Pengembangan Vaksin Perlu Diiringi Peningkatan Literasi Publik soal Vaksin
›
Pengembangan Vaksin Perlu...
Iklan
Pengembangan Vaksin Perlu Diiringi Peningkatan Literasi Publik soal Vaksin
Perlombaan pencarian vaksin Covid-19 bisa menjadi bumerang terkait dengan kepercayaan publik terhadap masalah efektivitas dan keamanan vaksin. Literasi publik perlu digalakkan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
BRUSSELS, JUMAT — Warga dunia tengah menanti kehadiran vaksin, obat penyembuh, atau bahkan pemusnah penyakit Covid-19. Penyakit ini telah merenggut nyawa ratusan ribu jiwa di seluruh dunia dan membawa dunia ke jurang resesi ekonomi terburuk sejak Perang Dunia II. Kehadian vaksin ini dinanti untuk memulihkan kondisi di seluruh pelosok dunia, mulai dari pergerakan manusia hingga pergerakan ekonomi serta bisnis.
Akan tetapi, kecepatan dalam proses penemuan vaksin yang tengah dilakukan oleh para peneliti dan perusahaan farmasi bisa berbalik arah, menimbulkan ketidakpercayaan publik atas kualitas vaksin itu sendiri. Hal ini diperparah lagi dengan maraknya infodemi yang bersaling-silang dengan informasi valid, yang dikeluarkan otoritas kesehatan dan disebarluaskan oleh media.
”Cepat mungkin baik bagi para politikus. Namun, dari perspektif publik, sentimen umumnya adalah terlalu cepat itu bisa saja tidak aman,” kata Heidi Larson, analis yang memimpin studi global tentang kepercayaan terhadap vaksin dari lembaga VCP (Proyek Kepercayaan terhadap Vaksin), Kamis (6/8/2020).
Otoritas kesehatan dunia, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan otoritas kesehatan di beberapa negara terkemuka, telah berulang kali meyakinkan publik bahwa kecepatan dalam proses penelitian dan percobaan vaksin tidak akan mengganggu keamanan vaksin bila nantinya digunakan. Mereka menyatakan, hasil yang lebih cepat berasal dari pelaksanaan uji coba yang paralel, yang sebelum pandemi dilakukan secara berurutan dan memakan waktu lama–-hingga 10 tahun atau lebih.
Namun, hal itu belum bisa meyakinkan banyak orang, termasuk di negara-negara Barat. Skeptisisme terhadap ketersediaan vaksin dan keamanannya sendiri telah muncul sebelum wabah ini merebak.
Studi awal yang dilakukan di 19 negara menunjukkan bahwa hanya sekitar 70 persen responden di Inggris dan Amerika Serikat yang akan menggunakan vaksin Covid-19 jika vaksin itu tersedia. Convince, lembaga yang bekerja sama dengan VCP dalam pelaksanaan penelitian, menemukan bahwa responden asal China adalah responden yang memiliki keyakinan penuh terhadap keamanan vaksin. Sebaliknya, responden yang paling tidak memercayai keamanan vaksin adalah responden asal Rusia.
Perlawanan terhadap sains
Scott Ratzan, salah satu pimpinan Convince, menyatakan bahwa ketidakpercayaan ini tumbuh seiring perlawanan terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan pemerintah. ”Kita semua perlu memberikan perhatian khusus soal perlombaan penemuan vaksin yang cepat ini bersamaan dengan janji-janji politik yang berlebihan soal ketersediaan vaksin dan juga risiko vaksinasi,” kata Ratzan.
Hasil studi awal VCP dan Convince itu sejalan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan kantor berita Reuters pada Mei lalu tentang hal yang sama. Dari 4.428 responden survei, hanya sekitar 64 persen yang menyatakan ingin menggunakan vaksin tersebut untuk melindungi mereka dari Covid-19 dan bisa menjalani hidup dengan normal kembali. Sementara 36 persen mengaku ”tidak terlalu ingin” menggunakan vaksin tersebut bila nanti ditemukan.
Bila dipecah lagi, dari 36 persen responden yang mengaku tidak terlalu peduli dengan vaksin, yang benar-benar tidak menginginkan vaksin sebanyak lebih kurang 24 persen. Sisanya masih ragu-ragu.
Keragu-raguan terhadap vaksin—atau keengganan atau penolakan untuk divaksinasi—juga dikenal sebagai ”anti-vax”. Istilah ini kadang-kadang dikaitkan dengan teori konspirasi ketika sering kali hanya mencerminkan kekhawatiran banyak orang tentang efek samping atau etika industri.
Saat ini lebih dari 200 calon vaksin Covid-19 tengah dikembangkan di seluruh dunia, termasuk 26 di antaranya dalam uji klinis pada manusia. Sebanyak enam calon vaksin di antaranya kini telah berada pada fase tiga uji klinis dengan melibatkan sukarelawan yang lebih luas.
Di ASsendiri, sebagai bagian dari janji kampanye menjelang pemilihan presiden pada November mendatang, Presiden AS Donald Trump menjanjikan bahwa AS akan mendapatkan vaksin sebelum bulan November mendatang.
Literasi publik
Pada Januari 2019, WHO menyebut keragu-raguan terhadap vaksin sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan global teratas di tahun itu. Di Eropa, skeptisisme atau bahkan penolakan tentang manfaat vaksin terhadap warga terjadi karena perilaku negatif industri vaksin dan adanya informasi tentang dampak vaksin terhadap perkembangan anak balita dan anak, terutama masalah autisme.
Hasil studi Uni Eropa (UE) tahun 2018 menunjukkan hanya 70 persen warga Perancis percaya kepada keamanan vaksin. Rata-rata tingkat kepercayaan terhadap vaksin di UE adalah 82 persen. Akan tetapi, tingkat kepercayaan itu sempat turun ke angka 68 persen terhadap efektivitas vaksin flu musiman.
Proyek VCP tentang tingkat kepercayaan warga atas vaksin, yang didanai oleh Komisi Eropa dan perusahaan farmasi, bertujuan mengidentifikasi tanda-tanda awal dan penyebab ketidakpercayaan publik dan menanganinya dengan kampanye informasi sebelum terlambat.
Larson mengatakan, berita utama yang merujuk pada Operasi Warp Speed, tagline yang dicanangkan Trump untuk penelitian vaksin di negara itu, dapat meningkatkan keraguan atas manfaat vaksin, bahkan lebih dari persepsi bahwa penyakit itu bisa menjadi tidak terlalu mematikan. ”Salah satu hal yang paling sering muncul dalam percakapan orang-orang adalah kekhawatiran tentang seberapa cepat (vaksin itu ditemukan). Jika saya harus memilih satu tema yang lebih sering muncul daripada yang lain, itu adalah tema ini,” kata Larson.
Data yang dikumpulkan oleh VCP dari media sosial menunjukkan bahwa pada akhir Juni sekitar 40 persen pembicaraan daring warga Inggris tentang vaksin Covid-19 cenderung negatif. Banyak orang tidak memercayai vaksin virus korona dan lembaga medis.
Pengumuman tentang kemajuan pesat dalam vaksin Covid-19 di Rusia dan China pada khususnya juga dapat berkontribusi pada meningkatnya skeptisisme. ”Kami tidak memiliki transparansi dan tidak tahu seberapa akurat atau valid data mereka,” kata Ratzan seraya menambahkan bahwa kesalahan di sana dapat meningkatkan skeptisisme di tempat lain.
Kate Elder dari lembaga Doctors Without Borders menyarankan, kunci agar kampanye informasi berhasil adalah kesesuaian informasi yang disampaikan dengan para penerima informasi itu karena dalam kelompok ”anti-vax” tidak ada profil yang sama antara yang satu dan yang lainnya. Apalagi, kelompok itu juga memiliki jangkauan pendidikan yang luas, mulai dari orang berpendidikan tinggi hingga mereka yang benar-benar tidak memercayai ilmu pengetahuan. (REUTERS)