Pandemi dan Peluang Menurunkan Emisi
Sejak diberlakukan baku mutu emisi tahun 2017, standar emisi di Indonesia naik dari EURO 2 menjadi Euro 4.
Standar Euro adalah standar emisi dari Eropa yang mengatur ambang batas yang diperbolehkan pada kendaraan bermotor baru. Penerapan Euro 4 di Indonesia ini turut dilatarbelakangi oleh komitmennya di G-20 Pittsburg, Amerika Serikat, pada 25 September 2009.
Saat itu, Indonesia hendak menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen pada tahun 2020 dengan usaha sendiri dan dapat meningkat menjadi 41 persen dengan dukungan internasional.
Tidak hanya itu, komitmen ini bahkan direvisi ketika forum COP21-United Nations Framework Convention on Climate Change (UFCCC) di Paris, Perancis, pada 12 Desember 2015.
Penurunan emisi GRK menjadi 29 persen dengan kekuatan sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Satu tahun kemudian turut dibuat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 untuk mengesahkan hasil forum tersebut.
Semakin tinggi Euro, semakin minim produksi emisi gas buangnya. Saat ini, Euro 6 menjadi standar emisi tertinggi yang berlaku sejak 2014.
Jika membandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia sebenarnya terlambat dalam meningkatkan standar emisi kendaraan bermotor. Sebab, di tahun 2018 ketika Indonesia mulai menerapkan Euro 4, negara lain bahkan sudah menerapkan standar yang lebih tinggi. Seperti China dengan Euro 5, Singapura dan Turki dengan Euro 6.
Baca juga : Standar Emisi Euro 4 Berlaku Tahun 2018
Sumber emisi
Setiap negara memiliki komposisi sumber produksi emisi karbon yang berbeda. Di Indonesia, sejak beberapa dekade lalu sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari total emisi karbon 594.992 Gg CO₂ di tahun 2005, kontribusi dari sektor ini 63,4 persen.
Begitu juga tahun 2017, dari total emisi 856.162 Gg CO₂e, sebesar 65,3 persen berasal dari sektor energi. Kedua total emisi itu di luar kebakaran gambut dan konversi lahan hutan.
Industri energi menjadi subsektor yang dengan kontribusi emisi terbesar di sektor energi sebesar 46,2 persen. Hal ini terlihat dari bahan baku mayoritas sumber listrik yang dihasilkan di negara ini.
Menurut statistik PLN, tahun 2018 total energi yang diproduksi di Indonesia sebesar 267,1 ribu GWh. Angka ini berasal dari produksi sendiri dan sewa genset 188,7 ribu GWh serta sisanya dari pembelian dan proyek.
Dari total listrik yang diproduksi PLN itu, sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil. Sebesar 174,4 ribu GWh atau 92,4 persen dari total energi masih tergantung penggunaan bahan bakar ini.
Energi terbesar berasal dari pembangkit berbahan bakar batubara 63,1 persen, kemudian disusul gas alam 29,5 persen, high speed diesel (HSD) 5,3 persen, dan marine full oil (MFO) 1,4 persen. Setelah industri energi, emisi terbesar kedua berasal dari moda transportasi bermotor sebesar 147.230 Gg CO₂ atau 26,3 persen.
Baca juga : Benarkah Bumi Tengah Memulihkan Diri di Tengah Pandemi?
Akibat emisi
Diketahui bahwa emisi gas buang dari kendaraan bermotor tidak hanya terdiri dari karbon dioksida (CO₂), tetapi juga air (H₂O), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan hidrokarbon (HC). Selain sebagai penyumbang gas rumah kaca penyebab pemanasan global, sebagian gas buang seperti CO dan termasuk senyawa beracun.
Sejumlah penelitian menunjukkan, keracunan gas CO ditandai dengan pusing, sakit kepala, dan mual. Dalam kondisi lebih berat, gas CO dapat menyebabkan penurunan kemampuan gerak tubuh, gangguan sistem kardiovaskuler, dan serangan jantung.
Begitu juga yang dapat memicu gangguan sistem pernapasan. Mengingat bahayanya senyawa kimia itu, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan.
Terakhir yaitu Permen Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Kendaraan bermotor untuk angkutan penumpang (M), untuk angkutan barang (N), dan kendaraan penarik untuk gandengan (O).
Baca juga : Dukungan Masyarakat dan Kebijakan yang Stabil Jadi Kunci Keberhasilan
Kendaraan pribadi
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2010 jumlah mobil penumpang di Indonesia sebanyak 8,9 juta unit dan meningkat 192,6 persen dibandingkan 10 tahun yang lalu.
Peningkatan itu belum seberapa dibandingkan dengan sepeda motor yang tahun 2010 telah mencapai 61,1 juta unit. Angka ini bertambah hingga 350,3 persen dibandingkan pada tahun 2000. Kenaikan jumlah dua moda kendaraan bermotor ini bahkan jauh lebih besar daripada pertumbuhan penduduk Indonesia.
Di rentang tahun yang sama, pertumbuhan penduduk di Indonesia hanya 15,2 persen. Pertumbuhan yang tidak seimbang ini membuat persentase penduduk yang memiliki akses pada kendaraan pribadi bermotor semakin besar.
Pengaruhnya, ketika hendak bermobilitas, semakin banyak pula penduduk yang memiliki dua pilihan moda, baik transportasi pribadi maupun transportasi umum. Namun, sayang, di antara keduanya, transportasi pribadi cenderung menjadi pilihan utama.
Fenomena ini terlihat dari survei komuter BPS di sejumlah kawasan. Salah satunya survei di Jabodetabek tahun 2019 yang menunjukkan 27,2 persen komuter menggunakan transportasi umum.
Ada juga survei di Medan-Binjai-Deli Serdang (Mebidang) di tahun yang sama dengan 21,5 persen komuter transportasi umum. Bahkan survei di Gresik–Bangkalan–Mojokerto–Surabaya–Sidoarjo–Lamongan (Gerbangkertosusila) tahun 2017 hanya ada 6,2 persen komuter dengan moda ini.
Baca juga : Ganjil Genap Tak Selesaikan Masalah Tingginya Mobilitas Warga Saat PSBB Transisi
Masa karantina
Bagai oase di tengah kering padang gurun, kabar baik muncul ketika pandemi Covid-19. Kabar itu muncul dari penurunan produksi emisi karbon selama pandemi berkat kebijakan karantina wilayah di sejumlah negara.
Secara global, emisi CO₂ harian di awal April 2020 terpantau turun hingga 17 persen dibandingkan rata-rata tahun 2019. Kondisi ini pun kelak akan menurunkan akumulasi emisi tahunan, tergantung durasi karantinanya.
Dalam tulisan Temporary reduction in daily global CO₂ emission during the COVID-19 forced confinement (Corinne Le Q. dkk, 2020) diperkirakan, produksi emisi tahun 2020 akan turun 4 persen jika karantina berakhir pada pertengahan Juni. Sementara jika masih berlangsung hingga akhir 2020, emisi akan turun lebih banyak, yaitu hingga 7 persen.
Penurunan emisi karbon ini penting guna mengurangi risiko perubahan iklim. Risiko itu adalah naiknya permukaan dan suhu air laut serta meningkatnya intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem.
Lonjakan baru
Namun, saat karantina wilayah usai, aktivitas warga global berangsur-angur normal kembali. Sama halnya yang terjadi di Indonesia, hingga akhir April 2020 tercatat ada dua provinsi dan 22 kabupaten kota yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Setelah pembatasan sosial itu usai 4 Juni 2020, warga mulai memasuki era adaptasi kebiasaan baru atau yang dulu disebut normal baru. Sejumlah ruang publik, seperti tempat ibadah, tempat kerja, tempat usaha, dan tempat sosial budaya, dibuka lagi.
Meski masih diberlakukan secara bertahap, sejak saat itu kebijakan bekerja di rumah usai dan tidak sedikit warga mulai beraktivitas di luar rumah. Rutinitas ini kembali mendorong warga untuk bermobilitas menuju ke dan pulang dari tempat berkegiatan.
Untuk mengakomodasi aktivitas itu, warga kembali disodorkan dua pilihan moda transportasi. Namun, tidak seperti kondisi normal, di tengah masa pandemi yang belum usai tidak sedikit warga justru beralih dari transportasi umum ke transportasi pribadi.
Ini selaras dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada akhir Juni lalu, yaitu pola itu turut dilakukan oleh 11,7 persen dari 522 responden. Jika terus belangsung dan menjadi kebiasaan baru warga, sudah dapat dipastikan produksi emisi karbon akan kembali melonjak tinggi.
Makna Euro 4
Gambaran yang ada menunjukkan, standar baku emisi Euro 4 hanya akan bermakna jika terjadi pengurangan produksi emisi jika diikuti menurunnya pemakaian kendaraan pribadi. Contohnya batas ambang emisi CO untuk mobil penumpang bahan bakar.
Emisi bensin maksimal hanya diperbolehkan 1,0 gram per kilometer sehingga jika mobil itu diisi penuh hingga enam penumpang, setiap orang hanya berkontribusi 0,16 gram per kilometer.
Berbeda jika menggunakan transportasi umum. Contohnya bus Transjakarta dengan kapasitas 40 penumpang duduk, batas emisi CO pada standar Euro 4 sebesar 0,223 gram per kilometer.
Jika semua bangku terisi, setiap penumpang hanya memproduksi 0,005 gram per kilometer. Dengan jumlah emisi CO sebesar itu, artinya betapa besar produksi emisi yang dapat dikurangi.
Meski demikian, contoh di atas merupakan kondisi yang ideal, di mana mesin dari setiap kendaraan pribadi dalam kondisi prima dan dapat memenuhi batas emisi yang telah ditentukan.
Namun, nyatanya, kondisi ini terbalik di lapangan. Terlebih lagi, tidak sedikit mobil pribadi penumpang hanya diisi satu hingga dua orang sehingga produksi emisi dari kendaraan pribadi lebih besar lagi.
Meski demikian, tidak ada kata terlambat jika kesadaran hadir di setiap individu warga. Idealnya, tren penggunaan transportasi pribadi tak lagi menjadi kebiasaan baru yang permanen.
Kekhawatiran warga pada sisi lain menjadi kewaspadaan baru ketika menggunakan transportasi umum, tetapi bukan keengganan menggunakannya kembali.
Sebab, selain Covid-19, kesehatan Bumi selama pandemi juga harus tetap dijaga sehingga potensi bencana yang lebih besar dapat diminimalkan. (LITBANG KOMPAS)