Saat Keadilan Bukan Hak Semua
Keadilan sebagai hak semua orang selalu dikumandangkan para politisi dan pemimpin di berbagai negeri. Jargon yang menjual mimpi nyatanya masih laku menjadi iming-iming.
Keadilan sebagai hak semua orang selalu dikumandangkan para politisi dan pemimpin di berbagai negeri. Jargon yang menjual mimpi nyatanya masih laku menjadi iming-iming.
Namun, keadilan dan manisnya kemakmuran kadang hanya boleh dicecap golongan tertentu. Bernard Garrett, seorang pemuda kulit hitam asal Willis, Texas, Amerika Serikat, berupaya mendobrak ketidakadilan itu pada era 1960-an.
Lewat film The Banker yang diadaptasi dari kisah nyata dan diputar melalui Apple TV pada 6 Maret 2020 ini, sosok Garrett dihidupkan oleh aktor Anthony Mackie yang sebelumnya dikenal lewat peran Falcon dalam jagat sinematik Marvel.
Garrett tidak sendiri dalam upayanya. Ia dibantu seorang pengusaha kulit hitam, Joe Morris, yang dimainkan Samuel L. Jackson. Merujuk pada judulnya, cerita yang disuguhkan tentu terkait dunia perbankan meski benang merah dan pesan yang disampaikan cukup terang, yakni mengenai persoalan rasisme yang tak pernah selesai.
Lahir sebagai kulit hitam di Amerika pada masa itu, seolah memasrahkan diri untuk dipinggirkan dan harus rela kehilangan hak dasar. Sulit bermimpi memiliki hidup layak mengingat akses untuk pendidikan sangat dibatasi. Lingkungan tinggal diatur di kantong-kantong padat dengan sarana yang tidak memadai. Pekerjaan kerah putih pun tabu diperoleh.
Gelisah dengan keadaan ini, Garrett memutuskan pindah ke Los Angeles, California, dan mencoba peruntungannya dengan berbekal kebrilianannya dalam ilmu matematika dan pemahaman ekonomi. Tujuan awalnya adalah menyediakan perumahan yang layak untuk penduduk kulit hitam.
Usahanya berhasil bahkan mampu menggusur sebagian orang kulit putih dari lahan sewanya sehingga terjadi pembauran dalam lingkungan. Bersama Morris, ia bahkan mampu membeli Gedung The Banker yang merupakan gedung tertinggi di Los Angeles pada 1961. Setidaknya ada 177 gedung yang dimiliki keduanya pada era tersebut.
Namun, kegemilangan bisnis properti ini harus disamarkan atas nama orang kulit putih agar lancar sehingga mereka pun memasang seorang pekerja pabrik, Matt Steiner, untuk duduk sebagai pemilik. ”Dia bekerja dalam bayang-bayang karena memang harus seperti itu. Dia mengincar harta dan kemakmuran yang tak pernah tersedia bagi para orang kulit hitam,” ujar sejarawan dari University of Tennessee, Brandon Winford.
Mampu menguasai sektor properti dirasanya belum cukup. Ia pun merasa harus memiliki bank yang bersedia meminjamkan uang kepada para orang kulit hitam agar dapat meningkatkan taraf hidup. Mainland Bank di kota kelahirannya di Texas dipilih untuk dibelinya dengan tetap bertameng nama orang kulit putih. Banyak warga kulit hitam di kampung halamannya yang akhirnya terbantu memiliki rumah atau menjalankan usaha dari pinjaman bank yang dimilikinya ini.
Persoalan sulitnya pinjaman untuk perumahan dan usaha kecil bagi orang kulit hitam ini terjadi sejak 1910-an. Salah satu yang cukup buruk terjadi di Texas yang merupakan salah satu negara bagian di selatan Amerika.
Berdasarkan catatan sejarah Amerika, lanskap politik di kawasan selatan Amerika pada era 1960-an masih didominasi Partai Demokrat yang memegang teguh Jim Crow Laws sebagai landasan segregasi rasial. Sebutan saat itu bagi golongan ini di selatan adalah Dixiecrats.
Simbol kejayaan Dixiecrats digambarkan dalam film ini lewat bendera penanda yang terpasang di sebuah rumah mewah saat Garrett mengajak anaknya berjalan di Willis, Texas. Ada juga pemisahan keran air minum untuk kulit putih dan kulit hitam, serta tukang semir sepatu yang hanya boleh melayani warga kulit putih.
Golongan ini juga vokal menolak Undang-Undang Hak Sipil. Salah seorang senator yang kerap bersuara tentang penolakan adalah John McClelland yang muncul dalam film ini melawan Garrett. Menurut McClelland, bisnis perbankan yang dilakukan Garrett merupakan fraud dan bagian dari korupsi.
McClelland memang dikenal dengan semangat antikorupsi, tetapi ia lupa antikorupsi merupakan bagian dari hak sipil dan kesetaraan yang tak bisa dipisahkan. Penyidikan yang diinisiasinya bagi Garrett juga lekat dengan kepentingan politis. Salah satunya untuk mempertahankan suara Demokrat di wilayah selatan yang sempat guncang saat Presiden Harry Truman dari Demokrat justru pro pada hak sipil dan orang kulit hitam. Truman pun kemudian diisukan korupsi.
Presiden Lyndon B Johnson, yang juga merupakan kader Demokrat, akhirnya mengesahkan UU Hak Sipil pada 1964. Disusul dengan UU Hak Pilih 1965 dan UU Perumahan 1968 yang menjamin hak bagi warga kulit hitam. Ini tak bisa dilepaskan dari perjuangan Garrett dan Morris yang dilakukan sebelum UU perumahan akhirnya disahkan.
Namun, langkah visioner Johnson harus dibayar dengan kehilangan lumbung suara bagi Demokrat. Saat itu dikenal istilah ”Solid South Democrat”. Kekokohan itu retak dengan beralihnya sebagian Dixiecrats dan para pemilih di wilayah selatan ke Partai Republik hingga saat ini.
Akan tetapi, hak-hak untuk warga kulit hitam kini pun tak sepenuhnya diperoleh meski dijamin regulasi. Mengutip dari The Washington Post, krisis perumahan untuk warga kulit hitam semakin parah terjadi pada 2008 di masa Presiden George W Bush dari Partai Republik.
Film besutan sutradara George Nolfi ini dapat menjadi cermin bahwa kepentingan politik kerap menyetir keadilan dan lahirnya berbagai kebijakan yang ada kalanya tak berpihak pada yang mereka terpinggirkan. Kriminalisasi pun rentan terjadi pada pihak yang tak sejalan dengan kebutuhan politik.
Dalam konteks film ini, isu rasisme dan keistimewaan orang kulit putih yang diperlihatkan mengobrak-abrik makna keadilan. Pengaruh politik dalam sendi kehidupan pun tak jauh berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia, golongan yang mendapat keistimewaan ini bisa berkaitan dengan oligarki, pemilik kapital, dan pemegang kekuasaan politik.
Apa yang dirasakan Garrett agaknya juga dirasakan di sini dalam bingkai berbeda.