Koalisi masyarakat sipil, besok Senin, akan menyomasi DPR terkait RUU Cipta Kerja. Selain dianggap tertutup dan tak melibatkan peran serta publik, pembahasannya juga dilakukan di tengah masa reses DPR.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dianggap tertutup dan tidak melibatkan peran serta publik. Pembahasan juga dilakukan di tengah masa reses, yang seharusnya menjadi kesempatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyerap aspirasi konstituen. Atas alasan itu, koalisi masyarakat sipil akan menyomasi DPR, Senin (10/8/2020).
Perwakilan Tim Advokasi untuk Demokrasi, Dewi Kartika, dalam diskusi virtual, Minggu (9/8/2020), mengatakan, sejak RUU Cipta Kerja dirumuskan pemerintah, kelompok yang paling rentan terdampak pengesahan RUU itu tak pernah dilibatkan, seperti buruh sektor informal, petani, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin di desa dan kota. Pemerintah dianggap hanya mengakomodasi kelompok kepentingan investor atau kalangan pengusaha.
Dewi juga mengungkapkan, anggota DPR ingkar janji dari kesepakatan dengan massa dari jaringan buruh dalam aksi penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja pada 16 Juli 2020. Saat itu, DPR berjanji tak akan membahas RUU itu saat reses. Bahkan, salah satu unsur pimpinan DPR menyatakan jika pembahasan dilakukan di masa reses, hal itu melanggar aturan.
Sejak RUU Cipta Kerja dirumuskan pemerintah, kelompok yang paling rentan terdampak pengesahan RUU itu tak pernah dilibatkan, seperti buruh sektor informal, petani, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin di desa dan kota. Pemerintah dianggap hanya mengakomodasi kelompok kepentingan investor atau kalangan pengusaha.
Atas dasar itu, Ketua Yayasan LBH Indonesia Asfinawati menegaskan, Tim Advokasi untuk Demokrasi akan menyomasi DPR pada hari Senin karena telah melanggar ketentuan dan janjinya. Pembahasan RUU tersebut di saat masa reses juga dinilai melanggar UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
”Kami harap somasi ini dijawab. Jika tidak dijawab, akan ada proses hukum selanjutnya. Somasi ini merupakan bukti cacat formil dalam pembahasan RUU omnibus law,” ujarnya.
Asfinawati menyebutkan, somasi ini juga akan dikirimkan ke partai politik. Sebab, mandat penyelesaian RUU Cipta Kerja ini tak terlepas dari permintaan para ketua umum parpol.
Tim tripartit
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, rumusan RUU Cipta Kerja sebenarnya sudah dibahas tim tripartit, yang terdiri dari pemerintah, buruh, dan pengusaha. Pembahasan dilakukan setelah RUU itu menimbulkan perdebatan di masyarakat. Tim mencari rumusan yang bisa diterima para pihak. Sesudah dilakukan beberapa kali pertemuan, pemerintah membawa rumusan RUU Cipta Kerja ke DPR untuk dibahas bersama.
Jadi, pemerintah mencatat, sudah selesai perdebatan-perdebatan itu. Tinggal nanti bagaimana kita memperdebatkan lagi di DPR apakah DPR setuju terhadap apa yang sudah dibicarakan di pemerintah dan disimpulkan pemerintah dengan serikat pekerja.
”Jadi, pemerintah mencatat, sudah selesai perdebatan-perdebatan itu. Tinggal nanti bagaimana kita memperdebatkan lagi di DPR apakah DPR setuju terhadap apa yang sudah dibicarakan di pemerintah dan disimpulkan pemerintah dengan serikat pekerja,” ucap Mahfud.
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislatif Willy Aditya mengatakan, menangkap aspirasi masyarakat sipil itu sebagai hak konstitusi dan hak demokrasi. Namun, kata Willy, frekuensi anggota DPR dan masyarakat sipil kini sudah berbeda.
”Standing point mereka, kan, menolak. Dalam demokrasi ini, kalau civil society itu stand point-nya anti-state, apa pun akan selalu ditolak,” ujar Willy.
Willy mengklaim, proses pembahasan RUU Cipta Kerja selalu terbuka untuk publik dan disiarkan melalui kanal internet. Baleg, lanjutnya, juga pernah mengundang perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan serikat pekerja untuk ikut pembahasan RUU, tetapi mereka menolak.