Mengamati Lonjakan Harga Emas
Akhir-akhir ini terjadi lonjakan harga emas di pasar dunia. Peningkatan harga emas ini mencolok sejak terjadinya krisis keuangan dunia 2008/2009 yang diikuti dengan resesi yang berkepanjangan.
Akhir-akhir ini terjadi lonjakan harga emas di pasar dunia. Peningkatan harga emas ini mencolok sejak terjadinya krisis keuangan dunia (the global financial crisis/GFC) 2008/2009 yang diikuti dengan resesi yang berkepanjangan (the great recession). Dalam dollar AS, harga emas melonjak dari 650 dollar AS per ounce (2007) menjadi 1.300 dollar AS (2017), suatu kenaikan 100 persen.
Kemudian meningkat sampai mendekati 2.000 dollar AS per ounce akhir-akhir ini. Ulasan di bawah mencoba mengartikan perkembangan ini untuk nantinya melihat implikasinya dan perlunya mewaspadai untuk mengatasi dampak negatif terhadap perekonomian nasional yang mungkin timbul.
Harga emas yang dilaporkan di pasar dalam negeri dan di dunia tak selalu menggunakan dasar yang sama sehingga dapat membingungkan. Sering yang dilaporkan adalah harga emas perhiasan di toko-toko atau harga eceran yang menggunakan ukuran harga setiap gram.
Akan tetapi harga yang dibahas di dalam laporan pasar logam mulia di dunia dihitung dalam satuan berat ounce atau troy ounce. Satu troy ounce adalah 31,1 gram. Ini ukuran yang biasanya digunakan dalam perdagangan pasar logam mulia. Untuk komoditas lain biasanya digunakan ukuran ounce dalam arti standar, di mana satu ounce sama dengan 28.35 gram. Dan tentu saja kalau digunakan dollar AS, untuk dirupiahkan harus dilihat dalam nilai tukar kapan.
Harga emas yang dilaporkan di pasar dalam negeri dan di dunia tak selalu menggunakan dasar yang sama sehingga dapat membingungkan.
Mengartikan lonjakan harga emas
Harga emas di dunia mengalami peningkatan dalam periode berkecamuknya krisis keuangan global 2008/2009 yang diikuti dengan resesi yang berkepanjangan. Di dalam periode ini juga terjadi krisis keuangan di sejumlah negara Eropa yang tergabung dalam Masyarakat Uni Eropa (European Union/ EU). Salah satu yang banyak diberitakan adah krisis keuangan Yunani 2011.
Krisis keuangan global berawal dari krisis keuangan di AS yang timbul karena krisis pinjaman perumahan bawah standar (subprime mortgage loans) di tahun 2007/2008. Krisis tersebut menjadi sistemik sejak dibiarkannya Lehman Brothers, suatu mega bank Wall Street membangkrutkan diri September 2009 yang kemudian menjalar ke Eropa dan Asia menjadi krisis keuangan global.
Kebijakan stimulus fiskal dan kebijakan bank-bank sentral dengan menggunakan teknik dan sarana yang baru, terutama sekuritisasi atau monetisasi utang oleh bank-bank dan pembelian besar-besaran sekuritas bank-bank dan korporasi atau quantitative easing (QE) oleh bank-bank sentral Inggris, UE dan Jepang, telah berhasil menyelamatkan perekonomian dunia dari jurang depresi.
Akan tetapi dunia harus membayarnya dengan biaya yang tak murah pula, yaitu terjadinya resesi berkepanjangan atau sangat lemahnya pertumbuhan ekonomi dalam waktu cukup lama, dikenal sebagai the great recession, sejak 2009 sampai belum lama lalu. Belum semua perekonomian benar-benar bangkit, setelah pandemi Covid-19 berkecamuk awal tahun ini, dengan dampak negatif amat berat pada ekonomi dunia.
Perkembangan harga emas menarik perhatian tidak hanya karena peran emas sebagai perhiasan atau sarana investasi ataupun kegunaannya di dalam ilmu kesehatan dan teknologi. Mungkin yang lebih menarik adalah dalam kaitan penggunaan emas sebagai mata uang atau alat tukar dan pembayaran, dan dengan penentuan nilai mata uang atau sistem nilai tukar uang dunia.
Emas memang pernah menjadi bagian dari uang beredar sebagai alat tukar dan pembayaran dalam perdagangan nasional dan internasional. Bahkan setelah dikenal uang kertas yang dikeluarkan negara untuk pembayaran antar bangsa, sistem nilai tukar antar mata uang dunia juga dikaitkan dengan emas. Demikian pula, pada waktu sistem nilai tukar ditentukan dengan menggunakan dollar AS sebagai patokannya, emas masih merupakan landasannya.
Demikian pula, pada waktu sistem nilai tukar ditentukan dengan menggunakan dollar AS sebagai patokannya, emas masih merupakan landasannya.
Sistem pembayaran perdagangan antar bangsa yang berlaku sejak berakhirnya Perang Dunia (PD) II, dikenal sebagai sistem Bretton Woods, mewajibkan semua negara yang menyepakati cara pembayaran dengan menggunakan sistem nilai tukar ini untuk menetapkan nilai mata uang masing-masing terhadap dollar AS secara tetap plus-minus satu persen.
Kalau terjadi peningkatan nilai tukar mata uangnya (apresiasi) atau sebaliknya (depresiasi) lebih besar dari batas ini negara itu harus melakukan intervensi pasar untuk mengembalikan ke nilai asalnya dengan menggunakan cadangan devisanya dalam dollar AS.
Dalam sistem ini AS berjanji untuk menukar dollar AS yang dipegang negara-negara lain dengan emas logam mulia yang dimiliki dengan harga tetap pula, satu ounce (28,35 gram) sebesar 35 dollar AS. Nilai ini terus dipertahankan sampai 1973 pada waktu AS terpaksa mendepresiasikan dollar AS dengan mengubah harga satu ounce emas menjadi 42 dollar AS. Janji untuk menukar dollar AS yang dipegang negara-negara lain juga dibatalkan tahun 1971.
AS menjadi penjamin sistem Bretton Woods dengan dollar AS menjadi basisnya, yang dijamin dengan cadangan emas dibelakangnya. Sejak itu sistem nilai tukar tetap Bretton Woods, resminya adjustable fixed exchange system (sistem nilai tukar tetap yang bisa disesuaikan) kehilangan pamor dan satu per satu negara meninggalkannya untuk kemudian secara resmi diubah jadi flexible atau floating exchange system (sistem nilai tukar fleksibel atau mengambang) pada 1978 dalam apa yang disebut Jamaica Agreement, waktu sidang tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Jamaika.
"Safe heaven?"
Keterkaitan emas dengan dollar AS ini ternyata sangat dekat dan gejolak harga emas dalam pasar logam mulia di dunia berkaitan dengan persepsi pelaku pasar terhadap dollar AS sebagai mata uang dunia diukur dari statusnya sebagai penopang sistem nilai tukar puluhan tahun sejak PD II dan berlanjut dalam sistem nilai tukar mengambang sejak akhir 1970-an.
Meskipun mata uang yang dijadikan pegangan buat negara untuk menyimpan cadangan devisa tak hanya dollar AS tetapi mengikuti kebiasaan IMF dalam penghitungan Special Drawing Rights (SDR) yang dengan masuknya renminbi (RMB) China tahun 2016 menjadi lima mata uang, tetapi dollar AS tetap mendominasi besarnya cadangan devisa negara-negara.
Menurut statistik 2019 dari cadangan devisa yang dipegang negara-negara di dunia, 60 persen dalam dollar AS. Persentasenya malah lebih tinggi lagi untuk transaksi perdagangan dalam dollar AS yang meliputi 90 persen dari seluruh perdagangan secara global.
Menurut statistik 2019 dari cadangan devisa yang dipegang negara-negara di dunia, 60 persen dalam dollar AS.
Dalam posisi demikian sering dollar AS disebutkan sebagai aset yang paling aman (safe heaven) buat penyimpanan aset. Tetapi di sinilah kaitan dengan emas tadi menjadi ukurannya. Pada waktu harga emas akhir-akhir ini mendekati 2.000 per ounce-nya, pelaku pasar nampak mulai meragukan posisi dollar AS sebagai safe heaven asset, dan pindah ke emas.
Kalau demikian, apa gerangan yang menyebabkan gejolak akhir-akhir ini, sehingga dollar AS yang secara tradisi dianggap tempat penyimpanan aset paling aman nampaknya mulai goyah dan dipertanyakan? Saya akan membahas ini di lain kesempatan.
Kenaikan harga emas yang mencolok terjadi waktu berkecamuknya krisis keuangan dunia 2008/2009 yang diikuti dengan resesi berkepanjangan sampai belum lama lalu. Dan perkembangan ini nampaknya berkaitan dengan stimulus fiskal besar-besaran yang didukung kebijakan moneter yang serupa oleh pemerintah dan bank-bank sentral negara-negara maju.
Kebijakan moneter itu diwarnai dengan monetisasi pinjaman dan pembelian serta obligasi dan sekuritas bank-bank dan korporasi ( quantitative easing ) yang dikenal sebagai kebijakan moneter modern . Kebijakan tersebut telah menyelamatkan dunia dari depresi, namun dunia harus mengalami resesi yang berkepanjangan.
J Soedradjad Djiwandono, Guru Besar Ekonomi Emeritus Universitas Indonesia.