Ubi Jalar Madu
Sesampai di depan rumah, aku melihat ibu sedang memanen ubi jalar madu. Rumah ibu seperti berada di tengah-tengah lautan berwarna hijau keunguan.
Ibu—dia adalah ibu tiriku yang kerap menyakitiku saat ayah masih hidup—sepertinya telah berubah sejak ayah tiada awal tahun 2020 ini. Beliau—sebelumnya sering marah-marah padaku tanpa sebab, terutama jika ayah sedang tidak di rumah—lebih banyak mengunci mulut, tetapi juga lebih banyak menyibukkan diri dengan menanam berbagai tanaman di halaman rumah. Aku tak tahu, apa ibu berpura-pura berubah menjadi baik padaku atau ibu memang sudah benar-benar berubah. Aku kerap mendapatinya sedang menanam berbagai tanaman, dan akhir-akhir ini aku melihat ibu kerap melamun di depan tanaman ubi jalar madu yang ditanamnya di halaman rumah. Seperti memandang sebuah lautan yang permukaannya berwarna hijau keunguan, ibu betah berlama-lama mengamati daun-daun tanaman menjalar yang siap panen itu.
Seperti sore itu, ketika aku datang ke rumah ibu, ia sedang memandangi tanaman itu. Sedikit kaget ibu mengampiriku.
”Kau datang sendiri Asih, mana suami dan anakmu? Ibu kira kau sudah melupakan ibu.” Ibu menyambutku dengan pelukan, kusambut dengan pelukan hambar. Aku hanya mengangguk kemudian bergegas masuk ke dalam rumah lewat pintu samping. Aku masuk ke sebuah kamar di bagian pojok belakang—kamar yang dulu kutempati di rumah itu sebelum aku menikah dengan Mas Budi, suamiku.
Aku belum bisa menghilangkan ganjalan di hatiku pada ibu. Aku masih teringat perlakuannya padaku saat dulu ayah masih hidup. Ayah menikah dengan ibu ketika usiaku sembilan tahun, sementara ibu seorang gadis dari kampung sebelah. Ibu kandungku meninggal karena sakit. Bersama ayah, ibu tidak dikaruniai anak sampai ayah tiada.
Ayah meninggal—karena sakit yang cukup lama dideritanya— tepat di malam tahun baru 2020. Kami begitu kehilangan, termasuk juga ibu yang hanya tinggal bersama ayah. Setelahnya, ibu tinggal seorang diri—menjalani sisa umur dengan menanam tanaman yang disukainya di halaman rumah. Aku menawarkan ibu untuk tinggal bersama kami di luar kota, tapi ibu menolaknya.
”Sampai kapan pun ibu akan tinggal di sini. Ibu ingin selalu mengenang ayahmu di rumah ini. Tak mungkin ibu meninggalkan tempat ini. Jika pergi dari sini berarti ibu meninggalkan ayahmu. Tak Mungkin. Makna ayahmu bagi ibu terlalu dalam, Nak.” Begitu jawaban ibu setiap kali aku mengajaknya untuk tinggal bersama. Mas Budi juga selalu khawatir pada ibu dan mendesakku untuk mengajaknya tinggal bersama kami. Namun, ibu selalu menolaknya. Aku pun mengalah, setiap aku ada keperluan ke kota di mana rumah ibu dekat dengan kota itu, aku menyempatkan diri mampir ke rumah ibu, tentunya sudah minta izin pada Mas Budi. Dan, Mas Budi pun mengizinkan dan mendukung penuh apa yang aku lakukan, kecuali sikapku pada ibu yang belum bisa berubah: aku masih memendam bara di hati pada ibu. Awalnya aku berniat akan bersikap ramah, tetapi ketika bertatap muka dengannya, aku tak mampu melakukannya.
Baca juga: Aroma Kopi Surga
Aku selalu teringat ketika ibu memaki-makiku tanpa sebab; menghukumku ketika telat pulang karena mengerjakan PR secara berkelompok di rumah teman. Jika ada ayah pun ibu kerap membentak dan menghukumku, apalagi jika tidak ada ayah. Misalnya ketika tak sengaja aku memecahkan piring yang baru saja kucuci. Sumpah serapah ibu seperti peluru yang diberondongkan dari sebuah senapan ke arahku.
Suatu sore—waktu itu aku kelas tiga SMP— aku belajar kelompok di rumah teman. Aku pulang terlambat karena ada tugas sekolah yang harus kami kerjakan, dan tugas itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku pulang ke rumah bakda magrib, padahal ibu telah mewanti-wantiku untuk pulang sebelum magrib.
”Kalau nanti kamu pulang terlambat, tidur di gudang atas!”
Sesampai di halaman rumah, aku disambut oleh wajah ibu yang seperti bara. Mulut ibu seperti mengeluarkan suara petir. Mata ibu seperti keluar dari tempatnya. Tangan ibu berkacak pinggang seperti capit kepiting yang hendak menjepit mangsanya. Malam itu ayah sedang tidak di rumah karena piket kerja malam hari. Semalaman aku diperintahkan ibu untuk tidur di gudang. Semalaman itu aku menangis sesunggukan. Kejadian bertahun-tahun lalu itu seperti melekat kuat di batok kepalaku.
Di kamar, aku tiduran, sambil terbayang kejadian-kejadian menyakitkan dulu yang dilakukan ibu padaku, juga mengingat ayah yang selalu kurindukan. Ayah bagiku seperti embun yang selalu kurindukan kesejukannya. Tutur katanya embun. Senyumnya embun. Kasih sayangnya embun.
Aku melinangkan air mata mengingat itu semua. Tak terasa waktu sudah cukup sore, aku harus pulang. Ibu menyapaku, ”Mau ke mana, Asih? Masih belum terlalu sore kok.”
”Pulang.”
”Kamu bawa ubi jalar madu ya? Bisa direbus atau untuk buat kolak, rasanya enak sekali.”
”Mas Budi dan Wening kurang suka ubi jalar. Nanti malah mubazir kalau aku bawa.”
Terlihat wajah kecewa ibu karena aku menolak pemberiannya. Padahal sebenarnya aku ingin sekali mencicipinya. Namun, rasa gengsi mengalahkannya.
Dalam perjalanan pulang—di atas sepeda motor matic—aku terus memikirkan tentang ibu dan ubi jalar madu. Ingin rasanya memaafkan ibu, tetapi sampai detik ini aku belum mampu melakukannya.
Aku melinangkan air mata mengingat itu semua. Tak terasa waktu sudah cukup sore, aku harus pulang. Ibu menyapaku, ’Mau ke mana, Asih? Masih belum terlalu sore kok.’
Meski masih ada ganjalan di hati, tetapi aku tak bisa untuk tidak mampir ke rumah ibu. Rumah di mana aku dulu dilahirkan dan dibesarkan oleh dua ibu, dan seorang ayah. Rumah yang ditumbuhi berbagai tanaman. Menurut ayah, tanah di mana rumah itu berdiri dulunya adalah sebuah kebun yang sering digunakan oleh warga untuk membuang sampah. Setelah ayah membeli tanah itu, kemudian ayah membersihkannya dan meratakannya. Secara perlahan ayah membangun rumah, membuat tembok keliling, dan menanami tanaman di halaman depan, samping kanan, kiri, dan belakang. Berbagai tanaman buah dan sayur ditanamnya, seperti: mangga, jeruk, bayam, kangkung, jahe, sereh, rambutan, sawo, cabe, kedondong, ubi kayu, ubi jalar, dan banyak tanaman lainnya.
Sesampai di rumah, aku menceritakan semuanya pada Mas Budi.
”Seharusnya kamu tidak bersikap seperti itu.”
”Aku masih teringat perlakuan-perlakuan ibu padaku dulu.”
”Sekarang ibu sudah berubah.”
”Aku belum bisa berubah.”
”Harus bisa.”
Semalaman aku tak bisa tidur. Wajah ibu memenuhi isi kepalaku. Sudah ada gurat-gurat ketuaan di wajahnya—ketika aku menatapnya dari dekat—meski masih kentara wajah cantiknya saat muda dulu. Usia yang sudah di atas 60 tahun, tetapi ibu masih tampak cantik dan sehat.
***
Hari-hari berlalu, keinginan untuk mampir ke rumah ibu dan mencicipi enaknya rasa ubi jalar madu harus aku tunda. Kasus Covid-19 telah sampai ke Indonesia. Aku dan suami harus bekerja dari rumah di masa pandemi ini. Perasaanku bercampur aduk antara kerinduan pada ibu dan keinginan yang tertahan. Empat belas hari mengurung diri di rumah seperti empat belas bulan. Pada hari berikutnya, aku memutuskan untuk ke rumah ibu.
”Jangan lupa pakai masker,” ucap Mas Budi.
”Iya Mas.”
Aku melaju—dengan motor matic-ku—menyusuri jalanan menuju rumah ibu. Jalanan terlihat lengang, hanya satu dua yang melintas. Setiap orang yang berkendara memakai masker. Sebuah pemandangan yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Sesampai di depan rumah, aku melihat ibu sedang memanen ubi jalar madu. Rumah ibu seperti berada di tengah-tengah lautan berwarna hijau keunguan. Setelah ayah meninggal, ibu rajin menanam tanaman itu di sekeliling rumah. Ibu tetap hangat memelukku. Aku membalas pelukan hangatnya. Aku menangis sesenggukan.
”Mari kita ngopi. Ibu sudah merebus ubi jalar madu untuk teman ngopi.”
Kami menuju ke dapur. Ibu membuat dua cangkir kopi, dan menghidangkan sepiring ubi jalar rebus. Aku mencicipinya.
”Enak sekali, Bu. Empuk dan manisnya pas.”
’Mari kita ngopi. Ibu sudah merebus ubi jalar madu untuk teman ngopi.’
”Tanah di halaman rumah ini memang sangat subur. Dulu ayahmu rajin memberi pupuk kandang. Ibu hanya melanjutkan apa yang dulu biasa ayahmu lakukan. Tetangga dekat rumah pun ada yang dengan senang hati memberi pupuk kandang pada ibu. Dan, para tetangga pun senang dengan rasa ubi jalar yang ditanam ibu. Mereka ingin membelinya, tetapi ibu ingin memberinya saja.”
Aku mendengarkan cerita ibu sambil menikmati empuk dan manisnya rasa ubi jalar madu. Ibu melanjutkan ucapannya, ”Nanti kamu membawa ubi jalar ya? Sebentar lagi kan ramadan, bisa kamu buat kolak dicampur dengan kolang kaling, rasanya sungguh nikmat.”
***
Baca juga: Cinta bagi Siti
Ketika akan pulang, aku mengurungkannya ketika melihat para tetangga berdatangan. Mereka semua mengenakan masker.
”Kami ingin membeli ubi jalar Madu, Bu.”
”Iya Bu. Rasanya enak sekali, dan tubuh kami terasa segar sepanjang hari.”
”Iya, Bu. Di masa sulit seperti ini, kami suka sekali merebus ubi jalar madu, dan membuat makanan lainnya dari ubi itu.”
”Iya rasanya empuk sekali, manisnya pas. Pokoknya enak sekali.”
”Iya kami ingin membelinya, Bu Hamdan.”
Mereka berdatangan tidak hanya tetangga dekat, tetapi juga tetangga jauh di ujung kampung. Berita tentang enaknya ubi jalar madu yang ditanam ibu telah menjalar ke seluruh penjuru kampung. Meskipun jumlahnya banyak, mereka tidak berdekatan, mereka berbaris rapih lurus ke belakang satu satu, dengan jarak sekitar satu setengah meter.
”Baik ibu-ibu, nanti akan saya bagi saja secara gratis. Memang saya niatkan menanam tanaman ini untuk dibagikan pada ibu-ibu semua,” ucap ibu pada mereka yang datang.
Aku dan empat orang tetangga membantu ibu memanen ubi jalar madu. Hasil panen sungguh menakjubkan. Ubi jalar madu besarnya rata-rata sebesar tangkupan dua telapak tangan orang dewasa. Sampai senja hari, kami selesai memanen dan membaginya pada para tetangga yang datang. Tak ada satu pun dari mereka yang tidak kebagian. Masih ada sisa ubi jalar madu yang disimpan ibu di dapur.
Mas Budi dan Intan—anak semata wayangku yang berusia lima tahun—menyusulku ke rumah ibu. Malam ini kami menginap di rumah ibu. Keesokan harinya, kami membantu ibu menanam ubi jalar madu di sekeliling rumah.
”Ibu akan menanam tanaman ini terus sampai pandemi ini berlalu. Ini perintah ayahmu dalam mimpi. Ayahmu berpesan untuk terus membagi ubi jalar madu pada tetangga selama masa sulit ini. Dan ayahmu pun mendoakan semoga pandemi ini cepat berlalu.”
Malam-malam berikutnya ibu seperti kelelahan. Ibu mencegah kami pulang. kami menunggui ibu yang terbaring. Tubuhnya kian lama terlihat kian ringkih dan letih. Meski telah berobat, ibu tetap terbaring di kamarnya, kemudian memejam selamanya.[]
Banyumas, Juni-Juli 2020
****
Agus Pribadi, lahir di Purbalingga, 10 Mei 1978. Guru IPA di SMP Negeri 5 Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Mengikuti: Kelas Cerpen Kompas 2018, Ruang Kreatif #ProsaDiRumahAja Galeri Indonesia Kaya 2020, Webinar Cerpen Merawat Ingatan Lewat Cerita Kompas Institute 2020. Buku kumpulan cerpen terbarunya ”Hadiah Istimewa untuk Ibu” (2020).