Program di bidang pangan jangan menutup mata dari keberlanjutan. Pertimbangkan ulang jika bertentangan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
Dalam perspektif ekonomi hijau pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs, program food estate (lumbung pangan) yang digadang-gadang pemerintah dinilai bertolak belakang dengan cita-cita SDGs. Program tersebut dapat menjadi luka bagi SDGs lantaran memanfaatkan lahan bekas pengembangan gambut. Selain itu, program tersebut menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah pada aspek pemberdayaan dan kesejahteraan petani saat ini.
Pada tahap awal kajian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, ada 164.598 hektar lahan di kawasan bekas pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lahan itu tengah digarap pemerintah untuk program lumbung pangan. Direncanakan, pada Oktober 2020, sekitar 30.000 hektar di antaranya dapat ditanami padi.
Di sisi lain, Indonesia berkomitmen untuk mencapai SDGs pada 2030. Salah satu tujuan global di dalam komitmen itu adalah menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Dalam buku elektronik berjudul Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Konsep Target dan Strategi Implementasi, salah satu titik berat pertanian berkelanjutan adalah proses produksi yang ramah lingkungan.
Akan tetapi, pemanfaatan kawasan bekas lahan pengembangan gambut berpotensi memiliki sejumlah risiko ekologis, misalnya kerusakan berupa penurunan muka gambut dan oksidasi yang menyebabkan pelepasan emisi. Sejumlah pihak menduga, area tersebut merupakan lahan gambut yang dalam (Kompas, 15/7/2020).
Sejumlah pakar mengkritisi program lumbung pangan tersebut pada seminar dalam jaringan (daring) berjudul Menakar Efektivitas Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) Atasi Krisis Pangan yang diadakan Narasi Institute, Kamis (6/8/2020) malam. Mereka adalah Menteri Pertanian periode 2004-2009 Anton Apriyantono, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa, Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Agus Pakpahan, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan, dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Nunung Nuryartono.
Dalam tataran kebijakan nasional, Nunung menilai, program lahan pangan mestinya tak hanya membahas persoalan dari sisi suplai. ”Perlu perhatian pada peningkatan kesejahteraan petani yang merupakan persoalan mendasar (kebijakan pangan nasional),” katanya.
Sebagai program yang telanjur dicanangkan, Agus menyoroti kehadiran riset ilmiah serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian. Mestinya riset ilmiah serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian menjadi langkah awal lantaran risiko kegagalan program tersebut tergolong tinggi.
Dwi mengkhawatirkan pengembangan kawasan lahan bekas pengembangan gambut sebagai lumbung pangan akan gagal. Kegagalan akibat berbagai kaidah ilmiah yang tidak terpenuhi, terutama di bidang pertanian, sebagai landasan program. Kaidah-kaidah ilmiah yang dimaksud Dwi memuat empat pilar pengembangan lahan pangan, terutama padi. Pilar-pilar itu terdiri dari kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur irigasi dan transportasi beserta pemeliharaannya, kelayakan budidaya dan teknologi, serta kelayakan ekonomi dan sosial.
Tanda tanya
Langkah cepat dalam merealisasikan program lumbung pangan itu menimbulkan tanya terhadap keberpihakan pemerintah. ”Apakah program ini mengedepankan (keterlibatan) investor atau pemberdayaan masyarakat, khususnya petani?” kata Fadhil.
Menurut Fadhil, pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui publikasi studi kelayakan yang berorientasi pada harmoni dan keselarasan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Secara sosial, persetujuan dan kesepakatan masyarakat lokal patut dipertimbangkan. Dari sisi ekonomi, kelayakan, nilai, ataupun keadaan sumber daya yang ada saat ini mesti diperhatikan.
Pada aspek lingkungan, studi kelayakan tersebut mesti mencermati imbas dan risiko ekologis yang dapat ditimbulkan beserta skala dampaknya. Oleh karena itu, kaidah studi kelayakan terhadap program lumbung pangan ini mesti selaras dan sejalan dengan paradigma SDGs.
Berdasarkan pilar ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola dalam SDGs, pembangunan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan salah satu aspek yang penting. Aspek ini menargetkan penurunan emisi bertumpu pada sektor kehutanan dan lahan gambut.
Apabila tidak sejalan dengan prinsip SDGs, Fadhil mengimbau pemerintah berbesar hati untuk tidak melanjutkan program lumbung pangan tersebut. ”Alihkan untuk hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat, misalnya perbaikan indeks pertanaman,” katanya.
Jangan dilanjutkan
Sejumlah program serupa pernah dicanangkan pemerintah dan berujung gagal. Misalnya, pada 2008-2010 ada program pengembangan lumbung pangan dan energi di Merauke, Papua, yang dinilai gagal. Berkaca dari kegagalan itu, Anton menilai tidak perlu melanjutkan program lumbung pangan di Kalimantan Tengah.
Anggaran untuk program yang tengah digadang-gadang itu, menurut Anton, sepatutnya dialihkan ke pengembangan pertanian organik, misalnya penyaluran subsidi bagi petani. Dengan demikian, para produsen pangan ini berkesempatan membuat pupuk organik sendiri.
Agus menambahkan, prinsip-prinsip organik sejalan dengan pertanian berkelanjutan. Anggaran dapat direalokasi untuk pengalihan pupuk yang digunakan petani dari yang bersifat kimiawi ke organik.
Sementara, menurut Nunung, pengembangan pertanian dan kebijakan pangan berkelanjutan dapat memenuhi prinsip ekonomi sirkular. ”Biasanya, pengembangan ini berjalan dalam komunitas tingkat mikro. Namun, apabila secara mikro kuat, tingkat makro pun ikut menguat,” katanya.
Nunung menuturkan, prinsip ekonomi sirkular dalam pertanian berkelanjutan berwujud pada penerapan kearifan lokal saat bertani, pemanfaatan produk organik, serta produksi yang minim atau tidak ada sampah. Apabila dibangun secara cermat, terukur, dan tidak terburu-buru, daya tahan pangan nasional akan tersokong.
Intensifikasi pertanian
Anton menilai, secara jangka pendek, anggaran program lumbung pangan difokuskan untuk intensifikasi pertanian, khususnya pada sawah tadah hujan. ”Hal ini lebih jelas karena petani dan sawahnya sudah ada,” katanya.
Senada dengan Anton, Dwi juga menyoroti pentingnya intensifikasi pertanian dengan cara menaikkan indeks pertanian Indonesia sebesar 20-25 persen. Berdasarkan data yang dihimpun, saat ini indeks pertanian nasional berkisar 1,4-1,5 kali sehingga masih memiliki ruang peningkatan.
Opsi-opsi program kebijakan pangan yang berprinsip pada pertanian berkelanjutan masih terbuka. Masih ada pilihan untuk menimbang ulang program lumbung pangan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Salah satu pertimbangan pentingnya yaitu sejalan atau malah berseberangan dengan cita-cita SDGs.