Beberapa Modus Koruptif dalam Ekspansi Perkebunan Sawit
›
Beberapa Modus Koruptif dalam ...
Iklan
Beberapa Modus Koruptif dalam Ekspansi Perkebunan Sawit
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah Papua terus dilakukan sejumlah korporasi. Perluasan perkebunan sawit itu dilakukan dengan beberapa modus yang koruptif dan merugikan masyarakat setempat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korporasi dinilai terus memperluas perkebunan kepala sawit di Papua dan Papua Barat. Modus yang kerap digunakan antara lain bersekongkol dengan oknum pemerintah, penipuan, pemalsuan, dan mengintimidasi warga lokal atau masyarakat adat setempat.
Demikian hasil studi yang dilakukan Greenpeace Indonesia pada 2019 lalu. Lokasi studi diambil di tiga daerah di sekitar korporasi industri sawit, yakni komunitas adat suku Auyu di Boven Digul (Papua), komunitas adat suku Yeinan di Merauke (Papua), dan komunitas adat suku Mpur di Tambrauw (Papua Barat).
Ketua tim peneliti dari Greenpeace Indonesia Eko Cahyono, dalam paparannya mengenai hasil studinya secara daring, di Jakarta, Jumat (7/8/2020), menyampaikan, lokasi studi itu ditetapkan karena merepresentasikan keragaman bioregion demografis dan mengalami masalah krisis sosial-ekologis.
Studi tersebut menerapkan kombinasi akademis dan partisipatoris sehingga bersifat eksploratif. Sementara metodologi yang digunakan adalah dengan pendekatan historis-kritis, perspektif ekologi politik-agraria, dan kombinasi kualitatif yang didukung data kuantitatif.
Adapun studi itu bertujuan untuk menunjukkan modus-modus eksklusif dan marjinalisasi masyarakat di komunitas adat Papua dan Papua Barat akibat ekspansi korporasi industri sawit. Studi itu juga untuk memotret sengkarut korupsi sawit dan ragam dampaknya di multilevel ruang kehidupan masyarakat Papua dan Papua Barat.
Hasil studi itu menyimpulkan ada empat modus koruptif yang dilakukan korporasi untuk melakukan ekspansi perkebunan sawit di tiga daerah itu. Pertama, ada praktik korupsi dengan menyandera negara, yakni modus korupsi dalam mekanisme pelayanan publik, pengadaan, atau pemberian izin oleh oknum pemerintah.
Temuan kedua adalah terjadi praktik manipulasi dan penipuan atas nama representasi kesepakatan suara masyarakat adat. Ketiga, ada modus tekanan yang kerap berujung pada tindak kekerasan. Sementara modus terakhir yang dlakukan korporasi ialah mengobral janji palsu sebagai jalan memudahkan pelepasan paksa tanah adat.
”Empat hal itu menciptakan iklim bagi ruang remang-remang yang menyuburkan sekaligus melanggengkan praktik koruptif. Ini menjadi legitimasi bagi proses eksklusi dan marjinalisasi masyarakat adat sekitar perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat,” ujarnya.
Guru besar kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengemukakan, ekspansi sawit bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga terkait hilangnya ruang hidup, bahkan sejarah dalam suatu komunitas. Kondisi ini menunjukkan negara mulai meninggalkan perlindungan publik.
Kelemahan tata kelola
Menurut Sulistyanto dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berdasarkan kajian KPK pada 2016 lalu, ada temuan terkait kelemahan dalam tata kelola komoditas kelapa sawit. Kelemahan itu berupa sistem pengendalian perizinan usaha perkebunan tidak memadai dan akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha.
Ini menjadi legitimasi bagi proses eksklusi dan marjinalisasi masyarakat adat sekitar perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat.
”Kami juga melihat tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor komoditas kelapa sawit. Sementara optimalisasi pajak tidak dilakukan dan menimbulkan banyak masalah,” katanya.
Sebagai agenda tata kelola sawit ke depan, KPK dan pihak terkait lain perlu mengaudit plasma dan melaksanakan penilaian usaha perkebunan (PUP) untuk mendorong kepatuhan pemegang izin. Selain itu, instruksi presiden terkait moratorium sawit harus dilaksanakan selain menyelesaikan perkebunan sawit di kawasan hutan atau yang tumpang tindih dengan izin lain.