Menyelamatkan UMKM dan Korporasi
Masalah utama ketidakpastian hingga beberapa waktu ke depan adalah persoalan kesehatan terkait penyebaran atau transmisi Covid-19. Sedikitnya, perlu waktu enam bulan untuk mengantisipasi dampak Covid-19.
Risiko beranjaknya kepincangan ekonomi menuju kelumpuhan pada sektor riil sebagai dampak dari wabah Covid-19 cukup nyata. Dan pola penanganannya akan sangat memengaruhi corak pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Pertimbangan bantuan yang terus berkutat pada skala jumlah dan prioritas akan jadi tak relevan manakala tak memperhitungkan kecepatan dan ketepatan dari segala sisi.
Periode ketidakpastian
Kasus penularan Covid-19 di Indonesia telah menembus angka psikologis 100.000 orang di pengujung Juli 2020. Rekor fantastis sejak Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama kali pada 2 Maret 2020. Selama lima bulan terakhir, pandemi korona yang berawal dari kota Wuhan, China, itu telah meluluhlantakkan berbagai sendi kenormalan kehidupan masyarakat di dunia.
Masalah utama ketidakpastian hingga beberapa waktu ke depan adalah persoalan kesehatan terkait penyebaran atau transmisi Covid-19. Skala penanganannya belum begitu masif sehingga sulit untuk mengukur efektivitas dan ketepatan kebijakan pembatasan sosial berskala kecil maupun besar di seluruh Tanah Air terhadap derajat penularannya.
Sedikitnya, perlu waktu enam bulan untuk mengantisipasi dampak Covid-19 dari sisi kesehatan untuk memperkirakan dampaknya terhadap perekonomian nasional. Pencapaian titik dasar (bottoming) dalam isu kesehatan ini akan sangat memengaruhi pencapaian dasar di berbagai bidang lain, seperti sosial, keuangan, dan perekonomian secara umum.
Masalah utama ketidakpastian hingga beberapa waktu ke depan adalah persoalan kesehatan terkait penyebaran atau transmisi Covid-19.
Meningkatnya jumlah masyarakat yang tertular Covid-19 lima bulan terakhir membuat perekonomian, khususnya sektor riil, goyah. Sejumlah sektor, termasuk UMKM, industri pengolahan, pariwisata, konstruksi, properti, dan lainnya, kian terpuruk. Jika tak segera ditopang bantuan dengan jumlah, kecepatan, dan ketepatan yang terukur, dapat dipastikan terjadi kelumpuhan struktural.
Sektor UMKM yang memberdayakan 97 persen dari sekitar 130 juta tenaga kerja nasional sangat terdampak oleh kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Diperkirakan sekitar 30 persen tenaga kerja UMKM atau sedikitnya 40 juta tenaga kerja nyaris kehilangan sumber penghidupan.
Jaring pengaman sosial yang dibutuhkan para pengusaha dan tenaga kerja UMKM terdampak agar tetap mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari bisa mencapai Rp 600 triliun untuk periode enam bulan ke depan. Ini yang akan terjadi jika ketidakpastian mengenai isu kesehatan terus berlanjut.
Adapun kebutuhan fasilitas kesehatan diperkirakan Rp 400 triliun. Anggaran ini untuk meningkatkan skala testing (dari rasio 5.000 ke 10.000 per 1 juta manusia seperti dilakukan beberapa negara tetangga, persiapan obat-obatan, ventilator, tempat tidur perawatan, dan kesiapan medis lainnya.
Perhitungan kami, anggaran yang perlu disiapkan untuk mengurangi ketidakpastian isu kesehatan dan menjaga stabilitas sosial (terutama untuk para pengusaha dan tenaga kerja UMKM) enam bulan ke depan Rp 1.000 triliun. Angka tersebut tentu memerlukan kerangka yang jelas, dengan kecepatan, ketepatan, dan keterpaduan penggelontoran dana di awal waktu akan sangat memengaruhi skala bantuan yang diperlukan di kemudian hari secara keseluruhan. Selain stabilitas sosial, kebutuhan itu juga memastikan adanya kesinambungan sisi permintaan (demand) atau daya beli masyarakat luas.
Menjaga kesinambungan sisi pasok (supply side) agar barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tetap tersedia penting untuk dipertimbangkan. Agar para debitor perbankan termasuk UMKM dan sektor-sektor lain yang rentan (termasuk industri pengolahan, konstruksi/properti, transportasi, pariwisata, dan lain-lain) mendapat bantuan restrukturisasi supaya tidak mengalami kelumpuhan.
Posisi utang UMKM yang ada pada neraca perbankan nasional saat ini berada di kisaran Rp 1.100 triliun. Permintaan restrukturisasi dan dukungan modal kerja dari para debitor UMKM akan terus meningkat dalam waktu dekat mengingat keterbatasan mobilitas akibat PSBB. Angka itu belum termasuk UMKM yang tak terekam di sistem perbankan.
Menjaga kesinambungan sisi pasok (supply side) agar barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tetap tersedia penting untuk dipertimbangkan.
Diperkirakan sekitar 25 persen dari pinjaman perbankan (atau Rp 1.500 triliun dari total pinjaman perbankan Rp 6.000 triliun) memerlukan restrukturisasi. Selama ketidakpastian mengenai isu kesehatan terus berlangsung, angka ini berpotensi terus meningkat.
Kebijakan yang sangat diharapkan sektor riil adalah menambal atau menopang kedua sisi (supply dan demand) dari permasalahan agar pemulihan ekonomi berlangsung baik. Besaran secara keseluruhan akan sangat dipengaruhi oleh pola (kecepatan, ketepatan, dan keterpaduan) stimulus perekonomian di titik-titik awal.
Ruang fiskal dan moneter
APBN kuartal I-2020 sudah menunjukkan keterbatasan ruang fiskal dengan defisit sekitar Rp 76,4 triliun atau 0,45 persen dari PDB. Upaya pendanaan paket stimulus lewat realokasi anggaran dan pinjaman di pasar dalam dan luar negeri diperkirakan hanya mampu menghimpun dana sekitar Rp 200 triliun.
Kapasitas meminjam di pasar dalam dan luar negeri sangat terbatas mengingat kian ketatnya likuiditas. Dibandingkan beberapa negara lain, persentase paket stimulus terhadap PDB kita jauh lebih kecil.
Dari sisi kebijakan moneter, upaya yang sudah dilakukan untuk melakukan pelonggaran kuantitatif (dengan penurunan batas giro wajib minimum dan pembelian instrumen di pasar sekunder) dianggap belum mampu menciptakan likuiditas baru yang dibutuhkan sektor riil untuk pembenahan atau restrukturisasi pinjaman di perbankan nasional.
Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 untuk menopang pemulihan ekonomi nasional dengan upaya di luar batas wajar sebagai dampak wabah Covid-19. Juga telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 yang menguraikan tahapan awal untuk memberikan bantuan jaring pengaman sosial, kesehatan, pengusaha UMKM, dan dunia usaha lainnya.
Prinsip pemulihan ekonomi yang tertuang dalam perppu dan PP itu telah memuat unsur keadilan sosial, kaidah kebijakan yang penuh kehati-hatian, dukungan untuk pelaku usaha, dan pencegahan moral hazard. Pemerintah, dalam proses pemulihan ekonomi nasional, juga bisa melakukan investasi, penjaminan, dan penempatan dana di sistem perbankan.
Ini gagasan yang luar biasa untuk pemulihan ekonomi nasional. Namun, tetap ada beberapa isu yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penekanan terhadap penempatan dana di sistem perbankan lewat bank perantara mencerminkan asumsi bahwa permasalahan hanya semata krisis likuiditas di perbankan.
Ini gagasan yang luar biasa untuk pemulihan ekonomi nasional.
Yang perlu dipertimbangkan justru krisis kredit terkait debitor yang kesulitan karena tak dapat beraktivitas akibat PSBB. Karena itu, jumlah penjaminan dari pemerintah akan jauh lebih besar untuk kepentingan restrukturisasi daripada pinjaman para debitor di perbankan nasional.
Kedua, mengingat keterbatasan ruang fiskal dan moneter, untuk membuahkan bantuan dengan kecepatan tinggi dan dalam jumlah besar, diperlukan ketersediaan dana atau likuiditas baru yang diarahkan untuk penanganan sarana kesehatan, jaring pengaman sosial, pemulihan daya beli (demand side), dan pemulihan sisi produksi (supply side).
Ketiga, diperlukan keterbukaan pihak pemerintah terkait pendanaan, agar pemulihan ekonomi nasional secara terpadu dapat dirasakan sektor riil. Dengan menghindari kelumpuhan permanen di sisi pasok atau produksi, perekonomian Indonesia berpeluang lebih bisa bersaing di masa depan.
Khususnya dalam konteks upaya negara-negara maju melakukan desentralisasi rantai pasok (supply chain) yang selama ini masih terkonsentrasi di titik-titik tertentu. Indonesia berpeluang jadi basis manufaktur dan produksi baru dengan adanya relokasi kegiatan produksi sejumlah negara ke beberapa negara Asia Tenggara.
(Gita Wirjawan
Mantan Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu/
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin)