Bangsa ini membutuhkan harapan setelah masyarakat selama lima bulan terakhir dipenuhi kekhawatiran akan persoalan kesehatan dan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Satu bulan belakangan ini suasana terasa begitu sumpek. Awalnya, juga sudah demikian, tetapi kesumpekan terasa meningkat. Hampir tiap hari berita dan cerita negatif muncul. Berawal dari cerita soal pandemi Covid-19 yang belum juga terkendali. Padahal, bangsa ini sudah berjibaku melawan dan kemudian berdamai dengan Covid-19 lima bulan lamanya. Jangankan gelombang kedua, puncak dari Covid-19 di Indonesia belum tampak. Kasus positif Covid-19 masih terus menanjak dan menanjak.
Setelah dari isu kesehatan, kini mulai bergerak ke krisis ekonomi. Kata pertumbuhan ekonomi minus 5,3, lalu ekonomi terkontraksi, menjadi sering terdengar belakangan ini. Diksi resesi ekonomi atau technical recession mulai jadi bahan percakapan elite, terutama para ekonom dan pemain pasar modal. Namun, bagi para pedagang pasar, keluhannya cuma satu; jualan sepi! Tidak ada yang beli. Pembibit kerapu di Situbondo, Jawa Timur, mengeluh, ”Bagi petani pesisir, kami hanya bisa bertahan sambil menunggu titik terang. Kami produksi, tetapi enggak bisa ekspor. Semuanya tutup.”
Keluhan rakyat riil dan konkret. Khawatir dengan Covid-19. Khawatir dengan ekonomi yang tidak menentu.
Keluhan rakyat riil dan konkret. Khawatir dengan Covid-19. Khawatir dengan ekonomi yang tidak menentu. Sementara dari Istana, rakyat melihat Presiden Joko Widodo beberapa kali mengeluhkan soal penyerapan anggaran yang rendah. Terbentur pada hukum besi birokrasi. Terbentur pada DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran).
Dalam panggung lain, publik melihat bagaimana oknum polisi, oknum jaksa, dan advokat mempertontonkan perilaku tercela. Mengantar buronan paling dicari ke luar negeri, menerbitkan surat jalan untuknya. Menemui buronan di Kuala Lumpur, Malaysia. Duduk di kursi bersama buronan. Sebuah perilaku yang amat tercela. Mereka kehilangan nurani terhadap Ibu Pertiwi.
Bangsa ini sangat butuh harapan. Ketegasan seorang pemimpin adalah harapan. Tindakan konkret seorang pemimpin adalah harapan. Janji seorang memimpin barulah setengah harapan yang bisa pupus ketika harapan itu tak terwujud. Sebaliknya, keluhan pemimpin bisa memupuskan harapan. Karena apa? Karena seorang pemimpin punya kewenangan besar, termasuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengatasi hambatan birokrasi menekan pencairan anggaran. Toh, kekuatan politik sudah terkonsolidasi. Seorang pemimpin punya kuasa merombak pembantunya yang tidak menunjukkan kinerja baik atau tak sesuai dengan visinya.
Kabar dimulainya uji coba klinis vaksin kolaborasi Bio Farma-Sinovac adalah harapan. Harapan bahwa penangkal virus korona baru pencetus Covid-19 sudah ada. Namun, karena terkait dengan keselamatan manusia, vaksin haruslah tetap mengikuti kaidah-kaidah uji klinis. Tidak mungkin bisa dipercepat sesuai keputusan politik. Kemungkinan kegagalan haruslah dipertimbangkan. Skenario lain harus disiapkan. Kerja sama Kalbe Farma dengan Genexine Inc dan beberapa pihak lain untuk menemukan vaksin juga adalah harapan. Calon vaksin Merah Putih yang disiapkan Lembaga Eijkman juga adalah harapan.
Bangsa ini sangat butuh harapan. Ketegasan seorang pemimpin adalah harapan. Tindakan konkret seorang pemimpin adalah harapan.
Harapan itu perlu terus dikomunikasikan. Namun, nyatanya harapan itu masih butuh waktu untuk datang. Karena itu, peningkatan kewaspadaan dan kedisiplinan harus terus digenjot untuk mencegah orang terpapar Covid-19. Disiplin bermasker, disiplin cuci tangan, disiplin jaga jarak. Justru itulah yang kini kendur. Semua sumber daya perlu dikerahkan untuk mendisiplinkan warga. Apabila perlu, pasang polisi masker. Salah satu indikator keberhasilan pemimpin adalah perubahan perilaku masyarakat. Dari masyarakat yang abai menjadi masyarakat yang disiplin.
Jika resep perang melawan Covid-19 adalah test, trace, dan treat. Ya, jalankan. Jumlah pengetesan masih terasa njomplang. Hanya Jakarta yang telah melewati standar WHO untuk pengetesan. Di daerah lain masih minim. Setiap ada tantangan, ya, harus ada respons. Itu kata sejarawan Arnold Joseph Toynbee. Maka itu, indikator lain keberhasilan seorang pemimpin adalah kemampuan melakukan tes, melacak, dan menangani korban.
Perlu ada perang semesta melawan Covid-19. Begitu juga perlu ada penanganan semesta memulihkan ekonomi. Dari akar rumput bisa dilihat bagaimana program-program urun dana (equity crowdfunding) atau peer to peer lending untuk pembiayaan usaha super kecil masih bisa berjalan meski melambat. Bukankah ini modernisasi dari gagasan Bung Hatta soal koperasi? Bukankah itu wujud koperasi di era digital? Sebuah usaha yang dimiliki bersama oleh banyak orang dan diperantarai teknologi. Itu mengasumsikan ada niat dan karakter baik. Bergotong royong membantu sesama. Membeli produk teman untuk memutar ekonomi. Namun, itu butuh pengawasan agar tak muncul ”penjahat” keuangan di zaman digital.
Harapan harus terus diembuskan. Kearifan lokal dan kegotongroyongan bisa menciptakan harapan. Bangsa ini membutuhkan arah tepat ke depan untuk bisa keluar dari krisis.