Pagi di Nagasaki, 75 Tahun Silam
Bom Hiroshima dan Nagasaki 75 tahun silam menjadi catatan kelam sekaligus penderitaan kemanusiaan. Peristiwa ini menjadi penanda akhir Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya. Pelajaran penting bagi dunia.
Kamis, 9 Agustus 1945. Distrik Urakami bersiap menyambut pagi dengan segala rutinitasnya. Asap pabrik mulai mengepul, sementara keluarga yang tinggal di perbukitan mulai menyiapkan sarapan sebelum memulai aktivitas. Tidak ada pertanda apa pun, pagi itu semua kegiatan berjalan seperti biasa, sebelum daerah tersebut luluh lantak pada pukul 11.02, menjelang tengah hari.
Distrik Urakami merupakan wilayah utara dari Prefektur Nagasaki. Ketika Perang Pasifik berkecamuk, masyarakat di daerah ini telah terbiasa dengan lalu lalang pesawat terbang dengan berbagai tujuan. Satu-dua menaruh kewaspadaan, sementara sisanya tetap beraktivitas seperti biasa sembari sesekali menyaksikan pesawat terbang yang tiba-tiba melintas.
Setiap pagi, penduduk memulai aktivitas seperti biasa. Anak-anak belajar di bangku sekolah, kegiatan di universitas juga dimulai tepat pukul delapan pagi. Bertempur dan belajar, itulah semboyan yang akrab dengan para mahasiswa saat itu karena kelas kerap kali digunakan sebagai lokasi perawatan darurat.
Delapan kilometer dari Urakami, tepatnya di sekitar desa Oyama, para pemuda juga sibuk menggembala sapi. Kabar baiknya, kebun stroberi mulai memasuki waktu panen yang disambut gembira penduduk di desa itu.
Kegembiraan juga terpancar dari sekolah Ogukara, tujuh kilometer dari Urakami. Pemandangan langit pelabuhan terpampang dengan indah berbalut hamparan gunung yang menjulang. Pemandangan itu kerap menjadi suguhan yang memanjakan mata bagi para tenaga pengajar atau bagi siapa pun yang berada di lingkungan sekolah.
Baca juga : 75 Tahun Bom Hiroshima, Peringatan atas ”Kengerian Tak Terucapkan”
Perang Pasifik
Hampir seluruh aktivitas penduduk di Urakami berjalan lancar sepanjang awal Agustus 1945. Saat itu, Jepang tengah memasuki musim panas. Cuaca panas yang menyelimuti Jepang juga berbanding lurus dengan suasana Perang Pasifik yang tengah berkecamuk.
Ketegangan antara Jepang dan Amerika Serikat memasuki fase klimaks seiring hadirnya pesawat pengebom B-29 pada tahun 1944. Saat itu, Amerika Serikat mulai menggunakan pesawat ini untuk membombardir Jepang secara bertahap.
Pada 6 Agustus 1945, pesawat ini digunakan untuk meluluhlantakkan Hiroshima. Bom atom dinilai menjadi cara yang tepat untuk mengakhiri Perang Pasifik oleh Amerika Serikat saat itu.
Hiroshima dipilih sebagai target karena menjadi lokasi berkumpulnya para tentara Jepang. Selain itu, Hiroshima juga memiliki pelabuhan dan industri penting sehingga dinilai tepat oleh Amerika Serikat untuk dihancurkan.
Namun, tidak demikian dengan Nagasaki, tepatnya Distrik Urakami yang menjadi titik nol ledakan bom atom. Meski sempat menjadi satu dari 17 calon wilayah yang menjadi sasaran pengeboman, wilayah ini kemudian dicoret karena kondisi alam yang berbukit. Pada Mei 1945, Nagasaki sama sekali tidak termasuk ke dalam daftar target pengeboman. Saat itu, target diarahkan ke Kyoto, Hiroshima, dan Kukora.
Kokura akhirnya dipilih sebagai lokasi target. Dari sisi militer, daerah ini dinilai sebagai sasaran yang tepat karena memiliki gudang senjata militer.
Seusai misi Hiroshima terlaksana, persiapan telah dilakukan secara matang untuk melanjutkan misi berikutnya, yakni menghancurkan Kukora seiring sikap Jepang yang tak kunjung menyerah dalam perang.
Tepat 75 tahun silam, pukul 08.09 pagi, pesawat pengebom B-29 Superfortress ”Bockscar” mulai terbang dan menyusup di langit Kokura. Pesawat ini dipiloti Charles W Sweeney dan mengangkut bom atom yang bernama Fat Man dengan panjang sekitar 3,5 meter dan berdiameter 1,5 meter.
Dalam buku The Impact of the A-bomb: Hiroshima and Nagasaki, 1945-85 (1985) disebutkan, Fat Man lebih besar dibandingkan dengan Little Boy, bom yang menghancurkan Hiroshima tiga hari sebelumnya dengan panjang 3 meter dan diameter 0,7 meter. Fat Man juga lebih berat dibandingkan Little Boy, yakni 4,5 ton berbanding 4 ton. Kandungan dalam bom pun juga berbeda. Jika di dalam Little Boy terdapat kandungan uranium-235 dengan daya ledak 12,5 kiloton, Fat Man mengandung plutonium-239 dengan daya ledak yang lebih besar, yakni 22 kiloton.
Baca juga : Penantian ”Hibakusha” atas Dunia Bebas Senjata Nuklir
Misi berubah
Namun, misi untuk meluluhlantakkan Kokura gagal dilakukan. Kermit Beahan, seorang ahli teknik pengeboman saat itu, tak kunjung melihat pabrik senjata yang menjadi target karena ditutupi oleh kabut asap tebal.
Setelah tiga kali berputar di langit Kokura, pesawat tersebut akhirnya diarahkan untuk meninggalkan wilayah itu demi menghindari serangan dari bawah. Namun, hambatan berikutnya muncul karena bahan bakar pesawat yang semakin menipis. Akhirnya, bom atom diputuskan untuk dijatuhkan di Nagasaki sesuai lintasan terbang dan kecukupan bahan bakar. Misi berubah.
Bom meledak sekitar ketinggian 500 meter di atas Matsuyama, pusat Distrik Urukami di Kota Nagasaki pukul 11.02 waktu setempat. Energi yang dihasilkan setara dengan angin berkecepatan 2 kilometer per detik. Gelombang panas hampir 5.000 derajat celsius juga membakar daerah sekitar pusat ledakan.
Sebanyak 30.000 orang diperkirakan tewas seketika akibat peristiwa itu. Sementara itu, penduduk yang masih hidup harus bertahan di tengah luka bakar ataupun penyakit lainnya yang ditimbulkan akibat radiasi.
Secara keseluruhan, sebanyak 73.884 orang meninggal di Nagasaki. Sementara korban luka mencapai 74.909 orang. Peristiwa ini juga mengakibatkan 11.574 rumah terbakar habis, 5.509 rumah rusak berat, dan 50.000 rumah rusak sebagian.
Takashi Nagai, saksi ledakan bom sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Nagasaki saat itu, dalam The Bells of Nagasaki (1984), menuliskan, akibat bom tersebut, tanah dan debu yang disedot ruang hampa udara di pusat ledakan menghalangi sinar matahari. Akibatnya, siang itu menjadi gelap seperti saat gerhana.
Dalam kondisi seperti itu, banyak orang yang selamat tidak lagi memiliki pakaian akibat terbakar. Mereka kemudian mencoba untuk mencari pertolongan medis. Sementara korban yang berjatuhan dalam kondisi kulit terkelupas akibat dampak dari radiasi yang ditimbulkan oleh bom atom.
”Sekelompok orang bertelanjang berkerumun di sekitar kami, semuanya berteriak. Entah bagaimana, orang-orang ini selamat, sementara yang lainnya diterbangkan ke mana-mana oleh angin ledakan bom atom itu,” kenang Nagai.
Memperoleh pengobatan di tengah situasi saat itu ibarat mencari jarum dalam jerami. Sebab, tenaga kesehatan juga turut terdampak luka akibat hantaman bom atom. Namun, sejumlah klinik tetap melayani pengobatan dengan sisa tenaga dan peralatan medis yang dimiliki.
Hingga tengah malam, Nagasaki masih dalam kondisi mencekam. Kobaran api masih melahap bangunan silih berganti. Nyaris tidak ada sisa kehidupan di sekitar pusat ledakan. ”Di daerah-daerah permukiman, hanya tangga batu yang masih kelihatan berdiri,” tulis Nagai yang menggambarkan raut ketegangan orang-orang yang menjalani sisa kehidupan di tengah ancaman radiasi.
Baca juga : Mimpi 75 Tahun Pasca-Hiroshima
Dampak
Sebelum bom meledak di Nagasaki, peneliti di wilayah ini sempat melakukan penelitian tentang dampak radiasi ledakan nuklir terhadap makhluk hidup. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa butuh waktu beberapa saat hingga radiasi berdampak pada tubuh manusia.
Dampak perlahan juga dirasakan oleh penduduk di sekitar lokasi jatuhnya bom atom. Bagi korban selamat, rasa mual mulai dirasakan sekitar 3 jam setelah terpapar radiasi. Kehancuran alat pencernaan juga dialami dan menyebabkan kematian secara perlahan bagi korban yang sempat selamat.
Pada minggu kedua, pendarahan pada bagian tubuh juga dialami oleh sebagian orang dan menyebabkan kematian. Dampak kesehatan tidak hanya dialami oleh penduduk yang berada di lokasi saat bom dijatuhkan. Bagi orang yang melalui daerah Urakami 10 hari setelah ledakan, rasa mual masih dirasakan. Inilah fakta yang menjelaskan tingginya penambahan angka kematian akibat bom atom dibandingkan dengan jumlah korban yang tewas seketika.
Bom atom di Nagasaki pada satu sisi telah mengakhiri kecamuk Perang Pasifik atau yang juga disebut Perang Asia Timur Raya. Perang ini sekaligus mengakhiri praktik imperialisme modern saat itu.
Namun, dampak yang ditimbulkan dari sisi kemanusiaan juga begitu memilukan. Tanpa aba-aba, anak-anak dan penduduk tidak berdosa turut menjadi korban. Suatu ketika setelah tragedi itu, penduduk Nagasaki pernah berdoa, ”Semoga Nagasaki menjadi yang pertama, satu-satunya, dan terakhir yang menderita karena bom atom dalam sejarah umat manusia.” Semoga. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?