Presiden Jokowi: Inilah Momentum Transformasi Sektor Pariwisata dan Penerbangan
›
Presiden Jokowi: Inilah...
Iklan
Presiden Jokowi: Inilah Momentum Transformasi Sektor Pariwisata dan Penerbangan
Akibat pandemi Covid-19, sektor pariwisata dan penerbangan dinilai terpukul. Kendati demikian, Presiden Jokowi menegaskan, paceklik ini bisa digunakan untuk menata kembali sektor pariwisata dan aviasi agar bangkit lagi.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dinilai telah memukul sektor pariwisata dan penerbangan. Kendati demikian, masa paceklik ini bisa digunakan untuk menata kembali sektor pariwisata dan aviasi sehingga siap bangkit saat pandemi berakhir.
Pertumbuhan ekonomi yang minus 5,32 persen di kuartal kedua, antara lain, akibat anjloknya sektor pariwisata dan penerbangan. Wisatawan mancanegara yang ke Indonesia turun sampai 81 persen dari kuartal pertama ke kuartal kedua. Pada kuartal kedua ini praktis hanya 482.000 wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dibandingkan dengan tahun lalu, penurunan kuartal kedua ini mencapai 87 persen.
Presiden Joko Widodo memperhatikan penurunan tersebut dan membahasnya dalam rapat terbatas mengenai penggabungan BUMN Aviasi dan Pariwisata di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (6/8/2020). Hadir dalam ratas ini, antara lain, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan.
Memang (sektor pariwisata) turunnya terkontraksi sangat dalam, tetapi menurut saya, ini justru menjadi momentum kita untuk konsolidasi dan transformasi di bidang pariwisata dan juga di bidang penerbangan.
”Memang (sektor pariwisata) turunnya terkontraksi sangat dalam, tetapi menurut saya, ini justru menjadi momentum kita untuk konsolidasi dan transformasi di bidang pariwisata dan juga di bidang penerbangan,” kata Presiden Jokowi dalam pengantar ratas.
Pembenahan ini bisa dilakukan melalui penataan rute penerbangan, penentuan bandara hub dan superhub, serta kemungkinan penggabungan BUMN penerbangan dan pariwisata.
Indonesia, lanjut Presiden Jokowi, memiliki 30 bandar udara internasional. Airline hub ini dinilai terlalu banyak dan tidak merata. Kenyataannya, 90 persen lalu lintas udara berpusat di empat bandara, yakni Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Bandara Juanda Jawa Timur, dan Bandara Kualanamu Sumatera Utara.
Indonesia, menurut Presiden Jokowi, harus berani menentukan bandara yang berpotensi menjadi internasional hub dengan pembagian fungsi sesuai dengan letak geografis dan karakteristik wilayahnya.
Saat ini terdapat delapan bandara internasional yang berpotensi menjadi hub dan superhub. Kedelapan bandara itu adalah Bandara I Gusti Ngurah Rai, Soekarno-Hatta, Kualanamu, Bandara Yogyakarta, Bandara Sultan Aji Muhammad Sepinggan, Bandara Hasanuddin, Bandara Sam Ratulangi, dan Bandara Juanda.
Selain itu, pengelolaan ekosistem pariwisata dan pendukungnya, termasuk penerbangan, juga harus didesain dengan manajemen yang lebih terintegrasi. Konsolidasi dari hulu dan hillir di sektor pariwisata diakui tak pernah dilakukan.
Karena itu, Presiden Jokowi meminta supaya penataan manajemen maskapai, manajemen bandara, dan manajemen layanan penerbangan tersambung dengan manajemen destinasi, hotel, dan perjalanan wisata. Bahkan, semua ini semestinya bisa terhubung dengan produk-produk lokal dan industri kreatif yang ada di Indonesia.
Penataan ini, lanjut Presiden, akan membuat fondasi ekonomi Indonesia di sektor pariwisata dan transportasi akan semakin kokoh dan baik. Dengan demikian, saat pandemi berakhir dan wisatawan berbondong-bondong ke Indonesia, semua bisa kembali berlari lebih cepat lagi.
Komprehensif dan terpadu
Secara terpisah, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Prof Azril Azahari mengapresiasi niat penataan sektor pariwisata. Namun, diingatkan bahwa penataan ini perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu mulai dari destinasi wisatanya.
Kelemahan sektor pariwisata Indonesia di keamanan dan keselamatan serta kesehatan dan higienitas harus diperbaiki terlebih dahulu. Baru setelahnya, daya tarik pariwisata dan kearifan lokal yang ada dipromosikan.
Namun, menghadapi pandemi Covid-19, pembenahan ini harus lebih komprehensif dan terpadu lagi. Sebab, protokol kesehatan yang diterapkan juga menaikkan biaya. Sebaiknya, kata Azril, hal ini tak dibebankan pada industri. Kenaikan harga di sektor pariwisata sebaiknya tak dibiarkan karena daya beli masyarakat pun saat ini lemah.
Ini semua harus disiapkan terlebih dahulu sebelum sektor pariwisata dibuka kembali. Perbaiki kelemahan-kelemahan dunia pariwisata Indonesia.
Selain itu, diperlukan pula pelatihan kepada pilot, pramugari, petugas pelabuhan dan transportasi, pelayan hotel dan restoran, serta pelaku industri pariwisata. Dengan demikian, para pelaku pariwisata dan industri pendukungnya memahami betul dan mampu menjalankan protokol kesehatan.
”Ini semua harus disiapkan terlebih dahulu sebelum sektor pariwisata dibuka kembali. Perbaiki kelemahan-kelemahan dunia pariwisata Indonesia,” kata Azril.
Setelah protokol kesehatan dipahami dan diterapkan serta berbagai kelemahan ditangani, sektor pariwisata Indonesia akan lebih kuat. Bahkan, ketika ada serangan pandemi serupa, sektor pariwisata akan mampu menghadapinya. Sebaliknya, tambah Azril, terburu-buru membuka sektor pariwisata tanpa betul-betul mempersiapkannya secara komprehensif dan terpadu hanya akan menimbulkan kluster baru Covid-19. Saat itu akan lebih sulit mengatasi masalah karena sektor pariwisata kembali mati.
Salah satu kawasan wisata yang mulai dibenahi adalah Pura Agung Besakih Bali. Penataan kawasan ini sudah direncanakan sejak dua tahun oleh Pemerintah Daerah Bali dan disampaikan kepada Presiden Jokowi. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dalam keterangan pers Kementerian PUPR, Kamis (6/8/2020), mengatakan, penataan dimulai 2021 dan akan dikerjakan selama satu tahun. Penataan ini dilakukan melalui kerja sama Pemprov Bali dan pemerintah pusat dengan biaya sekitar Rp 1 triliun.