Sabu Ratusan Kilogram, Sebuah Tren Masa Kini
Sepanjang 2020, setidaknya ada tujuh penggagalan penyelundupan sabu dengan barang bukti ratusan kilogram per kasus. Ini adalah sebuah pencapaian sekaligus alarm keras gawatnya kondisi negeri ini sebagai pasar narkoba.
Sepanjang tahun ini, berkali-kali aparat menggagalkan pengiriman sabu dengan barang bukti ratusan kilogram per pengungkapan. Sebuah tren masa kini dalam ranah penindakan pidana narkoba, tetapi sekaligus bermakna tanda bahaya bagi negara.
Satu truk terparkir di halaman Markas Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan, Senin (3/8/2020). Di baknya, balok-balok bata merah bertumpuk tidak beraturan. Namun, batu-batu bata itu tidak bisa dianggap enteng. Sebab, mereka mengemban tugas menyamarkan 131 kg sabu dari mata aparat dalam pengiriman dari Aceh ke Jawa melintasi Jakarta.
Personel Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Selatan di bawah komando Komisaris J Vivick mengendus modus itu. Pada Rabu (30/7/2020) sekitar pukul 01.00, mereka membekuk dua kurir berinisial AP dan HG di sekitar Kompleks Lemmigas, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, lengkap dengan truk, tumpukan batu bata, serta paket-paket sabu yang tersembunyi. Tim bersabar menanti tiga bulan untuk sampai pada hasil itu.
Berdasarkan pendalaman, sabu yang diantar oleh AP dan HG berasal dari Malaysia. ”Dari Malaysia, masuk ke Riau, kemudian ke Lampung, lalu ke Jakarta,” ujar Inspektur Jenderal Nana Sudjana, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, saat konferensi pers pada Senin siang.
Baca juga: Mei-Juni, Sabu 1,2 Ton Disita
Penangkapan itu membuat tim Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Selatan masuk klub pengungkap sabu ratusan kg tahun 2020. Sebelumnya, tim yang masuk klub itu biasanya berasal dari level Markas Besar Polri atau polda, serta dari tim gabungan level nasional, seperti Satuan Tugas Khusus Polri atau dikenal sebagai Satgassus Merah Putih. ”Jadi sekarang pengiriman itu dalam bentuk kilogram, lain dengan zaman dulu yang biasanya per gram,” ujar Nana.
Sepanjang tahun ini, ditambah dengan yang dibongkar Polres Metro Jakarta Selatan, setidaknya ada tujuh pengungkapan upaya penyelundupan sabu dengan barang bukti ratusan kilogram. Tanggal 30 Januari, tim Polda Metro Jaya mengungkap penyelundupan 288 kg sabu di Pagedangan, Kabupaten Tangerang.
Pada 13 Maret, Polda Kalimantan Selatan ungkap 212,8 kg sabu di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pada 22 Mei, 821 kg sabu diungkap Satgassus Merah Putih di Kota Serang, Banten, berlanjut pada 3 Juni Satgassus bersama Polda Metro Jaya bongkar penyelundupan 402 kg sabu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Pada bulan yang sama dengan terbongkarnya penyelundupan 131 kg sabu oleh Polres Metro Jakarta Selatan, sudah ada dua kali pengungkapan sabu ratusan kg sebelumnya. Tanggal 21-23 Juli, Bareskrim Polri dan Polda Bangka Belitung melalui operasi White Corn 2020 ungkap 200 kg sabu di Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Cikarang (Kabupaten Bekasi). Pada 28 Juli, giliran Badan Narkotika Nasional ungkap sabu, juga sekitar 200 kg, di Cibodas, Kota Tangerang.
Modus penyamaran penyelundupan sabu yang dibongkar Bareskrim plus Polda Bangka Belitung, dengan yang diungkap BNN di Tangerang, sama. Para pelaku memasukkan bungkusan berisi sabu ke dalam karung berisi biji-biji jagung.
Baca juga: Barang Haram di Balik Dodol, Buku Pelajaran, dan Tumpukan Batu Bata
Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Wahyu Hadiningrat menjelaskan, sabu yang diungkap dalam White Corn 2020 berasal dari Myanmar, dikirim melewati Malaysia, Batam, Pangkal Pinang, lalu masuk ke Jakarta. Apakah sabu dalam karung berisi jagung yang dikirim ke Tangerang dan digagalkan BNN juga berasal dari Myanmar? ”Masih dikembangkan,” jawab Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari, saat dikonfirmasi Selasa (4/8/2020).
Semakin normalnya pengungkapan sabu ratusan kg juga memunculkan pertanyaan lain: apakah memang gempuran narkoba semakin masif ke Indonesia, atau mungkin sebenarnya pengiriman berskala ratusan kg atau bahkan ton sudah berlangsung sejak dulu, tetapi baru sering terungkap belakangan? Pengajar di Universitas Paramadina, Anton Aliabbas, menyebutkan, sulit menemukan jawab pasti.
Sebab, jual-beli sabu dan bahan candu lainnya berada dalam dunia perdagangan gelap yang jelas tidak pernah diketahui angka-angka transaksinya. Pijakan data saat ini hanyalah angka sabu yang diungkap petugas lewat berbagai tindakan hukum, yang mungkin saja ibarat puncak gunung es, belum menunjukkan situasi nyata peredaran barang haram itu.
Namun, dengan melihat kumpulan data sabu dari pengungkapan petugas di Indonesia plus negara-negara sekitar, Anton menilai terbongkarnya pengiriman sabu ratusan kg berkali-kali pada tahun ini memang mencerminkan naiknya pasokan sabu. ”Harus diakui pasokan narkoba, terutama jenis sabu, termasuk ke Indonesia dalam satu dekade belakang mengalami peningkatan yang pesat,” ujarnya.
Itu sejalan dengan publikasi dari Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) berjudul ”Synthetic Drugs in East and Southeast Asia: Latest developments and challenges” (Mei 2020). Antara 2011 dan 2014, total metamfetamin (sabu merupakan salah satu bentuknya) yang diungkap petugas di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur meningkat dari 23 ton menjadi 44 ton. Pada tahun 2018, penggagalan-penggagalan upaya penyelundupan narkoba di kedua kawasan ini mengumpulkan total lebih dari 127 ton metamfetamin. Data belum memasukkan hasil pengungkapan di China.
Kondisi itu diyakini mendemonstrasikan besarnya ketersediaan metamfetamin di pasar, termasuk di Indonesia. Kepungan sabu makin rapat dan mengancam lebih banyak insan terjerembab ke kecanduan yang merusak.
Begitu dicoba, sabu akan terus mencengkeram penggunanya dengan memberikan efek stimulan yang menghanyutkan. Sabu memacu sistolik dan diastolik jantung sehingga pengguna merasa energinya bertambah dan mengalami euforia sesaat. Namun, jantung, liver, dan ginjal akan mengalami penurunan fungsi secara drastis. Finalnya, kematian (Kompas, 23/7/2019).
Sabu memacu sistolik dan diastolik jantung sehingga pengguna merasa energinya bertambah dan mengalami euforia sesaat. Namun, jantung, liver, dan ginjal akan mengalami penurunan fungsi secara drastis. Finalnya, kematian.
Warga berusia produktif yang jadi motor pembangunan negara pun tak sedikit yang telah terjebak candu narkoba. Berdasarkan data BNN, pada 2017 ada 3,37 juta orang berusia 10-59 tahun di Indonesia yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Jumlah naik menjadi 3,6 juta jiwa tahun 2019 (Kompas, 27/6/2020).
Salah satu faktor yang mengekalkan peredaran narkoba di Tanah Air adalah permintaan yang terus mengalir. Memang, berdasarkan penelitian periodik BNN, angka prevalensi terhadap narkotika tahun 2019 jauh lebih rendah dibanding 2011, turun dari 2,23 persen menjadi 1,80 persen. Namun, ada kenaikan jika dibandingkan prevalensi tahun 2017 yang angkanya 1,77 persen.
Faktor lainnya, narkoba laku dengan harga tinggi di Indonesia. Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko dalam pengantarnya di buku Perang Narkoba di Indonesia (2019) menyebutkan harga narkoba di China setara dengan Rp 20.000 per gram dan di Iran Rp 50.000 per gram, tetapi di Indonesia bisa Rp 1,5 juta per gram! Belum lagi kemudahan menyusupkan narkoba via laut akibat begitu banyaknya pelabuhan tradisional yang aparat keamanan tak berdaya mengawasi semuanya. Di Kalimantan Barat saja, disebut ada 60-80 pelabuhan tikus.
Raihan omzet dari bisnis candu juga menggiurkan sehingga memacu berbagai sindikat berlomba memasukkan produknya ke Nusantara. Catatan Bambang Abimanyu, penulis Perang Narkoba di Indonesia, omzet bisnis narkoba di Indonesia tahun 2004 sebesar Rp 23,67 triliun, kemudian pada 2013 menjadi Rp 50,28 triliun, dan menanjak lagi pada 2017 menjadi Rp 73,68 triliun.
Omzet bisnis narkoba di Indonesia tahun 2004 sebesar Rp 23,67 triliun, kemudian pada 2013 menjadi Rp 50,28 triliun, dan menanjak lagi pada 2017 menjadi Rp 73,68 triliun. (Bambang Abimanyu)
Anton khawatir pandemi Covid-19 yang memorakporandakan segala bidang dan menambah jumlah keluarga yang jatuh miskin malah menjadi angin segar bagi jual-beli narkoba. Meningkatnya angka pengangguran kemungkinan memicu naiknya angka kriminalitas, termasuk partisipasi dalam perdagangan gelap narkotika.
Data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 minus 5,32 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di DKI Jakarta, empasannya jauh lebih dalam, dengan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 minus 8,22 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini adalah pertumbuhan terendah Ibu Kota dalam satu dekade, meski tidak separah krisis 1998.
Survei oleh Koalisi Pemantau Bantuan Sosial Jakarta terhadap 3.598 keluarga pada 14 April-13 Mei menunjukkan, 2.382 keluarga (60 persen responden) kehilangan pekerjaan saat pandemi, dan 92 persen responden tidak memiliki aset yang bisa dimanfaatkan untuk menyambung hidup.
Penggagalan peredaran ratusan kg sabu per penggerebekan pada tahun pandemi ini boleh jadi bukti pemerintah terus bekerja menumpas perdagangan gelap narkotika. Namun, itu belum cukup membentengi bangsa di tengah keadaan serba susah sekarang. Kompleks memang, tetapi itu bukan alasan untuk menyerah.
Baca juga : Narkoba Tak Lekang oleh Korona