Pandemi Ancam Kesehatan Ibu dan Anak
Layanan kesehatan ibu dan anak di Indonesia terganggu akibat pandemi Covid-19. Padahal, kualitas layanan kesehatan ibu dan anak menentukan derajat kesehatan sebuah bangsa.
Terbatasnya layanan kesehatan selama pandemi Covid-19 turut memengaruhi layanan kesehatan ibu dan anak. Padahal, kualitas layanan kesehatan ibu dan anak menentukan derajat kesehatan sebuah bangsa. Karena itu, inovasi layanan mutlak diperlukan agar kesehatan ibu dan anak tetap terjaga.
Indikator derajat kesehatan suatu bangsa itu pada dasarnya dilihat berdasarkan tinggi rendahnya angka kematian ibu melahirkan (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Hingga kini, Indonesia masih masuk dalam kelompok negara dengan AKI dan AKB tertinggi di ASEAN.
”Karena kehamilan adalah sumber terjadinya AKI dan AKB, maka penting untuk memperhatikan persoalan kesehatan reproduksi,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam webinar bertema ”Antisipasi Lonjakan Kelahiran Pascapandemi” di Jakarta, Sabtu (8/8/2020).
Baca juga: Angka Kehamilan Diperkirakan Melonjak Selama Pandemi Covid-19
Survei Penduduk Antarsensus 2015 menunjukkan dari 100.000 kelahiran hidup, ada 305 ibu yang meninggal. Sementara Survei Demografi dan Kesehatan 2017 menyebut ada 24 kematian bayi dari 1.000 kelahiran hidup. Dibandingkan data dua dekade sebelumnya, AKB berhasil diturunkan meski cukup lambat, sedangkan AKI justru stagnan, bahkan cenderung naik.
Pandemi Covid-19 yang mengganggu sistem layanan kesehatan juga memengaruhi akses dan mutu layanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Pemeriksaan ibu hamil dan anak balita di pusat-pusat layanan berkurang. Tak hanya ibunya yang takut berkunjung ke fasilitas kesehatan, layanan KIA di puskesmas ataupun bidan praktik mandiri pun dibatasi. Bahkan, layanan sejumlah praktik bidan mandiri pun tutup.
Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Tin Afifah, mengatakan, mengutip studi Dede Anwar Musadad (2 Juli 2020), 31 persen puskemas tidak ada kunjungan ibu hamil selama masa awal pandemi. Selain itu, jumlah kunjungan pasien di 84 persen puskesmas turun dan untuk kegiatan posyandu turun di 37 persen puskesmas, bahkan tidak ada posyandu di 43 persen puskesmas.
Tak hanya layanan KIA yang terganggu, layanan kontrasepsi atau keluarga berencana pun ikut terdampak. Sebulan pascakasus positif Covid-19 pertama diumumkan di Indonesia, layanan KB untuk semua jenis kontrasepsi pada Maret 2020 turun 35-48 persen. Namun, pada Juni 2020, BKKBN berhasil menambah 1,4 juta akseptor KB. Meski demikian, diperkirakan akan ada tambahan 420.000 kelahiran di tahun depan.
Kehamilan tak diinginkan itu akibat terganggunya layanan KB, kata Hasto, akan berdampak panjang, termasuk memperparah kasus tengkes (stunting) yang gencar diatasi pemerintah selama beberapa tahun terakhir. Kehamilan tak diinginkan membuat ibu enggan menjaga kesehatan diri hingga janinnya mengalami malnutrisi. Setelah lahir pun, tumbuh kembang anak dipastikan ikut terganggu akibat kurangnya kasih sayang dan pengasuhan.
Baca juga: Kehamilan Bisa Membuat Covid-19 Lebih Parah
Situasi seperti ini sebenarnya sudah terprediksi dari berbagai bencana sebelumnya dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) pada akhir April 2020 memperkirakan, jika karantina wilayah berlangsung enam bulan saja, akan ada 7 juta kelahiran tak diinginkan di seluruh dunia serta 47 juta perempuan di 114 negara berpenghasilan rendah dan menengah tak bisa mengakses kontrasepsi modern.
Layanan KIA itu, kata Tin, diprediksikan meningkatkan AKI dan AKB. Karena itu, ”Kematian ibu dan anak harus dicegah dengan menjaga cakupan layanan KIA. Hal itu membutuhkan kesiapan tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, obat-obatan hingga akses layanan KIA,” tuturnya.
Kebiasaan baru
Karena pandemi saat ini masih berlangsung meski pemerintah sudah mencanangkan era kebiasaan baru, maka sistem layanan KIA yang melibatkan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, keluarga, dan masyarakat pun harus beradaptasi dengan mematuhi protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19.
Kematian ibu dan anak harus dicegah dengan menjaga cakupan layanan kesehatan. Hal itu membutuhkan kesiapan tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, obat-obatan, hingga akses layanan.
Adaptasi itu harus berfokus pada upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit serta pemberdayaan masyarakat. Kunjungan fasilitas kesehatan hanya diprioritaskan pada ibu hamil yang mengalami gangguan atau keluhan yang tidak bisa diatasi, kehamilan berusia lebih dari 36 minggu atau menjelang proses persalinan, ataupun jika terjadi kedaruratan atau tanda-tanda persalinan.
Proses adaptasi itu menuntut tenaga kesehatan berinovasi. Bidan Koordinator Program KIA di Puskesmas Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Nurhayati, mengatakan, mereka mengembangkan sistem edukasi kepada ibu hamil hingga mereka terlindungi dari Covid-19.
Edukasi itu dilakukan dengan meminta ibu hamil menunda kontrol ke puskesmas jika tidak ada tanda bahaya kehamilan. Konsultasi kehamilan dilakukan melalui sistem layanan kesehatan jarak jauh (telemedicine) dengan bidan asuh yang memanfaatkan Whatsapp Group.
Kelompok ini dibuat berbasis rukun warga yang dipantau seorang bidan asuh. Media sosial ini bisa dimanfaatkan ibu hamil untuk berkonsultasi tentang kehamilannya secara virtual tanpa harus pergi ke puskesmas.
Baca juga: Virus Korona Terbukti Bisa Menular dari Ibu Hamil ke Janin
”Sistem ini mendapat respons baik dari ibu hamil karena mereka dapat berkonsultasi tentang apa pun dan kapan pun tanpa dibatasi waktu seperti jika mereka berkonsultasi langsung ke puskemas,” katanya.
Ibu hamil juga didorong untuk mau mempelajari buku KIA berwarna merah muda. Buku itu berisi panduan lengkap ibu hamil untuk menjaga kehamilannya, termasuk asupan gizi yang dibutuhkan selama kehamilan. Selama ini banyak ibu hamil hanya membawa buku tersebut saat kontrol ke puskemas tetapi sangat jarang membacanya, apalagi memahami isinya.
Meski demikian, tenaga kesehatan tetap mengunjungi ibu selama masa nifas atau sesudah menjalani persalinan. Kunjungan ke rumah ini dilakukan bidan dengan memakai alat pelindung diri level 2 untuk memantau kesehatan bayi baru lahir, terutama soal perawatan bekas tali pusat atau jahitannya hingga mereka terhindari dari infeksi.
Bidan asuh juga bisa digunakan sebagai tempat konsultasi layanan kontrasepsi demi mencegah terjadinya putus pemakaian alat kontrasepsi ataupun mendorong penggunaan alat kontrasepsi yang lebih panjang masa pakainya. Ketidakberlanjutan penggunaan kontrasepsi dikhawatirkan meningkatkan kelahiran dan memperpendek jarak antarkelahiran yang pada ujungnya akan meningkatkan risiko pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya.