Perempuan kepala keluarga sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan dicap negatif karena ada yang menyandang status ”janda”. Namun, semangat juang yang tinggi membuat mereka bertahan menghadapi krisis.
Pandemi Covid-19 membuat keluarga-keluarga miskin dan ekonomi lemah terpuruk. Di sejumlah daerah, komunitas perempuan kepala keluarga dan sekolah perempuan menjadi garda depan menolong kaum perempuan yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup di masa krisis.
Ketika pendapatan keluarga nyaris tidak ada, di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), sejumlah perempuan bersama kelompok dan komunitasnya bangkit menghadapi krisis di masa pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru dengan bergotong royong. Mereka bergerak bersama sehingga keluarganya tetap bertahan, dapur tetap mengepul, dan anak-anak memiliki kuota internet untuk pembelajaran jarak jauh.
Di NTT, para perempuan kepala keluarga melalui Pekka Mart, usaha koperasi yang didirikan komunitas perempuan yang tergabung dalam Program Pemberdayaan Kepala Keluarga (Pekka) hadir menolong perempuan di desa-desa, dalam memenuhi kebutuhan bahan pokok di masa pandemi.
Pekka Mart, toko yang berjualan bahan pokok dan hasil kerajinan yang didirikan jauh sebelum pandemi, menjadi tumpuan perempuan kepala keluarga, karena suaminya meninggal, bercerai, dan tidak menikah.
”Pekka Mart sudah kami rintis sejak tahun 2002. Awalnya dari koperasi simpan pinjam dengan simpanan pokok Rp 2.500 dan simpanan wajib Rp 250. Sekarang sudah berkembang simpanan pokok Rp 100.000 dan simpanan wajib Rp 10.000. Sekarang kami memiliki anggota sekitar 2.000 perempuan,” kata Bernadette Deram (50), fasilitator lapang Pekka Mart yang juga Pengurus Pekka NTT, Rabu (5/8/2020).
Saat ini, Pekka Mart dalam bentuk toko/kios hadir di tiga wilayah di NTT, yakni di Pekka Mart Lodan Doe (Desa Hinga, Kecamatan Kelubagolit, Kabupaten Flores Timur) , Pekka Mart Seni Tawa (Desa Lewoblolon, Kecamatan Ileboleng, Kabupaten Flores Timur), dan Pekka Mart Kerubaki (Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata).
Tiga Pekka Mart itu setiap hari memenuhi kebutuhan bahan pokok dari ibu-ibu dan perempuan dari ratusan kelompok Pekka di desa-desa. Selain menjual bahan pokok dengan harga lebih murah dari toko umumnya, Pekka Mart melayani simpan pinjam, bahkan anggotanya bisa berutang bahan pokok dengan membayar sesuai kemampuan.
Tak cuma itu, Pekka Mart juga menampung hasil kerajinan (tenunan dan anyaman) serta hasil pertanian anggota Pekka baik jagung, VCO, minyak kelapa, madu, jagung bubuk kiloan yang diproduksi oleh anggota dan masyarakat di desa.
Di masa pandemi Covid-19, kehadiran Pekka Mart sangat dirasakan para perempuan. Ketika hasil tenunan tidak laku, hasil pertanian tidak bisa dijual karena pandemi, sejak pandemi lebih dari 2.000 perempuan penenun, petani, dan pedagang menggantungkan nasib keluarganya pada Pekka Mart.
”Sebelum pandemi anggota kami bisa menjual langsung tenunan dan anyaman mereka, tetapi semenjak pandemi tidak ada yang beli. Maka, Pekka Mart tolong dulu ibu-ibu dengan membeli tenunan dan kerajinan mereka, termasuk hasil pertanian kami tampung, supaya mereka ada pendapatan,” kata Bernadette.
Semenjak pandemi perekonomian terpuruk, perempuan penenun bahkan tidak bisa menjual kain/sarung hasil tenunannya. Kalaupun ada yang membeli, tenunan dihargai murah, di bawah harga pasaran, yakni Rp 150.000-Rp 200.000 per lembar. Padahal, harga tenunan biasanya dimulai dari Rp 250.000 per lembar.
Pekka Mart tolong dulu ibu-ibu dengan membeli tenunan dan kerajinan mereka, termasuk hasil pertanian kami tampung, supaya mereka ada pendapatan.
Dalam kondisi ekonomi seperti itu, mereka kesulitan untuk meminjam atau berutang bahan pokok di toko atau warung, karena status mereka. ”Anggota kami banyak janda, suaminya meninggal atau bercerai. Ada juga yang punya suami tetapi merantau di Kalimantan dan Malaysia dan tidak bisa kirim uang,” ujar Apriyani Ese (34), kader Kelompok Pekka Naratawan di Desa Keluwain di Kecamatan Kelubagolit.
Karena itulah, menurut Apriani, para ibu dan perempuan di kelompoknya yang berjumlah 37 orang merasa sangat terbantu dengan Pekka Mart. Sejak Maret 2020, beberapa anggota yang berutang bahan pokok mulai kesulitan melunasi karena tidak memiliki pendapatan.
Kondisi semakin parah sejak April 2020. Sebagian besar anggota hanya bisa mengambil bahan pokok tetapi belum bisa melunasinya. ”Karena pandemi, kami memberikan kelonggaran kepada ina-ina (ibu-ibu) anggota kami. Mereka tetap bisa ambil bahan pokok dan nanti akan dibayar kalau sudah punya uang. Jadi, mereka tidak ngutang ke warung,” kata Apriyani.
Beberapa ibu penenun bahkan membayar utang-utang bahan pokok dengan hasil tenunan mereka. Pekka Mart menampung tenunan dan membayar sesuai kualitas tenunan, mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 700.000.
Menanam sayuran
Di Kabupaten Lombok Utara, NTB, sejak pandemi dimulai, sejumlah perempuan kepala keluarga bersama perempuan-perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan di beberapa desa menanam sayur-sayuran agar tidak perlu membeli sayuran di pasar. Sayuran ditanam baik di pekarangan rumah ataupun di sawah.
Para ibu mengembangkan kawasan rumah pangan lestari (KRPL) di lahan pekarangan masing-masing, yang langsung dikonsumsi keluarganya.
Tidak hanya itu, mereka juga secara berkelompok menanam sayuran di lahan sawah dalam bedeng, seperti yang dilakukan Sekolah Perempuan Desa Bayan, Kecamatan Bayan. Tanaman sayur mulai dari kangkung, pakcoy, selada, cabai, tomat, terong, dan sayuran lainnya.
”Saat pandemi dimulai sekitar 30 perempuan anggota sekolah perempuan mengolah bedeng bersama lalu menanam sayur. Bapak-bapak juga ikut bantu buat bedengnya. Kami, ibu-ibu, mengangkut pupuk dari kandang sapi lalu taburin di bedeng, kemudian menanam sayur. Sekitar dua bulan lalu, kami sudah panen pertama. Ini menunggu panen kedua,” kata Singaden (42), Ketua Sekolah Perempuan Desa Bayan.
Tanaman sayuran yang cepat dipanen antara lain kangkung, pakcoy, dan selada. Setelah dipanen, sayuran itu dijual ke pasar. Selain menggunakan pupuk kompos dari kandang sapi, mereka juga mendapat bantuan bibit dari PKK desa setempat sehingga tidak ada modal yang dikeluarkan saat menanam sayuran. ”Jadi lumayan. Sebagian kita bisa jual di pasar, sebagian kita makan sendiri,” kata Singaden.
Berorganisasi juga terbukti membuka peluang usaha bagi perempuan kepala keluarga. Bagi Anita Trisusilowati (50), kesibukannya mengembangkan usaha aroma terapi bukan halangan untuk mengurus anak semata wayangnya. Meski berstatus sebagai orangtua tunggal, Anita tetap memantau proses pendidikan anaknya sambil terus menggerakkan ekonomi keluarga sekaligus menjadi pengurus beberapa organisasi.
”Mengurus organisasi jangan dianggap beban, tetapi justru menjadi pergaulan untuk mencari peluang, terutama untuk mengembangkan usaha,” kata Bendahara Asosiasi Handycrafts Jatim itu, di Surabaya, Selasa (4/8/2020).
Anita yang juga menjadi humas e-UKM & Cooperation Lobbying Surabaya ini gencar menggelar pertemuan, pameran, dan kegiatan yang melibatkan pelaku usaha di Surabaya. ”Sangat sibuk, dan sering ke luar kota, sebelum pandemi Covid-19, semua untuk mencari peluang pasar bagi anggota organisasi, sampai bisa menjalin kerja sama dengan pembeli dari luar negeri,” ujar Anita yang merintis usaha produk aroma terapi sejak tahun 2003.
Kegiatan usaha yang dikembangkan oleh komunitas atau kelompok perempuan di sejumlah daerah hanyalah salah satu contoh bagaimana kaum perempuan kepala keluarga tidak menyerah dengan pandemi Covid-19. Sebaliknya, mereka mencari berbagai cara agar keluarga bisa bertahan di masa krisis.