Ada kata bijak, ”When you feel helpless, help someone.” Dari sisi psikologi, nasihat tersebut sungguh benar. Ketika kita merasa tak berdaya, kita akan memperoleh kembali keberdayaan itu dengan membantu orang lain.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Ada kata bijak, ”When you feel helpless, help someone.” Dari sisi psikologi, nasihat tersebut sungguh benar. Ketika kita merasa tak berdaya, kita akan memperoleh kembali keberdayaan itu dengan membantu orang lain. Membantu orang lain itu sesungguhnya meningkatkan keberdayaan dan kebahagiaan kita sendiri.
Pada masa pandemi ini, sebagian dari kita merasa sangat bersyukur masih dapat menjalankan roda ekonomi secara cukup baik dan memiliki tabungan mencukupi. Namun, sekaligus kita merasakan ketidakberdayaan juga akibat berbagai persoalan yang dirasakan sendiri. Ataupun kita bisa merasa ikut tak berdaya saat melihat kesulitan yang dialami orang lain.
Bantuan yang tepat
Mungkin ada cukup banyak warga masyarakat yang dengan keterbatasannya ingin berbagi pada sesama yang lebih berkesulitan, tetapi tidak mengerti bagaimana caranya. Sebagian tidak mengerti bagaimana menjangkau pihak yang paling membutuhkan. Bila menyalurkan donasi melalui lembaga atau pihak-pihak lain, juga belum yakin apakah bantuan akan sampai pada mereka yang paling membutuhkan.
Menemukan pihak yang paling membutuhkan dan jenis bantuan paling tepat bukan hal mudah. Kita misalnya, masih harus menjalankan protokol kesehatan dan menjaga jarak fisik secara ketat. Hal ini membuat kita tidak banyak bertemu orang lain dan harus mereka-reka persoalan paling mendasar yang dihadapi orang lain. Jenis bantuan yang kita pikirkan baik, tetapi belum tentu menjadi yang paling tepat bagi kelompok sasaran.
Kompas cukup sering mengangkat liputan mengenai warga yang membantu pada masa pandemi sekarang ini. Satu hal yang membuka mata adalah artikel ”Gotong Royong Internet yang Dibutuhkan” (Kompas, 1 Agustus 2020, hlm 11). Ada Irsan Mulyadi, di Kabupaten Deli Serdang, menyediakan akses internet gratis bagi anak-anak di lingkungan rumahnya.
Irsan memutuskan untuk membuka halaman rumahnya. Dia membagikan akses internet bagi anak-anak yang sedang belajar. Ini dia lakukan setelah membaca berita mengenai anak yang lari dari rumah karena menghabiskan kuota internet milik orangtuanya. Anak tersebut ternyata menggunakan kuota itu untuk pemelajaran jarak jauh.
Ingat mahasiswa saya yang mengeluh sangat tertekan karena ayah-ibunya bekerja di sektor informal sebagai sopir dan membuka warung. Praktis mereka kehilangan mata pencarian selama pandemi. Ia perlu banyak kuota internet. Sementara baterai ponsel serta komputernya sudah bocor sehingga bila ada kuliah, ia harus menggunakan listrik, yang juga menambah pengeluaran keluarga. Belum lagi rumahnya sangat kecil dan sangat dekat dengan rel kereta.
Ia tidak dapat berkonsentrasi dan ketakutan bila dosen bertanya. Sebab jika ditanya, ia harus menjawab. Dosen pasti juga akan mendengarkan suara ramai di rumahnya, dan bisa menganggapnya tidak serius belajar. Ia sampai jatuh sakit cukup serius akibat perasaan tertekan.
Irsan menjadi contoh soal pemberian bantuan yang amat tepat sekarang ini.
Produktivitas
Tentang hal memberi dan berbagi, ada tulisan dari Adam Grant (2013), ”Give and Take: A Revolutionary Approach to Success”. Tulisannya didasarkan pada penelitiannya atas organisasi-organisasi besar dan para pemimpin organisasi.
Grant menemukan tiga kelompok pekerja. Ada yang cenderung ”mau mengambil saja”, selalu mencari yang menguntungkan dirinya, dan bila harus berbagi, akan memberi sesedikit mungkin. Kelompok ini amat kompetitif, dan lebih sibuk mempromosikan dirinya saja.
Ada kelompok yang lebih kecil persentasenya, yang senang berbagi, bersedia secara sukarela memberikan waktu, energi, pikiran dan kompetensinya untuk membantu teman-teman kerjanya. Mereka tidak berpikir secara kaku harus ada take and give yang seimbang, dan tidak berkeberatan bila memberikan lebih daripada yang diterima.
Kelompok terbanyak adalah mereka yang berpikir, harus ada pertukaran antara memberi dan menerima dan ini harus seimbang. Kelompok ini bersedia memberi, tetapi menuntut manfaat atau keuntungan sepadan sebagai imbalan atas apa yang telah dia lakukan.
Menarik! Dari studinya, Grant menyimpulkan bahwa tindakan saling menolong itu menjadi dimensi yang amat penting dalam budaya organisasi. Ini sangat memengaruhi produktivitas. Bahkan, menurut dia, perilaku saling berbagi lebih berperan dalam menghadirkan efektivitas kerja daripada visi perusahaan.
Oleh karena perhatiannya yang tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain, dan golongan yang bersedia berbagi akan cenderung memperoleh penghargaan dari rekan kerjanya. Akibat lanjutannya, ia memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan memungkinkan untuk saling berbagi pengetahuan dan informasi. Ini adalah Suatu hal yang sangat diperlukan oleh perusahaan untuk membuat pekerja betah, sekaligus dapat terus belajar dan berinovasi.
Meseki demikian Grant mengingatkan. Bagaimanapun, jangan sampai individu sibuk memberi tanpa mengupayakan timbal-balik. Bila berlebihan, individu dapat dimanfaatkan oleh orang lain sedemikian rupa untuk keuntungan pihak lain, dan mengalami burn out. Kita dapat menjadi pemberi yang efektif, bila kita dapat menyeimbangkan kepedulian pada orang lain tanpa harus melupakan atau menomorduakan kepentingan kita sendiri.
Dalam menghadapi tantangan pada masa pandemi ini, kita terus saling belajar untuk dapat menghadirkan manfaat bagi sesama. Ada yang urunan di tingkat komunitas terkecil agar dapat berbagi akses internet. Ada pula yang mulai menginisiasi pengumpulan laptop dan ponsel yang sudah tidak terpakai agar dapat disumbangkan bagi yang sungguh memerlukan. Semoga dapat menginspirasi lebih banyak kebaikan dan bentuk-bentuk inovasi lain untuk berbagi.
Dalam konteks kehidupan bersama, banyaknya warga yang bersedia berbagi akan menghadirkan suasana batin yang positif dalam masyarakat. Ini sekaligus akan mempercepat bangkitnya kembali perekonomian kita.