Kebijakan pendidikan di masa pandemi terutama harus berpihak kepada siswa miskin karena mereka paling rentan terdampak. Membantu mereka mengatasi kendala pembelajaran akan mencegah bencana pendidikan akibat pandemi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Penutupan sekolah dan krisis akibat pandemi Covid-19 telah menimbulkan darurat pendidikan yang menempatkan siswa dari keluarga miskin sebagai kelompok yang paling rentan terdampak. Tanpa upaya progresif, kondisi ini akan menciptakan bencana pendidikan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan—berdasarkan prediksi UNESCO—sekitar 24 juta siswa rentan putus sekolah akibat krisis ekonomi yang berdampak pada perekonomian orangtua siswa. Kondisi ini pun diperkirakan juga akan terjadi di Indonesia yang sebelum pandemi saja jumlah anak putus sekolah mencapai 4,2 juta.
Pembelajaran jarak jauh yang berlangsung sejak pertengahan Maret 2020 juga telah meminggirkan siswa dari keluarga miskin dari pendidikan karena kendala akses teknologi digital dan internet. Banyak dari mereka kehilangan kesempatan belajar, terutama di daerah tertinggal, terluar, dan terbelakang (3T) yang sulit dijangkau guru kunjung.
Kondisi ini bisa menyebabkan hilangnya pembelajaran (potential lost) yang mungkin melampaui satu generasi siswa. Kehilangan waktu belajar yang lama kemungkinan besar akan menghalangi banyak siswa untuk memenuhi harapan penguasaan akan pengetahuan dan keterampilan sehingga membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi ke depan.
Sebelum pandemi, sekitar 70 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia tidak mencapai kecakapan minimum dalam membaca dan matematika. Penutupan sekolah akan memperparah kondisi ini. Bank dunia memprediksi, pandemi akan meningkatkan jumlah siswa yang mengalami kemiskinan belajar (learning poverty) atau tidak dapat membaca dan memahami teks sederhana di usia 10 tahun.
Pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19 memang akan memberi ruang bagi siswa dari keluarga miskin untuk kembali mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Namun ini sekaligus menempatkan mereka pada risiko tinggi terpapar virus korona baru.
Siswa keluarga miskin, terutama sekolah menengah, umumnya mengandalkan transportasi umum untuk menuju dan pulang dari sekolah. Mereka umumnya juga sekolah di sekolah-sekolah pinggiran dengan fasilitas sanitasi dan fasilitas air bersih yang tidak memadai.
Pembukaan sekolah tak menyelesaikan masalah jika sekolah tidak siap melaksanakan protokol kesehatan (Syaiful Huda)
Mengutip hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ketua Komisi IX DPR Syaiful Huda mengatakan, satu dari 10 sekolah di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat tidak siap dengan protokol kesehatan. “Pembukaan sekolah tak menyelesaikan masalah jika sekolah tidak siap melaksanakan protokol kesehatan,” kata dia, Minggu (9/8/2020).
Di tengah kasus Covid-19 yang masih tinggi, sekolah-sekolah dengan sumber daya memadai, baik guru maupun siswa, umumnya memilih tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Berbagai upaya dilakukan guru dan sekolah selama ini, mulai dari pelatihan, melengkapi diri dengan sarana teknologi digital, hingga berdialog dengan orangtua untuk mengefektifkan pembelajaran daring.
Namun solusi itu sangat jauh bagi sekolah dengan sumber daya terbatas. Relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk subsidi pembelian kuota internet bagi siswa dan guru sangat tidak memadai. Apalagi dana BOS juga dialokasikan untuk insentif guru honorer dan pengadaan sarana untuk melaksanakan protokol kesehatan.
Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung yang juga pengamat pendidikan Iwan Pranoto mengatakan masalah yang dihadapi para siswa yang terkendala pembelajaran jarak jauh harus segera diatasi dengan teknologi semurah mungkin. “Pendidikan kita punya masalah (sejak dahulu), pandemi ini memperjelas masalah. Ini yang seharusnya diatasi,” kata dia.
Berpihak pada siswa rentan
Menurut peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Anggi Afriansyah, upaya pemerintah untuk mengatasi masalah siswa yang terkendala dalam pembelajaran jarak jauh masih sangat terbatas. Kebijakan pendidikan seharusnya berpihak kepada siswa yang rentan, apalagi pada saat pandemi ini.
“Fleksibilitas dan adaptabilitas dalam konteks kebijakan harus cepat dilakukan, dalam berbagai level pemerintahan, pusat sampai daerah. Berbagai situasi yang ada betul-betul harus diberi solusi yang konkret karena bukan waktunya lagi kita berdebat, tetapi mendorong pemerintah terus menerus agar lebih memperhatikan terutama kelompok yang miskin,” kata dia.
Perhatian pemerintah untuk mengatasi dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi secara tidak langsung kurang memperhatikan sektor pendidikan. Pemotongan anggaran di kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 5 triliun, difokuskan untuk kesehatan dan ekonomi. Karena itu, Syaiful mengusulkan ada afirmasi anggaran untuk menangani dampak Covid-19 di bidang pendidikan.
Komisi X DPR, kata Syaiful, juga telah meminta Kemendikbud membuat peta kebutuhan siswa selama pandemi ini. Peta ini akan menentukan kebijakan yang akan diambil, sesuai kondisi siswa. Peta ini juga akan memudahkan pelibatan partisipasi publik untuk ikut menangani masalah pendidikan selama pandemi ini.
Koordinasi antar kementerian sangat penting. Kolaborasi dengan Kementerian Desa, Pengentasan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bisa dilakukan untuk mengoptimalkan balai desa sebagai tempat pembelajaran sementara selama pandemi sebagaimana sudah dilakukan di sejumlah daerah. Apalagi, Dari 20 persen APBN untuk pendidikan yang sebesar Rp 580 triliun, sebesar Rp 75 triliun di antaranya dialokasikan untuk Dana Desa.
Pandemi ini telah membuat kondisi pendidikan menjadi lebih buruk pada siswa dari keluarga miskin. Tanpa ada afirmasi aksi yang lebih masif dari pemerintah, siswa miskin tetap miskin, tetap tertinggal, mereka akan mengalami banyak persoalan di masa yang akan datang. Mereka juga menentukan dalam pencapaian bonus demografi dan kesejahteraan Indonesia.