Penyelidikan Ledakan Beirut Menentukan Masa Depan Lebanon
Proses penyelidikan ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut masih menjadi polemik di Lebanon dan bahkan mengarah menjadi isu politik.
Penyelidikan atas ledakan Beirut rumit dan dilematis karena minim teknologi dan mulai mengarah menjadi isu politis. Hasil penyelidikan ini akan menentukan masa depan Lebanon.
Kota Beirut, Lebanon, Sabtu (8/8/2020), rusuh, yakni hanya empat hari atau 96 jam dari peristiwa ledakan dahsyat pada Selasa (4/8/2020). Kerusuhan itu telah membawa korban 238 orang luka-luka dan seorang anggota keamanan tewas.
Adapun Kementerian Kesehatan Lebanon mengumumkan, ledakan dahsyat dari gudang nomor 12 yang menyimpan 2.750 ton amonium nitrat di Pelabuhan Beirut telah menyebabkan 158 korban tewas dan lebih dari 6.000 orang menderita luka-luka.
Ribuan pengunjuk rasa sudah tidak mampu lagi menahan kemarahan atas terjadinya ledakan yang dilukiskan terdahsyat sejak Lebanon meraih kemerdekaan dari pemerintah kolonial Perancis tahun 1943. Mereka pun membawa gambar tiang gantungan dengan leher para pemimpin Lebanon saat ini diikat tali di tiang gantungan.
Di antara gambar pemimpin Lebanon yang diikat lehernya di tiang gantungan itu adalah Presiden Michel Aoun, Ketua Parlemen Nabih Berri, dan Pemimpin Hezbollah Hassan Nasrullah. Gambar-gambar tokoh yang diikat lehernya di tiang gantungan merupakan pesan sangat jelas bahwa kesalahan atas apa yang terjadi di Lebanon saat ini ada pada para pemimpin politik.
Baca juga: Pascaledakan di Beirut, Tawaran Bantuan dari Sejumlah Negara Mengalir ke Lebanon
Rakyat Lebanon masih menolak keras jika kesalahan ledakan dahsyat kota Beirut hanya dilimpahkan kepada para pejabat birokrasi. Seperti dimaklumi, mahkamah militer, Rabu (5/8/2020), telah mengenakan tahanan rumah atas 19 pejabat birokrasi, termasuk sejumlah pejabat Pelabuhan Beirut untuk keperluan interogasi dalam proses penyelidikan. Bank sentral Lebanon, Kamis, juga telah membekukan rekening kepala Pelabuhan Beirut, kepala bea cukai, dan lima pejabat lain.
Rakyat Lebanon melalui unjuk rasa pada Sabtu tersebut juga ingin memberi tekanan dan sekaligus tuntutan kepada para elite yang berkuasa agar melakukan penyelidikan secara transparan, jujur, dan adil. Proses penyelidikan inilah yang masih menjadi polemik di Lebanon dan mengarah menjadi isu politik.
Pecah
Perpecahan antara Kubu 8 Maret dan Kubu 14 Maret muncul lagi terkait isu penyidikan atas ledakan di Pelabuhan Beirut. Kubu 14 Maret yang pro-Arab Saudi dan kontra- Iran menyerukan perlu penyelidikan internasional. Kubu 8 Maret yang dikenal pro-Iran dan Suriah menolak pelibatan asing dalam penyelidikan.
Kubu 14 Maret terdiri dari Partai Al-Mostaqbal pimpinan Saad al-Hariri, Partai Sosialis Progresif berbasis massa kaum Druze pimpinan Walid Jumblatt, Partai Kekuatan Lebanon pimpinan Samir Geagea, Partai Kataeb pimpinan Sami Gemayel, dan Mufti Lebanon pimpinan Sheikh Abul Latif Derian.
Namun, Presiden Michel Aoun dan Pemimpin Hezbollah Hassan Nasrullah menolak penyelidikan internasional. Mereka berasal dari kubu 8 Maret yang berintikan Hezbollah, Partai Syiah Amal, dan Partai Gerakan Kebebasan Patriotik (MPM) pimpinan Michel Aoun.
Baca juga: Ledakan Besar Guncang Beirut, Ratusan Korban Penuhi Rumah Sakit
Isu penyelidikan ini menjadi rumit dan dilematis bagi elite politik penguasa di Lebanon saat ini. Aoun sendiri dalam konferensi pers dengan media lokal, Jumat (7/8/2020), mengakui bahwa masih tidak tertutup kemungkinan adanya peran asing melalui serangan rudal atau bom atas ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut.
Aoun melansir, kemungkinan ada peran asing tersebut bukan berangkat dari persepsi kosong. Cukup kuat beredar opini bahwa Israel kemungkinan berada di balik ledakan dahsyat kota Beirut dengan menggunakan rudal jarak menengah. Tujuan Israel adalah menghancurkan gudang senjata di Pelabuhan Beirut yang diduga kuat milik Hezbollah.
Israel terakhir ini meyakini, Iran mengirim senjata kepada Hezbollah melalui laut dari Pelabuhan Latikia, Suriah, setelah pengiriman senjatanya terus digagalkan lewat perbatasan darat dari Suriah oleh Israel.
Jika berhasil ditemukan keterlibatan Israel lewat foto satelit, hal itu akan meringankan beban elite politik yang berkuasa di Lebanon dan meredam kemarahan rakyat Lebanon terhadap elite politik yang berkuasa. Bahkan, sebaliknya, para elite penguasa tersebut ikut menjadi korban kebiadaban Israel. Namun, Aoun menyadari, tim penyelidik yang dibentuknya akan sulit atau tidak memiliki kemampuan teknologi untuk bisa mendeteksi peran asing itu.
Kesadaran atas ketidakmampuan itu memaksa Aoun meminta Presiden Perancis Emmanuel Macron yang berkunjung ke Beirut, Kamis (6/8/2020), agar menyuplai foto-foto citra satelit atas area Pelabuhan Beirut saat ledakan dahsyat itu.
Tetap butuh asing
Menurut Aoun, jika Perancis tidak memberikan foto-foto udara tersebut, Lebanon akan mencari foto-foto udara dari sumber lain. Artinya, terlepas setuju atau tidak setuju atas penyidikan internasional, Lebanon tetap butuh partisipasi asing untuk mendapatkan foto-foto satelit atas area Pelabuhan Beirut saat terjadi ledakan. Tanpa dukungan foto satelit, akan sulit mendapatkan kesimpulan tentang ada dan tidaknya peran asing itu.
Baca juga: Ledakan Dahsyat di Beirut, Tewaskan Sedikitnya 78 Orang, Melukai 4.000 Orang
Karena itu, Aoun dan elite politik lain yang berkuasa akan berusaha keras mendapatkan foto-foto satelit dari mana pun sumbernya untuk bisa mendeteksi peran asing dalam ledakan itu. Hasil penyidikan dari foto satelit itu akan menentukan masa depan elite yang berkuasa di Lebanon saat ini.
Meski proses penyidikan masih berjalan, kerusuhan kota Beirut tersebut telah membuat pemerintah Beirut pimpinan PM Hassan Diab langsung lunglai tak berdaya. Diab pun langsung menawarkan, perlu pemilu parlemen dini untuk mengganti elite politik yang berkuasa saat ini.
Pemerintahan Perdana Menteri Diab secara de facto mulai Sabtu (8/8/2020 telah tumbang oleh kerusuhan kota Beirut. Persoalannya, Lebanon masih jauh dari selesai dengan tumbangnya pemerintahan Diab, seorang teknokrat yang dalam tradisi politik di Lebanon bukan siapa-siapa. Seorang pejabat Lebanon baru dianggap kuat kalau lahir dari sistem oligarki politik.
Tuntutan rakyat Lebanon yang turun ke jalan Sabtu lalu sesungguhnya, selain penyidikan yang transparan, adalah perubahan sistem politik dengan pembagian kekuasaan berdasarkan sekte, agama, dan mazhab agama.
Sistem politik sektarian yang sudah berusia 90 tahun di Lebanon kini diyakini sebagai faktor yang menjadikan Lebanon negara gagal secara ekonomi dan politik. Tuntutan serupa sudah digemakan lewat unjuk rasa besar-besaran lintas agama, sekte, dan wilayah mulai 17 Oktober 2019 yang disebut Musim Semi Arab gelombang kedua.
Kini, rakyat Lebanon turun ke jalan kembali dengan mengulang tuntutan Oktober tahun lalu memanfaatkan momentum ledakan dahsyat di Beirut.