Membongkar Kasus Penyelundupan Beras
Ketika berada di luar gedung, barulah saya membandingkan antara dokumen yang saya dapat dengan data di Pelindo. Saya terperangah karena data beras yang diimpor berbeda dengan data yang dilaporkan.
Tanjung Priok, Jakarta, pertengahan tahun 2000. Udara di tempat ini sangat panas dan tidak nyaman. Untuk pertama kali saya mendapat penugasan ke pelabuhan, tak lama setelah saya dipindah tugas dari Karawang, Jawa Barat, ke Jakarta. Senior menugasi saya ke tempat ini karena ada tumpukan besi yang tak jelas juntrungannya di salah satu sisi pelabuhan. Tumpukan besi berukuran besar itu sudah lama tidak diangkat.
Inilah awal kisah saya berkenalan dengan pelabuhan yang beberapa tahun kemudian dari tempat inilah saya membuka berbagai kasus penyelundupan. Kala itu, Tanjung Priok yang berada di Jakarta Utara tidak serapi sekarang. Keluar masuk pelabuhan sangat bebas. Orang tak berkepentingan bisa mendekati kapal-kapal di pelabuhan. Macam-macam orang berjualan juga dapat dijumpai di sana, mulai dari rujak sampai jasa penukaran uang di pinggir jalan.
Kedatangan saya saat itu sebenarnya lebih banyak untuk mengenal pelabuhan. Saya memulainya dari fisik pelabuhan, otoritas yang bekerja di tempat itu, hingga mengenal berbagai jenis kapal. Sebenarnya, saya merasa ogah-ogahan ketika di pelabuhan. Selain panas, jaraknya sangat jauh dari pusat kota. Saat itu, saya masih menggunakan angkutan umum dan kadang mengendarai sepeda motor. Melelahkan. Akan tetapi, lama-lama pelabuhan memiliki kisah-kisah yang menarik. Berbagai kasus pun bermunculan di tempat itu.
Baca juga : Bertemu Keluarga Pilot Dakota yang Ditembak Jatuh Belanda
Salah satu kasus di Pelabuhan Tanjung Priok yang saya ungkap adalah penyelundupan beras yang belakangan diketahui melibatkan sejumlah petinggi partai. Penyelundupan ini terjadi tahun 2003, tetapi baru terbongkar September 2004.
Awal terbongkarnya bukanlah dari investigasi yang rumit, melainkan nyaris sebuah kebetulan saja. Akhir Agustus 2004, siang hari seusai melakukan liputan, saya pulang ke kantor di kawasan Palmerah Selatan. Ketika tiba di ruang tamu kantor, saya bertemu dengan salah satu narasumber yang sudah lama sekali tidak berkabar.
Dari obrolan sebentar, ia mengatakan bahwa adiknya yang bertugas di Jakarta Timur mempunyai data penyelundupan beras. Langsung saja saya tertarik dan meminta kontak adiknya tersebut. Beberapa hari kemudian, saya berkomunikasi dengan sang adik. Setelah mengobrol ke sana kemari, akhirnya muncul juga soal penyelundupan beras itu dalam percakapan. Kami pun membuat janji untuk bertemu.
Sekitar sepekan kemudian, suatu malam saya mengunjungi tempatnya bertugas. Sebenarnya ia tidak memegang data, tetapi seorang kenalannya sehingga kemudian ia mengupayakan pertemuan saya dengan kenalan itu. Setelah dikontak, ternyata kenalan tersebut mengatakan, harus mencari dulu data itu karena sudah lama ia tidak memegang berkas-berkas terkait impor beras.
Hari itu, saya tidak mendapat informasi yang berharga. Saya menunggu beberapa hari hingga akhirnya saya dikontak untuk bertemu. Kami pergi ke rumah kenalan itu di Jakarta Timur. Setelah berbasa-basi, saya mulai menanyakan soal data penyelundupan. Ia lalu menunjukkan beberapa lembar data impor beras. Saya langsung terperangah dan yakin memang ada kasus, meski yang diperlihatkan hanyalah data nama kapal, pelabuhan asal, dan jumlah muatan.
Saya merasa yakin bisa mengungkapnya. Meski demikian, malam itu saya lebih banyak menggali data tambahan, seperti perusahaan pengimpor, orang-orang yang terlibat, hingga liku-liku bisnis di pelabuhan. Kenalan kami ini juga bercerita tentang pekerjaannya, yakni mengurus dokumen-dokumen pelabuhan, termasuk beberapa kali diminta mengurus dokumen yang tergolong aneh.
Baca juga : Dalam Kepungan Awan Putih Bukit Barisan
Malam agak larut, saya pun pamit pulang. Saat perjalanan pulang, saya sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa data itu akan mengungkap banyak hal. Data itu sangat berharga meski masih mentah karena tidak bisa langsung membuktikan adanya penyelundupan. Saya tak sabar untuk mengecek silang dengan data pelaporan muatan di pelabuhan Tanjung Priok keesokan harinya.
Pagi harinya, saya ke Pelabuhan Tanjung Priok, tepatnya ke kantor PT Pelindo II. Saat saya hendak memasuki sebuah ruangan, seorang pegawai humas yang sekarang menjadi salah satu general manager salah satu pelabuhan langsung menyapa ketika saya hendak masuk ruangan humas. Dia seperti sudah mengendus maksud kedatangan saya ketika lama saya tak muncul di tempat itu.
”Wah, kalau Mas ke sini pasti ada kasus besar. Ada apa ini?” selorohnya ketika saya masih kepanasan meski sudah masuk ke ruangan berpendingin. Seperti biasa, udara luar pelabuhan sangat terik.
Sebelum kasus ini, saya memang beberapa kali mengungkap beberapa upaya penyelundupan, sepeti gula, jagung, dan BBM sehingga pegawai itu pun hafal.
Saya langsung menyampaikan niat saya mencari data kedatangan kapal-kapal di pelabuhan. Meski yang saya cari adalah data lama dari tahun 2003, ia yakin data itu bisa dicari. Saya langsung menyerahkan nama kapal dan tanggal kedatangannya di pelabuhan, seperti data yang saya dapat sebelumnya. Ia pun langsung mencari data itu di bagian lain.
Saya menunggu di ruang humas. Tak lama kemudian, staf humas ini telah mendapatkan data dan menyerahkan beberapa lembar kertas kepada saya. Ekspresi saya masih datar-datar saja. Saya kemudian pamit. Ketika berada di luar gedung, barulah saya membandingkan antara dokumen yang saya dapat dengan data di Pelindo. Langsung saya terperangah karena data beras yang diimpor berbeda dengan data yang dilaporkan ke Pelindo.
Baca juga : Menggotong Motor Melewati Banjir di Kawasan Hutan
Ada satu kapal bernama MV Song Hang tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada 27 Maret 2003 dengan dokumen bermuatan 5.900 ton beras, tetapi dilaporkan ke otoritas pelabuhan itu hanya 4.400 ton. Kapal lain, MV Boddy Rakhmadi di dalam dokumennya tercantum bermuatan 10.500 ton, tetapi yang dilaporkan hanya 6.500 ton. Masih ada beberapa kapal lain dengan catatan perbedaan data yang sangat jauh.
Hari itu saya langsung membuat berita tentang dugaan penyelundupan tersebut. Sempat terjadi debat di redaksi karena waktu kejadian pada 2003, tetapi baru terungkap pada 2004. Akan tetapi, akhirnya masalah ini tidak menghalangi pemuatan berita tersebut karena memang bukti penyelundupan sangat kuat. Pagi harinya, berita ini dimuat sebagai berita utama di halaman 1 dengan judul, Terungkap, Modus Impor Beras ”Spanyol”.
Tentu saja berita ini membuat panas dingin beberapa pejabat dan juga pengusaha yang terlibat. Kapal-kapal milik perusahaan pelayaran Vinaship dari Vietnam itu membawa beras Vietnam Southern Food Corporation (Vinafood) pada Maret-April 2003 sebanyak 46.500 ton. Akan tetapi, yang dilaporkan ke salah satu otoritas Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, yaitu PT Pelindo II, hanya 29.355 ton atau terdapat selisih 17.145 ton (sekitar 37 persen).
Modus penyelundupan beras ini dikenal dengan istilah ”spanyol” alias separo nyolong meski kemudian istilah ini tidak dipakai lagi karena Kedutaan Spanyol berkeberatan dengan penggunaan istilah itu.
Penyelundupan ini berawal dari pertemuan antara pihak penjual dan pembeli hingga terjadi kontrak. Setelah harga disepakati, penjual kemudian mengirim daftar kapal berikut jumlah muatan, tanggal berangkat kapal, dan tanggal sampai tujuan, serta spesifikasi produk.
Baca juga : Wartawan dan Koleksinya, dari Arbain Rambey sampai PK Ojong
Surat-surat pengiriman beras dibuat dua macam. Satu dokumen asli berisi data volume barang seperti apa adanya. Lainnya berupa dokumen yang berisi data volume beras yang lebih rendah dibandingkan kenyataannya. Dua dokumen itu masing-masing berisi surat pemuatan barang (bill of lading/BL), surat jumlah pembayaran (invoice), dan daftar pengemasan (packing list).
Kedua dokumen itu dikirim kepada pembeli barang di Indonesia, begitu kapal menyelesaikan pemuatan di pelabuhan asal. Dokumen asli digunakan untuk kepentingan pembayaran barang kepada pihak penjual di luar negeri, sedangkan dokumen lainnya digunakan untuk kepentingan pelaporan kepada otoritas Ditjen Bea dan Cukai serta otoritas pelabuhan di Indonesia.
Meski demikian, saya belum mengungkap temuan data lebih lanjut yang makin mencengangkan. Dua hari setelah berita pertama, saya baru membuka data impor beras yang dilaporkan ke Ditjen Bea dan Cukai. Ternyata, angka impor yang dilaporkan ke Ditjen Bea dan Cukai makin kecil lagi.
Angkanya sangat tidak masuk akal karena dari 46.500 ton beras yang diimpor ternyata yang dilaporkan hanya 1.000 ton beras. Artinya, satu kapal hanya memuat sekitar 200 ton beras. Sudah bisa dipastikan tidak ada kapal yang memuat beras sebanyak itu untuk pengiriman antarbangsa.
Setelah tekanan terhadap pemerintah sangat kuat untuk mengungkap kasus ini, Ditjen Bea dan Cukai membentuk tim untuk mengusut kasus tersebut dan melakukan investigasi. Enam orang diperiksa terkait kasus ini. Hingga 10 hari berita soal penyelundupan tersebut muncul di media massa. Demikian pula pada Oktober 2004, masih juga muncul beberapa kali.
Beberapa temuan sempat diumumkan, tetapi kasus ini sempat tidak jelas nasibnya. Bahkan kasus ini nyaris hilang begitu saja. Setelah beberapa lama, kasus ini akhirnya diangkat kembali. Kemungkinan untuk tujuan politik karena pengusutan kasusnya tergolong lama.
Salah satu yang terlibat dalam kasus pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam ini akhirnya divonis penjara 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Agustus 2005 atau hampir setahun setelah kasus beras itu terungkap.
Baca juga : Wartawan ”Kemarin Sore” di Tengah Deraan Krisis Ekonomi
Badan Kehormatan DPR juga sempat meminta keterangan salah satu anggotanya yang di kemudian hari menjadi orang penting. Namun, hasil dari pemeriksaan itu tak memuaskan. Ia bahkan melenggang terus di kancah politik dan sempat menjadi petinggi partai, tetapi tersandung kasus lain yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia pun masuk bui.
Ada satu lagi politisi yang namanya tercantum dalam perjanjian soal beras impor itu. Namanya sempat diungkit dalam pengungkapkan kasus ini, tetapi juga lolos dari jerat hukum. Ia sempat menjadi menteri dan juga tersandung kasus lain hingga masuk bui. Beberapa orang memang dihukum, tetapi bukanlah orang kunci. Para pentolannya tetap melenggang. Beberapa adalah pejabat yang berkuasa saat itu dan tak pernah diperiksa sehingga masih misterius.
Saya sendiri sebenarnya sudah tidak terlalu mengenang kasus ini hingga suatu sore di lift sebuah hotel di San Francisco, Amerika Serikat, tahun 2012. Hampir delapan tahun setelah pengungkapan kasus penyelundupan beras tersebut, terjadi peristiwa yang mengagetkan, namun lucu. Seorang pria keluar dari lift dan langsung menyapa saya yang tengah berdiri di depan pintu lift.
”Lho, Mas, di sini juga. Apa kabar?” katanya sambil menyebut nama saya. Alangkah kagetnya saya, dia mengenali dan tahu nama saya. Saya pun langsung mengingat bapak itu dan kasus penyelundupan beras yang pernah saya ungkap. Dia adalah salah satu pejabat yang berurusan dengan kasus ini. Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu dekat dengan bapak tersebut.
Entah apa yang ada di pikirannya tentang saya hingga sekian tahun kemudian masih mengenali saya, meski kami hanya sekali pernah bertemu dalam makan siang di sebuah restoran di hotel. Itu pun karena saya diajak oleh kenalan saya.
Kami lalu berpisah setelah mengobrol sebentar. Kemudian saya hanya paham bahwa orang-orang dengan memori fotografik yang sangat kuat biasanya bekerja terkait dengan tugas-tugas penting negara. Mungkin dia termasuk bagian dari lembaga penting tersebut. Ah, sudahlah….