Pendekatan Punitif Menjadi Jalan Terakhir Tegakkan Protokol Kesehatan
›
Pendekatan Punitif Menjadi...
Iklan
Pendekatan Punitif Menjadi Jalan Terakhir Tegakkan Protokol Kesehatan
Pemerintah mengedepankan tindakan persuasif dalam penegakan hukum protokol kesehatan. Jika hal itu tetap dilanggar, denda diberlakukan. Penegakan hukum pidana menjadi opsi paling akhir.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menegaskan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 merupakan salah satu cara mengefektifkan seluruh upaya pemerintah dalam menangani Covid-19. Pendekatan punitif, yakni penerapan pidana, akan menjadi jalan terakhir jika peringatan dan pembinaan sudah dilakukan, tetapi pelanggar protokol melawan petugas.
Di sisi lain, kalangan masyarakat sipil mengkritik substansi Inpres No 6/2020 yang seolah memberikan tekanan kepada masyarakat dan menimpakan kesalahan kepada masyarakat karena dinilai tidak mematuhi protokol kesehatan sehingga mengakibatkan kasus Covid-19 terus naik. Sementara pemerintah dinilai tidak cukup jelas dalam menyosialisasikan protokol kesehatan seperti apa yang harus dipatuhi. Sebab, pada saat yang bersamaan, pemerintah justru lebih banyak mendorong kegiatan ekonomi daripada mencegah dan mengendalikan penularan Covid-19.
Latar belakang inpres itu dikeluarkan untuk mengefektifkan seluruh upaya pemerintah dalam menangani Covid-19. (Mahfud MD)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers secara daring, Jumat (7/8/2020) di Jakarta, mengatakan, latar belakang inpres itu dikeluarkan untuk mengefektifkan seluruh upaya pemerintah dalam menangani Covid-19. Sebab, menurut pemerintah, upaya yang dilakukan pemerintah sudah banyak, tetapi angka kasus positif Covid-19 tidak melandai, tetapi terus berkembang,
”Selama ini, upaya pemerintah sudah banyak, tetapi seperti halnya di negara lain, perkembangan Covid ini tidak melandai, tapi terus berkembang dan serangannya makin masif. Penularannya makin masif meski daya membunuhnya relatif kecil, dan perkembangan di Indonesia banyak sekali masyarakat yang belum sadar protokol kesehatan sehingga presiden mengeluarkan inpres,” tuturnya.
Di dalam Inpres No 6/2020, Presiden menugasi Menko Polhukam sebagai koordinator atas pelaksanaan inpres di lapangan. Menko Polhukam akan membawahkan Menteri Dalam Negeri, Kepala Polri, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan kepala daerah. Presiden menginstruksikan agar dilakukan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, dan penindakan hukum yang efektif terhadap masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19.
Inpres antara lain secara eksplisit menugaskan TNI bersama-sama pemerintah daerah dan instansi lain untuk menggiatkan patroli penerapan protokol kesehatan di masyarakat dan melakukan pembinaan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19. Sementara bagi kepolisian, Presiden menginstruksikan untuk mengefektifkan upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan.
Presiden menginstruksikan agar dilakukan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, dan penindakan hukum yang efektif terhadap masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19.
Menanggapi pertanyaan tentang pelibatan TNI/Polri dalam penanganan Covid-19, Mahfud mengatakan, hal itu wajar saja karena saat ini semua pihak harus terlibat. Dalam rapat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kedua institusi itu juga sudah disepakati untuk dilibatkan dalam penanganan Covid-19.
”Di dalam rapat-rapat Gugus Tugas sudah disepakati, TNI/Polri turun tangan dan membantu sepenuhnya untuk Covid ini. Baik dalam penyaluran bantuan-bantuan sosial agar tidak terjadi penyelewengan hingga tingkat terendah maupun penegakan disiplin protokol kesehatan. Jadi, tidak apa-apa,” katanya.
Mahfud menegaskan, pendekatan pidana akan menjadi jalan terakhir. Terkait dengan landasan penegakan disiplin dan penegakan hukum, aturan materiilnya sudah ada. Misalnya, keharusan orang mengenakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, dan membatasi pertemuan sedemikian rupa sehingga dalam satu ruangan hanya diisi 40 persen dari kapasitas yang tersedia. Sejumlah kementerian juga telah menyosialisasikan protokol di bidang masing-masing.
”Tinggal pendisiplinannya dan penegakan hukumnya. Untuk pendisiplinan, kami menggunakan sosialisasi seperti yang dilakukan kementerian dan lembaga, yakni menerbitkan buku kecil, membuat poster di kantor, menjaga jarak, kemudian menyediakan air cuci tangan, dan memakai masker. Itu semua bagian sosialisasi,” katanya.
Pemerintah melalui inpres itu secara bertahap akan melakukan pendekatan persuasif, yakni dengan melakukan komunikasi kepada pelanggar protokol. Jika pendekatan itu tidak direspons dengan baik, penindakan berupa pemberian denda akan dilakukan.
Setelah sosialisasi, pemerintah melalui inpres itu secara bertahap akan melakukan pendekatan persuasif, yakni dengan melakukan komunikasi kepada pelanggar protokol. Jika pendekatan itu tidak direspons dengan baik, penindakan berupa pemberian denda akan dilakukan.
”Misalnya di Jakarta, saya cek kemarin pada satu hari pernah mendapat uang sampai Rp 490 juta gitu, ya, hanya dari denda itu misalnya,” katanya.
Selanjutnya, tindakan pidana akan diambil jika kelalaian itu disertai dengan tindakan perlawanan kepada petugas dan kesengajaan. Pidana akan menjadi jalan terakhir yang ditempuh.
”Tetapi, kalau sampai melawan petugas, itu ada hukum pidananya, bisa diproses pidana. Kalau sudah diberi tahu, kok, melawan. Misalnya, sudah disuruh bubar, kok, diteruskan juga ada hukum pidananya. Hukum pidananya banyak. Kalau di dalam KUHP, pasal-pasal melawan petugas itu ada ancaman hukumannya,” kata Mahfud.
Kalau sampai melawan petugas, itu ada hukum pidananya, bisa diproses pidana. (Mahfud MD)
Pelanggar juga dapat dijerat dengan UU lain, misalnya UU Kesehatan, karena membahayakan kesehatan orang lain.
Menurut Mahfud, dalam waktu dekat, dirinya akan mengoordinasikan semua pihak terkait dengan terbitnya inpres tersebut. Penegakan dan disiplin juga memperhatikan pendekatan kultural dan status masing-masing daerah, apakah tergolong zona merah, zona kuning, ataukah zona hijau. Pendekatan kultural akan didahulukan sebelum tindakan pidana.
”Pokoknya semua zona harus menerapkan protokol kesehatan. Cuma, kalau zona merah, tentu itu lebih ketat. kalau yang tidak, tentu lebih longgar. Jadi, semuanya saat bersamaan secara simultan kita menerapkan protokol kesehatan di seluruh Indonesia yang tingkat keketatannya tergantung pada zonanya masing-masing,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, terbitnya Inpres No 6/2020 tersebut menunjukkan pemerintah lebih mendahulukan pendekatan punitif dalam mengendalikan Covid-19. Sebab, inpres itu mengandaikan kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat rendah terhadap penerapan protokol Covid-19. Sementara di sisi lain, tidak cukup ada kejelasan tindakan dan penanganan dari pemerintah dalam pengendalian penyakit tersebut.
”Selama tidak diatur di dalam UU atau perda, misalnya, penindakan hukum bagi pelanggar protokol kesehatan itu tidak bisa dilakukan. Pemberian sanksi yang konteksnya administratif seperti denda dan pidana kami tolak,” katanya.
Selama tidak diatur di dalam UU atau perda, misalnya, penindakan hukum bagi pelanggar protokol kesehatan itu tidak bisa dilakukan. Pemberian sanksi yang konteksnya administratif seperti denda dan pidana, kami tolak. (Erasmus Napitupulu)
Selain itu, pemerintah juga perlu memperjelas sejauh mana pelibatan TNI dan Polri. Jika kemudian tiba-tiba TNI ada di tepian jalan mengawasi penggunaan masker, lalu memberikan sanksi, menurut Erasmus, itu sudah di luar kewenangannya.
Problem utama dari inpres itu, kata Erasmus, adalah kecenderungan untuk menyalahkan masyarakat atas peningkatan kasus Covid-19 sehingga pendekatan punitif yang dikedepankan. Masyarakat diancam hukuman atau sanksi jika tidak melakukan protokol Covid-19. Namun, protokol kesehatan yang dimaksud itu tidak jelas bagaimana penerapannya karena di sisi lain ekonomi yang saat ini menjadi fokus pemerintah.
”Protokol kesehatan yang diberlakukan saat ini tidak jauh berbeda dengan protokol kesehatan pada Maret. Lalu, sebenarnya apa tindakan pemerintah dalam penanganan kasus Covid-19 ini. Tidak bisa semuanya ditimpakan kepada masyarakat,” kata Erasmus.