik pemerintah. Berbagai kegiatan seperti proyek dan seminar umumnya marak di dua bulan ini. Pekerjaan itu tetap bisa berjalan dengan syarat ada penerapan protokol kesehatan dan pengawasan yang ketat dari dalam lembaga tersebut.
”Pengalokasian anggaran, sumber daya manusia, dan satuan tugas pencegahan Covid-19 adalah keniscayaan. Tim ini harus tegas mengingatkan semua pekerja, mulai dari atasan hingga petugas parkir agar selalu memakai masker dan menjaga jarak,” katanya.