Paus dan Lumba-lumba yang Mati Terdampar Mengandung Kadar Racun Tinggi
›
Paus dan Lumba-lumba yang Mati...
Iklan
Paus dan Lumba-lumba yang Mati Terdampar Mengandung Kadar Racun Tinggi
Studi pada 83 paus dan lumba-lumba yang mati terdampar pada tubuhnya mengandung senyawa herbisida, DEP, NPE, dan triclosan. Ini menunjukkan bahwa senyawa berbahaya hasil produksi manusia mengalir hingga laut.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Studi yang dipimpin para peneliti di Harbor Branch Oceanographic Institute Florida Atlantic University, Amerika Serikat, meneliti racun dalam konsentrasi jaringan dan data patologi dari 83 lumba-lumba dan paus yang terdampar di sepanjang pantai tenggara Amerika Serikat dari 2012 hingga 2018. Para peneliti memeriksa kandungan 17 zat berbeda pada 11 jenis mamalia laut berbeda yang mati terdampar di pantai di Carolina Utara dan Florida.
Ini merupakan studi pertama dalam bentuk laporan yang meneliti konsentrasi dalam jaringan lemak cetacean atau mamalia laut yang terdampar yang mengandung zat berbahaya atrazine (herbisida), DEP (ester ftalat yang ditemukan dalam plastik), NPE (nonylphenol ethoxylate yang biasa digunakan dalam kemasan makanan), dan triclosan (suatu agen antibakteri dan antijamur ada di beberapa produk konsumen, termasuk pasta gigi, sabun, detergen, dan mainan).
Dalam hasil riset yang dimuat pada Science Daily, 6 Agustus 2020, ini tak disimpulkan apakah konsentrasi zat beracun pada makhluk hidup ini yang membuat mamalia tersebut terdampar dan akhirnya mati.
Penelitian ini juga merupakan yang pertama melaporkan konsentrasi racun pada lumba-lumba paruh putih dan paus paruh Gervais, spesies yang jarang ditemukan dalam literatur ilmiah. Mendokumentasikan racun dalam mamalia merupakan langkah penting melacak kontaminan kimiawi dalam jaring makanan laut dan memahami pengaruhnya terhadap sistem biologis.
Pada penelitian yang baru saja diterbitkan dalam jurnal Frontiersin Marine Science, penulis utama Annie Page-Karjian, asisten profesor penelitian dan dokter hewan klinis di Harbor Branch Oceanographic Institute Florida Atlantic University, menganalisis sampel lemak untuk lima racun organik, termasuk atrazin, DEP, NPE, bisphenol-A, dietil ftalat, dan triclosan.
Mereka juga menganalisis sampel hati untuk lima elemen non-esensial (arsenik, kadmium, timbal, merkuri, dan talium), enam elemen esensial (kobalt, tembaga, mangan, besi, selenium, dan seng), dan satu kelas campuran toksikan (aroclor, bahan yang sangat beracun di proses industri).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi toksin dan unsur bervariasi berdasarkan faktor demografi hewan termasuk spesies, jenis kelamin, umur, dan lokasi. Sampel hati dari lumba-lumba hidung botol memiliki konsentrasi rata-rata timbal, mangan, merkuri, selenium, talium, dan seng yang secara signifikan lebih tinggi, dan konsentrasi rata-rata NPE, arsen, kobalt, dan zat besi yang lebih rendah daripada sampel dari paus sperma kerdil.
Pada lumba-lumba hidung botol betina dewasa, konsentrasi arsenik rata-rata secara signifikan lebih tinggi dan konsentrasi besi secara signifikan lebih rendah daripada pada pria dewasa. Lumba-lumba hidung botol dewasa memiliki konsentrasi rata-rata timbal, merkuri, dan selenium yang secara signifikan lebih tinggi, dan konsentrasi mangan rata-rata secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan remaja.
Pengaruh geografis
Lumba-lumba yang terdampar di Florida memiliki konsentrasi rata-rata timbal, merkuri, dan selenium yang secara signifikan lebih tinggi, dan konsentrasi zat besi yang lebih rendah daripada lumba-lumba yang terdampar di Carolina Utara.
Bahan beracun di lingkungan laut dihasilkan dari limpasan yang tercemar dan bahan kimia di saluran air dari bahan bakar fosil serta plastik sekali pakai yang biasa digunakan oleh manusia. Benda plastik ini antara lain film kemasan, detergen, dan beberapa mainan anak-anak serta mengandung ftalat berbahaya.
”Kita harus melakukan bagian kita untuk mengurangi jumlah racun yang masuk ke lingkungan laut kita, yang memiliki implikasi kesehatan dan lingkungan yang penting tidak hanya untuk kehidupan laut, tetapi juga untuk manusia,” kata Page-Karjian.
Bahan kimia ini bekerja melalui rantai makanan, dan semakin terkonsentrasi, semakin tinggi levelnya. Ketika lumba-lumba dan paus memakan ikan dengan konsentrasi bahan kimia, unsur-unsur beracun masuk ke dalam tubuh mereka. Lumba-lumba memakan berbagai ikan dan udang di dalamnya, lingkungan laut, dan begitu pula manusia.