DPR Abaikan Somasi Publik
DPR terus membahas RUU Cipta Kerja meskipun sebagian publik menolaknya. Kelompok masyarakat sipil pun menyomasi. Namun, DPR tak mengindahkan somasi dan menganggap somasi itu bagian dari proses demokrasi di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat tidak mengindahkan somasi yang disampaikan sejumlah kelompok masyarakat sipil yang menginginkan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dihentikan. Somasi itu diterima dan dihargai oleh DPR sebagai bagan dari proses demokrasi. Namun, pembahasan RUU Cipta Kerja itu tidak akan dihentikan dengan alasan regulasi itu diperlukan untuk merespons kemunduran ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Somasi kepada DPR sebelumnya disampaikan oleh perwakilan hukum dari Tim Advokasi untuk Demokrasi, Senin (10/8/2020) di Jakarta. Masyarakat sipil yang tergabung dalam tim advokasi di antaranya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka meminta agar pembahasan RUU Cipta Kerja yang disusun dengan mekanisme omnibus law dihentikan.
Baca juga : Dinilai Gagal Serap Aspirasi, DPR Disomasi
Tim advokasi juga menyoroti diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja di masa reses DPR. Tindakan tersebut dinilai menyalahi UU tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau UU MD3.
Kami mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja, baik selama reses maupun setelahnya.
Sementara itu, kemarin rapat pembahasan daftar isian masalah (DIM) RUU Cipta Kerja terus dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja. Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Panja RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas. Diteruskannya pembahasan itu tidak sejalan dengan somasi yang diajukan oleh tim advokasi.
Dalam surat somasi, tim advokasi menilai anggota DPR yang meneruskan pembahasan di masa reses seharusnya dijatuhi sanksi. Sebab, menurut UU MD3, masa reses semestinya dimanfaatkan oleh anggota DPR untuk bertemu konstituennya di daerah pemilihan (dapil). Mereka juga harusnya melakukan tugas pengawasan atas penanganan pandemi Covid-19, utamanya di dapil masing-masing. RUU Cipta Kerja di satu sisi dipandang sebagai RUU yang tidak mendesak dibahas, dan sebaiknya DPR mengutamakan pembahasan RUU yang mampu menguatkan hak-hak konstitusional masyarakat.
”Kami mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja, baik selama reses maupun setelahnya,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA.
Dewi mengatakan, sedari awal penyusunan RUU itu tidak terbuka kepada publik. DPR seharusnya mengembalikan draf RUU Cipta Kerja kepada pemerintah dan tidak meneruskan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) bersama pemerintah. Tindakan DPR yang meneruskan pembahasan itu menunjukkan DPR abai pada hak-hak konstitusional warga yang terancam dirampas melalui RUU Cipta Kerja.
”Sejak awal, banyak kelompok yang terdampak langsung dari RUU itu tidak diajak bicara, baik buruh, petani, nelayan, dan masyarakat di sekitar hutan, maupun pegiat lingkungan hidup. Di sisi lain, penyusunan RUU itu mengedepankan kelompok pengusaha, seperti Kadin,” katanya.
Proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang kurang terbuka itu, lanjut Dewi, seharusnya menjadi pertimbangan DPR untuk tidak serta-merta mengikuti keinginan pemerintah membahas RUU tersebut. Selain itu, sejumlah pasal di dalam RUU Cipta Kerja itu disinyalir melanggar putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, dengan tetap meneruskan pebahasan RUU Cipta Kerja, DPR telah mengabaikan hak-hak konstitusi warga.
”Di dalam RUU itu, antara lain, diatur mengenai pertanahan. Tanah kini menjadi obyek komersialisasi. Untuk pengaturan mengenai konsesi HGU perkebunan, misalnya, draf RUU Cipta Kerja mengusulkan waktu selama 90 tahun. Padahal, sebelumnya telah ada putusan MK yang mengatur konsesi HGU perkebunan itu 25 tahun, bisa diperpanjang lagi 30 tahun, dan selanjutnya 25 tahun lagi,” kata Dewi.
Untuk pengaturan mengenai konsesi HGU perkebunan, misalnya, draf RUU Cipta Kerja mengusulkan waktu selama 90 tahun. Padahal, sebelumnya telah ada putusan MK yang mengatur konsesi HGU perkebunan itu 25 tahun, bisa diperpanjang lagi 30 tahun, dan selanjutnya 25 tahun lagi.
Menyangkut penolakan sejumlah kelompok masyarakat sipil untuk berdialog ketika diundang oleh DPR, menurut Dewi, hal itu dikarenakan sejak awal penyusunan RUU tersebut sudah cacat prosedur. Oleh karena itu, sebaiknya pembahasan di DPR tidak dilakukan. ”Kami tidak bicara pasal per pasal, tetapi kami melihat orientasi RUU ini untuk liberalisasi,” katanya.
Diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja di masa reses dinilai melanggar dengan kesepakatan antara perwakilan pengunjuk rasa dan pimpinan DPR, 16 Juli 2020. Pada saat itu, kelompok pengunjuk rasa yang menuntut tidak disahkannya RUU Cipta Kerja ditemui oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.
Pembahasan diteruskan
Menanggapi adanya somasi dari sejumlah kelompok masyarakat kepada DPR, Dasco mengatakan, hal itu disikapi positif oleh pihaknya. ”Tidak apa-apa. Mereka, kan, bilangnya agar tidak ada sidang-sidang (sidang pengesahan) RUU Cipta Kerja. Kan, kami memang tidak pernah ada sidang-sidang itu,” katanya.
Dasco mengatakan, yang dilakukan oleh DPR di masa reses ialah rapat-rapat dan menerima masukan dari sejumlah serikat pekerja. Masukan-masukan itu akan ditampung dan pada saatnya nanti akan dipertimbangkan di dalam memutuskan kelanjutan mengenai RUU Cipta Kerja.
”Rapat-rapat dan FGD terus jalan. Kami tidak ada sidang (pengesahan RUU Cipta Kerja) selama reses,” ujarnya.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, somasi yang diajukan oleh masyarakat sipil itu sah-sah saja sebagai bagian dari ekspresi di dalam negara demokrasi. Namun, pihaknya mempertanyakan alasan somasi itu. Pasalnya, Baleg merasa telah mengikuti prosedur di dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Sesuai dengan Tata Tertib DPR, rapat pembahasan legislasi diperbolehkan sepanjang mendapatkan izin dari pimpinan DPR.
”Selama reses tidak ada pengambilan putusan tingkat kedua atau pengesahan RUU Cipta Kerja. Hal itu telah dijanjikan kepada publik bahwa tidak akan ada pengambilan putusan di masa reses. Kedua, apa salahnya kami membahas DIM di masa reses, kan, sudah ada izin pimpinan. Kalau tidak ada izin pimpinan, itu baru salah,” ujarnya.
Empat hari lagi, DPR juga akan memulai masa sidangnya kembali. Tuntutan untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja di masa reses itu pun dipandang tidak lagi relevan. Pengesahan RUU Cipta Kerja itu pun belum tentu bisa dilakukan di masa sidang berikutnya karena masih ada sekitar 1.800 DIM yang belum dibahas oleh panja.
”Jadi, apa yang disomasi? Tetapi kami menghargai pendapat publik. Seharusnya kan, publik dalam melihat kinerja Baleg itu dengan melihat perdebatan di dalam pembahasan. Apakah benar Baleg ini hanya tunduk dan patuh kepada usulan pemerintah atau kritis terhadap subtansi-substansi yang berkaitan dengan perintah UUD, kan, itu yang kami lakukan. Harusnya jangan perdebatan soal mekanisme, karena kami tidak melanggar mekanisme itu,” kata Supratman.
Selasa (11/8/2020), Baleg DPR juga berencana menerima perwakilan serikat pekerja guna mendengarkan masukan mereka tentang RUU Cipta Kerja. Pembahasan RUU itu pun akan diteruskan karena regulasi tersebut dibutuhkan sebagai respons atas akibat pandemi terhadap pendemi. Debirokratisasi, dan kemudahan perizinan berusaha yang berusaha diatur di dalam RUU itu, menurut Supratman, menguntungkan semua pihak, tidak hanya pengusaha.
”Nanti saya minta setiap fraksi mengutus utusannya ke rapat dengan teman-teman KSPI besok pukul 11.00. Kami ingin meyakinkan mereka pentingnya RUU ini. Kami pasti memperhatikan kepentingan semua stakeholder. DPR tidak mungkin menjadi tuli dan buta. Kami, kan, mencari keseimbangan. Pembentukan UU, kan, harus mencari keseimbangan dan itu pasti DPR lakukan,” katanya.
Dengarkan masukan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, publik memiliki perspektif yang berbeda-beda tentang pembahasan RUU Cipta Kerja. Ada publik yang menolak seluruhnya pembahasan dan ada yang menginginkan pembahasan itu sebaiknya ditunda saja, setidaknya sampai pandemi berakhir. Harapannya agar publik mendapatkan kesempatan untuk terlibat lebih aktif di dalam pembahasan.
Sebaiknya DPR juga mendengarkan aspirasi masyarakat untuk tidak terburu-buru menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi. (Lucius Karus)
”Ini, kan, RUU pertama yang disusun dengan omnibus law, dan dampaknya sangat besar, karena ada ribuan pasal yang terdampak dari metode ini. Oleh karena itu, sebaiknya DPR juga mendengarkan aspirasi masyarakat untuk tidak terburu-buru menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi,” kata Lucius.
Baca juga : DPR Abaikan Desakan Publik Soal RUU Cipta Kerja
Rapat pembahasan di masa reses dan melalui aplikasi teknologi di tengah pandemi, menurut dia, tidak akan efektif dan optimal dalam membahas suatu RUU yang dampaknya begitu besar bagi kehidupan masyarakat. Di sisi lain, publik juga tidak leluasa untuk terlibat dan memberikan masukan.
Pengalaman pengesahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat cepat dan mendapatkan tentangan besar dari masyarakat, menurut Lucius, seharusnya tidak diulangi oleh DPR. Sebab, pembuatan UU yang tidak komprehensif dan mengabaikan masukan publik justru mengakibatkan lembaga KPK melemah.
”Bukannya penguatan KPK, melainkan pelemahan KPK. Begitu juga dengan RUU Cipta Kerja ini. Bukannya membuka lapangan kerja seluas-luasnya, melainkan nanti jangan-jangan malah membuat rakyat kesulitan kerja,” kata Lucius menjelaskan.