Labirin Keserakahan dan Pengabaian Berujung Ledakan di Beirut
Kapal kargo MV Rhosus pengangkut amonium nitrat yang meledak di Beirut, Selasa lalu, tak pernah direncanakan singgah di Lebanon. Pemilik kapal meminta kapal berhenti untuk menambah muatan di tengah pelayaran ke Mozambik.
Ledakan di Pelabuhan Beirut, Selasa (4/8/2020) sore, dilaporkan terdengar sampai Siprus, negara pulau yang terletak 160 kilometer dari Beirut. Igor Grechushkin, warga Rusia yang tinggal di Limassol, Siprus, mungkin tidak mendengar ledakan itu. Walakin, ledakan yang menewaskan sedikitnya 135 orang dan melukai lebih dari 5.000 orang itu bermula dari keputusannya.
”Seharusnya (amonium nitrat) disebar di ladang, jadi panen yang bagus, bukan ledakan besar,” kata Boris Prokoshev, mantan kapten MV Rhosus yang mengangkut 2.750 ton amonium nitrat penyebab ledakan Selasa lalu, kepada New York Times.
Amonium nitrat sebenarnya sangat bermanfaat di bidang pertanian. Zat itu merupakan bahan dasar utama dalam pembuatan pupuk nitrogen. Namun, zat itu juga bisa dijadikan bom jika dicampur dengan zat-zat lain.
Kantor berita Rusia, Tass, melaporkan bahwa MV Rhosus merupakan kapal berbendera Moldova yang disewa Teto Shipping. Perusahaan itu dibuat dan didaftarkan Grechushkin di Siprus. Belakangan, Teto Shipping menyewakan Rhosus untuk mengangkut 2.750 ton amonium nitrat pesanan Fábrica de Explosivos de Moçambique di Mozambik dengan pembiayaan dari International Bank of Mozambique.
Baca juga: Dari Batumi ke Beirut, Asal Amonium Nitrat yang Meluluhlantakkan Itu
Pembuat amonium nitrat pesanan Mozambik itu tidak jelas. Kantor hukum Baroudi and partners, yang pernah disewa Prokoshev untuk mengurus kasusnya di Lebanon, menyatakan bahwa bahan kimia itu disebut dipesan dari Rustavi Azot LLC.
Namun, Levan Burdiladze, yang tercatat sebagai Direktur Operasional Pabrik Rustavi Azot di Georgia, mengatakan bahwa ia tidak bisa memastikan asal bahan kimia itu. Sebab, Rustavi Azot disebutnya baru mengoperasikan pabrik kimia tiga tahun lalu. Ia hanya bisa memastikan, cara penyimpanan amonium nitrat di Pelabuhan Beirut melanggar banyak sekali aturan.
Bahan kimia itu juga seharusnya tidak pernah terjadwal harus ke Beirut. Walakin, Grechushkin memutuskan Rhosus itu harus ke sana. Kapal MV Rhosus berlayar dengan bendera Moldova pada 23 September 2013 dari Batumi, kota pelabuhan berjarak sekitar 386 kilometer sebelah barat Tbilisi, ibu kota Georgia, menuju Mozambik melalui Laut Hitam dan Laut Tengah.
Singgah di luar rencana
Kepada Prokoshev, Grechushkin mengaku tidak punya uang untuk membayar biaya lewat Terusan Suez di Mesir. Padahal, Prokoshev menyebut Grechushkin dibayar 1 juta dollar AS untuk angkutan dari Batumi ke Beira, Mozambik.
Baca juga: Bantuan Mulai Mengalir ke Lebanon
Karena itu, alih-alih berlayar dari Turki menuju Mesir, Rhosus malah diminta singgah di Beirut untuk mengangkut muatan tambahan tujuan Aqaba, Jordania. Menurut rencana, uang dari muatan tambahan itu dipakai untuk membayar biaya melintasi Terusan Suez dan kebutuhan pelayaran.
”Pemiliknya serakah,” kata Prokoshev, yang jadi kapten Rhosus di tengah pelayaran menuju Mozambik karena awak lama menolak bekerja setelah tidak ada kejelasan soal gaji.
Sesuai permintaan Grechushkin, MV Rhosus tiba di Pelabuhan Beirut pada 20 November 2013 dan berusaha memuat aneka mesin dan alat berat tujuan Jordania. Akan tetapi, kondisi kapal tidak memungkinkan untuk ditambahi muatan. ”Kapalnya tua,” kata Boris Musinchak, mantan kepala kelasi MV Rhosus.
Sebelum masuk Beirut, Prokoshev menyebut bahwa ada kebocoran di lambung kapal. Meskipun demikian, ia dan awaknya tetap setuju membawa kapal itu berlayar ke tujuan. Sayangnya, otoritas kelautan Lebanon menolak mengizinkan kapal itu meneruskan pelayaran. Kapal tersebut dinyatakan tidak laik layar. Selain itu, izin tidak diberikan karena biaya labuh aneka pungutan lain di Pelabuhan Lebanon tidak dibayar.
Setelah keputusan otoritas Lebanon, Prokoshev menghubungi Grechushkin untuk mencari solusi. Sayangnya, Grechushkin mengabaikan permintaan Prokoshev dan awaknya. Setelah beberapa kali komunikasi, Prokoshev dan awaknya hanya mendapat pasokan makanan dan bahan bakar tambahan.
Baca juga: Belum Ada Indikasi Serangan, Api Diduga dari Kegiatan Pengelasan
Karena Grechushkin sulit dihubungi, enam awak pulang ke kampung halaman di Rusia dan Ukraina. Sementara Prokoshev dan tiga awak asal Ukraina dipaksa tetap di kapal sampai urusan biaya di pelabuhan selesai. Bahkan, otoritas imigrasi Lebanon sama sekali melarang Prokoshev dan sisa awaknya meninggalkan kapal. Larangan itu, ditambah pengabaian pemilik, membuat Prokoshev dan sisa awaknya kesulitan mencari makanan dan aneka kebutuhan lain.
Karena kondisi semakin memburuk, sejumlah pejabat Pelabuhan Beirut kasihan dan akhirnya memberi makan Prokoshev dan awaknya. Walakin, menurut Prokoshev, pengelola pelabuhan sepertinya tidak peduli pada muatan MV Rhosus. ”Mereka cuma mau kami membayar utang (aneka biaya penggunaan Pelabuhan Beirut),” ujar Prokoshev yang mengaku sampai sekarang gajinya senilai 60.000 dollar AS belum dibayarkan Grechushkin.
Prokoshev dan tiga awak Ukraina tinggal di Rhosus sampai pertengahan 2014. Tidak ada upah dan hanya sedikit pasokan dikirim Grechushkin. Prokoshev dan awaknya bisa meninggalkan kapal, lalu pulang kampung, setelah memutuskan menyewa pengacara untuk mengurus kasus mereka. Pada Agustus 2014, hakim mengizinkan mereka meninggalkan kapal.
Baca juga: Lebanon, Tanah Indah Bangsa Fenisia yang Terkoyak Perang dan Konflik Sektarian
Prokoshev mendengar MV Rhosus akhirnya karam karena lambungnya penuh air. Sementara amonium nitrat akhirnya dipindahkan ke Gudang nomor 12 di Pelabuhan Lebanon pada 2014.
Pengabaian
Manajer Utama Pelabuhan Beirut Hassan Koraytem mengatakan bahwa ia dan otoritas bea cukai bolak-balik meminta fatwa pengadilan soal amonium nitrat itu. ”Kami diberi tahu bahwa muatan itu akan dilelang. Tidak pernah ada lelang dan pengadilan tidak pernah bertindak,” ujar pria yang mengurus Pelabuhan Beirut selama 17 tahun itu.
Seorang anggota parlemen Lebanon, Salim Aoun, mengunggah rangkaian surat dari Bea Cukai Lebanon soal muatan berbahaya itu. Surat tersebut antara lain dibuat oleh Shafik Marei dari Direktorat Cukai Lebanon pada 2016. ”Mempertimbangkan bahaya menyimpan bahan ini di gudang dengan cara yang tidak layak, kami kembali mengulangi permintaan kepada lembaga maritim untuk segera mengekspor ulang bahan itu,” demikian tulis Marei pada Mei 2016.
Baca juga: Lebanon Tunggu Penyelidikan, Pejabat Terkait Dikenakan Tahanan Rumah
Direktorat Cukai juga menawarkan pilihan lain, termasuk menghibahkan muatan itu kepada tentara atau menjualnya kepada perusahaan peledak di Lebanon. Permintaan dan tawaran pilihan itu disampaikan Marei dalam beberapa surat kepada pengadilan. Tidak ada kabar dari pengadilan soal permintaan Marei dan para pejabat lain di Direktorat Cukai Lebanon.
Pada Januari 2020, kembali ada peringatan soal bahaya amonium nitrat yang sudah bertahun-tahun tersimpan di gudang. Seorang pegawai pelabuhan mengungkapkan, sebuah tim telah meninjau amonium nitrat di gudang nomor 12 enam bulan lalu. Tim itu mengingatkan, jika amonium nitrat tidak segera dipindah, akan meledakkan seluruh kota Beirut.
Tetap saja, tidak ada tindakan apa-apa. Sampai akhirnya bencana terjadi pada Selasa sore itu. (AFP/REUTERS)