Belajar Filsafat ala Milenial
Banyak anak muda tertarik untuk belajar filsafat. Peminat jurusan filsafat di perguruan tinggi pun meningkat. Kini, ilmu filsafat tak lagi dianggap berat.
Dalam mitologi Yunani, Dewa Hermes bertugas sebagai pembawa pesan dari para dewa di Olimpus kepada manusia. Layaknya Hermes, sejumlah anak muda berusaha ”menerjemahkan” filsafat kepada masyarakat. Maklum, filsafat biasanya dianggap sebagai ilmu yang mengawang-ngawang.
Nathanael Pribady (22), mahasiswa Fakultas Teknik Informatika Universitas Multimedia Nusantara (UMN), membuat akun Logos ID di Twitter sejak Februari 2020. Akun ini menjadi tempat untuk berdiskusi dan belajar mengenai filsafat, sosiologi, sejarah, sains, dan budaya populer. Kata logos berasal dari bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan (knowledge).
”Logos ID itu awalnya iseng aja, pengin bikin medsos edukasi yang gampang. Kebetulan aku tertarik filsafat sejak SMP sampai sekarang, terus ingin filsafat membumi. Filsafat itu menarik banget karena seperti kembali ke masa kanak-kanak mempertanyakan sesuatu,” kata Nathanael, ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (26/7/2020).
Jumlah pengikut Logos ID di Twitter bahkan mencapai 87.000 orang. Logos ID pun kini merambah ke Instagram, Facebook, Spotify, dan Apple Podcast serta memiliki situs sendiri. Hingga kini, Logos ID memiliki 35 sukarelawan dari berbagai latar belakang pendidikan untuk mengisi konten setiap minggu.
Samuel Jonathan (23) dan Amadea Svastika (24), lulusan Filsafat dari Universitas Indonesia (UI), turut membentuk Scholé ID pada Mei 2020. Scholé ID merupakan sebuah komunitas yang membahas filsafat, filsuf, dan sejarah secara gratis. Scholé berasal dari bahasa Yunani yang berarti waktu luang (leisure) yang menjadi akar kata school (sekolah).
”Namanya filsafat itu banyak bukunya, tetapi enggak banyak yang bisa kasih pengantar yang baik. Jadi, kami mencoba membuat agar pembelajaran filsafat lebih menyenangkan dan dekat sama publik,” kata Samuel.
Schole ID mengadakan kelas setiap Sabtu melalui Zoom, membedah tesis bersama akademisi setiap Senin atau Rabu di Live Instagram, serta membuat utas atau rangkaian cuitan hampir setiap hari di Twitter. Tak jarang, mereka mengundang narasumber lain, seperti Tiddy Smith dari UI dan Dr A Setyo Wibowo dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.
Konteks keseharian
Dalam diskusi Schole ID dan Logos ID, filsafat kerap dikaitkan dengan konteks keseharian. Dalam salah satu kelasnya, misalnya, Schole ID membedah Stoikisme yang membahas bagaimana manusia hanya perlu fokus pada apa yang bisa dikendalikan dan menerima hal yang di luar kendali.
Di lain kesempatan, Schole ID membuat utas mengenai serial animasi Avatar: The Legend of Aang dan kaitannya terhadap filsafat barat kuno, khususnya Pra-Sokrates dan Stoikisme, atau mengenai filsafat estetika makanan di Twitter. ”Kami berusaha menyinkronkannya dengan apa yang terjadi sehari-hari. Kami berusaha membumikan filsafat dengan cara itu,” ujar Amadea.
Logos ID juga kerap membahas berbagai topik kekinian, seperti bagaimana kepercayaan terhadap teori konspirasi berkaitan dengan mekanisme pertahanan dan bagaimana makna hedonisme tidak terbatas pada kegemaran berbelanja. Yang terbaru, Logos ID juga menyentil anggapan sebagian masyarakat awam bahwa belajar filsafat adalah sesuatu yang haram.
Mayoritas audiens Schole ID dan Logos ID adalah anak muda usia sekolah menengah hingga lulusan kuliah dari banyak daerah. Data yang dikumpulkan Schole ID, sedikitnya berasal dari 15 provinsi, antara lain, Banten, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan, pernah ada peserta dari Jerman dan Australia.
Samuel menambahkan, sebagai produsen konten, Schole ID tidak jarang menerima kritik dari warganet karena dianggap menggampangkan filsafat. ”Tapi daripada ribut, kami pilih untuk tetap ’turun gunung’. Bahasanya memang berat dan kami harus menurunkan tingkat kesulitan agar orang mengerti. Kami masih struggle terkait itu,” katanya.
Sementara itu, Nathanael juga berusaha agar pembahasan filsafat tetap komprehensif meskipun karakter di media sosial cukup terbatas. ”Agar membahasakan topik menjadi lebih sederhana, kami jadi banyak membaca buku. Memang pernah ada tanggapan dari mahasiswa Filsafat bahwa konten kami tidak komprehensif,” tuturnya.
Mengenal semua
Di era revolusi industri 4.0 seperti saat ini, muncul satu pertanyaan mengenai filsafat. Apa, sih, pentingnya belajar filsafat?
Amadea menyebutkan, filsafat membantunya untuk mengenal diri sendiri, sesama, dan alam semesta. Filsafat bisa membantu anak muda berpikir sistematis dan kritis. ”Filsafat itu cara berpikir sebagai laku hidup dan kacamata yang memandang realitas di sekitar kita, sesama, dan lingkungan. Kita bisa tahu sesuatu di balik sesuatu,” tuturnya.
Sementara Nathanael punya pengalaman berbeda. Ketika masih SMP, Nathanael mendapat pertanyaan dari guru filsafat tentang siapa diri mereka. Dengan pengetahuan seadanya, dia hanya menuliskan biodata diri. Gurunya berkomentar, jawaban itu belum tepat karena tidak menjawab kenapa dia ada dunia dan bagaimana dia melihat dunia. Dari situ, ia menyadari mengenal diri sendiri tidak semudah yang dibayangkan.
Menurut Nathanael, filsafat memengaruhi caranya melihat dunia. Filsafat membahas cara berpikir, cara hidup, dan pandangan hidup. ”Apalagi waktu SMP dan SMA itu filsafat juga dikaitkan ke agama, jadi pembahasannya lebih menyeluruh, bahkan bisa diskusi tentang filsuf walaupun pandangan kami beda. Jadi, dengan filsafat saya bisa mengisi otak dan hati,” tuturnya.
Natasha Syahirsah (23), karyawan swasta asal Jambi, gemar mengikuti diskusi filsafat dari Logos ID dan Schole ID. Natasha menyukai filsafat karena membantunya memahami pemikiran tokoh besar dan mengetahui cara bersikap dalam berbagai situasi di hadapan orang yang berbeda.
Apalagi waktu SMP dan SMA itu filsafat juga dikaitkan ke agama, jadi pembahasannya lebih menyeluruh bahkan bisa diskusi tentang filsuf walaupun pandangan kami beda. Jadi, dengan filsafat saya bisa mengisi otak dan hati.
”Belajar filsafat mengasyikkan. Ujungnya, sih, aku bisa lebih mengenal diri sendiri, orang lain, dan kondisi sekitar lebih holistik. Nah, yang aku terapin dari belajar filsafat sekarang Stoikisme supaya tidak mengkhawatirkan hal-hal dalam kehidupan yang di luar kontrol aku supaya enggak terlalu stres,” ujar Natasha.
Pengajar Filsafat Universitas Indonesia, Saraswati Putri, mengatakan, filsafat yang memiliki pendekatan interdisipliner berguna untuk menelisik problem di masa kontemporer. Ini karena filsafat bisa diterjemahkan ke ranah politik, budaya, lingkungan hidup, sosial, dan teknologi.
”Filsafat itu ilmu yang dianggap abstrak, identik dengan metafisika, dan pembicaraan yang mengawang, itu citra yang tidak sepenuhnya betul. Filsafat memiliki pendekatan terkait sistem berpikir yang reflektif, kritis, dan arif,” kata Saraswati.
Di era serba cepat seperti saat ini, tuturnya, kesempatan masyarakat untuk merasakan proses dan memiliki momen untuk berpikir terenggut. Anak muda pun tidak terbiasa untuk melakukan kontemplasi untuk berpikir bijak. Untuk itu, filsafat bisa memberikan mereka waktu berpikir, kesabaran, dan perspektif baru.
Saraswati Putri melanjutkan, minat anak muda untuk belajar filsafat terus bertumbuh dari tahun ketahun. Di zaman dia kuliah, jumlah mahasiswa filsafat hanya 12 orang. Ketika dia menjabat sebagai kepala program studi (kaprodi) di UI, jumlah mahasiswa mendaftar menjadi 40-50 orang per semester.
”Semester depan ada sekitar 60 orang, tetapi kami memang ada kuota karena filsafat itu pendalaman teks, jadi enggak efektif kalau kelas besar. Ruang lingkup kerja lulusan filsafat itu luas, tetapi paling banyak kerja di ruang lingkup jurnalistik, manajer, marketing, perbankan, guru, atau konsultan politik karena dasar filsafat itu interdisipliner dan berpikir logis,” tuturnya.
Saraswati menyebutkan, saat ini, kebanyakan anak muda menyukai hal-hal yang membawa kesenangan di permukaan, seperti Tiktok. Tetapi, di luar itu, ada banyak problem mendasar di masyarakat global, seperti isu rasialisme, dan filsafat berperan penting untuk mengangkat isu itu.
”Di satu sisi kita memang berhadapan dangkalnya relasi sosial yang serba cepat, tetapi di balik kedangkalan itu, masih ada anak muda mencari tahu dan menggali lebih dalam. Anak muda masih ada yang berpikir kritis dan belajar filsafat meskipun bukan jurusan mereka. Niat mereka untuk menjembatani filsafat dengan isu sekarang merupakan bukti kreativitas mereka,” tuturnya.