Kedalaman hati dan nasib seseorang tidak bisa diduga. Suatu ketika, sebuah alunan nada udara bebukitan Table Mountain di Cape Town, Afrika Selatan, menyelinap dan digubah jadi siulan lalu direkam Djaduk Ferianto.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·4 menit baca
Kedalaman hati dan nasib seseorang tidak bisa diduga. Suatu ketika, sebuah alunan nada udara bebukitan Table Mountain di Cape Town, Afrika Selatan, menyelinap dan digubah jadi siulan lalu direkam Djaduk Ferianto (1964-2019). Ternyata ini melodi pamitannya menjelang berpulang pada 13 November 2019.
Kakaknya, Butet Kartaradjasa, mengisahkan itu pada pembukaan Yogya Annual Arts #5 di Sangkring Art Space, Yogyakarta, Senin (3/8/2020). Hadir pula Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi membuka acara berisikan pameran lukisan karya 75 perupa serta 20 karya fotografi terakhir Djaduk berlatar Johannesburg dan Cape Town, Afrika Selatan.
”Kami berkunjung ke Afrika Selatan untuk merencanakan pementasan musik jazz di Cape Town. Ini sebuah diplomasi budaya,” tutur Butet, ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (6/8/2020). Butet bersama Djaduk berada di Afrika Selatan pada 29 September hingga awal Oktober 2019. Jazz di Cape Town sedianya digelar pada Maret 2020.
Selain mencari inspirasi musik jazz, Djaduk menghubungi beberapa vokalis dan para pemain perkusi asal Afrika Selatan. Mereka, menurut rencana, akan didatangkan ke Yogyakarta untuk berlatih bersama tim Djaduk. Namun, kepergian Djaduk membuyarkan rangkaian diplomasi budaya ini.
Rekaman siulan Djaduk saat mendaki Table Mountain sudah diaransemen Kua Etnika. Musiknya diperdengarkan saat peringatan 100 hari Djaduk meninggal.
Untuk karya-karya fotografi Djaduk, ditangani Darwis Triyadi. Fotografer yang juga karib Djaduk ini mengedit dan mencetak rangkaian foto hasil jepretan kamera Djaduk selama di Johannesburg dan Cape Town.
Selain figur orang-orang dan bentang alam, ada pula foto bergambar Djaduk sedang berdiri di ketinggian bukit. Djaduk memandang ke bawah. Dari ketinggian bebatuan di Table Mountain itu terhampar kepadatan kota Cape Town dengan pantainya yang indah.
”Saya yang mengambil foto itu. Waktu itu tidak ada lagi orang lain selain saya di situ,” ujar Butet.
Di sela peristiwa itulah, Butet menangkap kegirangan Djaduk. Dari atas kota Cape Town, Djaduk menemukan inspirasi komposisi musik untuk festival jazz nantinya.
Hibriditas
Fotografi karya Djaduk dihadirkan sebagai pameran kehormatan untuk Yogya Annual Art #5 (YAA#5) di Sangkring Art Space. Selain itu, sekitar 80 lukisan karya 75 perupa dikemas dalam tema Hybridity atau Hibriditas, yang berlangsung pada 4 Agustus-4 November 2020.
Darwis Triyadi mengurasi karya-karya fotografi Djaduk, yang disebut Butet sebagai bentuk visual musik Djaduk. Bentuk lain dari melodi pamitan Djaduk.
Darwis memilih tampilan figur seorang gadis Afrika Selatan yang tersenyum manis. Kemudian foto lain sebuah kerumunan orang. Ada pula kerumunan di Waterfront, Cape Town, yang dijepret di balik patung.
Karya-karya Djaduk diberi judul dengan merujuk lokasi pengambilan gambar.
Sebanyak enam foto lainnya diberi judul ”Table Mountain” (1-6). Obyek utama berupa bentang alam yang dilihat dari ketinggian bebukitan di pinggir laut.
Dari ketinggian itu, seperti ada ruang kehidupan terpisah antara dunia atas dan dunia bawah. Dalam pewayangan, seperti penggambaran kahyangan dan dunia manusia. Djaduk dijepret Butet di Table Mountain seperti tokoh Sang Hyang Wenang, pemimpin kahyangan yang sedang menatap dunia bawah, dunia manusia.
Foto lain yang dipamerkan ialah mobil-mobil tua dalam bingkai foto dengan judul, ”Hartbeespoort” (1-3). Mungkin di benak Djaduk ingin bertutur tentang mobil-mobil tua antik tentu menyimpan kenangan panjang. Dari Johannesburg Square, tidak ketinggalan Djaduk mengabadikan patung Nelson Mandela.
Ada kompleksitas narasi disajikan Djaduk. Darwis Triyadi dalam catatan kuratorialnya menyebutkan, foto-foto Djaduk bukan sekadar melihat obyek visual. Djaduk melihat dengan pandangan yang dalam tanpa bicara teknik. ”Sebab, foto adalah ungkapan rasa,” tulis Darwis.
Percampuran dan perbenturan
Hybridity atau Hibriditas sebagai tema pameran YAA#5 ditilik sebagai ruang percampuran dan perbenturan semua hal yang mengandung keberbedaan. Ini direfleksikan dari konteks hidup berbangsa terkini.
Kurator pameran YAA#5, Kris Budiman, menyebutkan, hibriditas merupakan kondisi yang melampaui sekadar plural atau majemuk. Bahkan, hibriditas ingin menenggelamkan jargon sinkretik yang mendikotomikan antara hal kemurnian dan ketidakmurnian.
”Kondisi hidup berbangsa kita sudah hibrid atau hibrida, oplosan atau bercampur baur,” ujar Kris, yang juga seorang dosen sastra, kritikus seni, dan penulis semiotika visual.
Di dalam hibriditas tidak ada ruang untuk pencarian atau pendeklarasian soal otentisitas. Apalagi pencanangan kemahabenaran akan suatu hal. Hibriditas adalah paradigma baru yang menumbukkan diri pada realitas terbangun dari percampuran dan perbenturan.
Di dalam pameran YAA#5, karya para perupa lintas generasi disuguhkan dalam ragam wacana. Seperti lukisan karya Bagong Kussudiardja berupa tiga perempuan sedang hamil, yang diberi judul, ”Malas KB” (1997).
Ada pula lukisan Djoko Pekik dengan judul ”Affandi dan Anaknya Kartika” (2020). Sementara Yuswantoro Adi menghadirkan lukisannya, ”Nikmatnya (Indonesia Indah) Apalagi yang Engkau Dustakan” (2020), dan Anggar Prasetyo menampilkan lukisannya, ”Rumit di Dalam Sulit Terurai” (2020).
Perupa dan pengelola Sangkring Art Space, Putu Sutawijaya, yang pertama kali mengusulkan tema Hybridityini. ”Hibriditas sudah tidak memungkinkan lagi untuk diurai. Tidak memungkinkan lagi untuk dicari mana yang otentik,” ujarnya.
Melalui karya-karya seputar tokoh sentral Garudeya, Putu mengetengahkan simbolisme hibriditas. Tokoh Garudeya inspirasi Garuda sebagai lambang negara. Di situ termaktub kebinekaan atau hibriditas.
”Setiap orang Indonesia harus menjadi Garudeya. Garudeya itu cara mencintai Indonesia,” ucap Putu.
Putu dan para perupa lain dengan kentalnya menyuguhkan semiotika visual.
Relevansinya dengan konteks kekinian pasti ada, terutama di masa menjelang peralihan kekuasaan atau pemilu. Pada masa itu, hibriditas bakal menjadi melodi pamitan pula.