Perdagangan Orang, Lingkaran Setan yang Tak Kunjung Berhenti
›
Perdagangan Orang, Lingkaran...
Iklan
Perdagangan Orang, Lingkaran Setan yang Tak Kunjung Berhenti
Perdagangan orang adalah kejahatan luar biasa, yang menjadi perhatian global. Namun, hingga kini, praktik perdagangan orang terus marak dan modusnya kian canggih. Banyak korban dijerat pelaku melalui media daring.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Perdagangan orang adalah masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Indonesia tidak hanya menjadi negara asal korban, tetapi juga menjadi tempat transit serta tujuan tindak pidana perdagangan orang. Ribuan masyarakat menjadi korban, terutama perempuan dan anak. Hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang steril dari kejahatan lintas negara ini.
Ibarat lingkaran setan, sindikat perdagangan orang terus mengintai perempuan dan anak-anak di Indonesia. Bahkan, sampai saat ini, kasus perdagangan orang masih menjadi fenomena gunung es. Masih banyak kasus yang belum terungkap. Sementara modus kejahatan terus berkembang seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi. Saat ini, media daring menjadi jembatan terselubung bagi para pelaku untuk menyasar korban.
Data Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri) dalam lima tahun terakhir (tahun 2015-2019), sebanyak 2.648 orang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Korban terbesar adalah perempuan dewasa 2.047, anak perempuan (272 orang), laki-laki dewasa (318 orang), dan anak laki-laki (11 orang).
Para korban perdagangan manusia mengalami berbagai kekerasan berlapis, bahkan menerima perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Selain bentuk modern dari perbudakan manusia, TPPO kejahatan luar biasa, yang melanggar hak asasi manusia, merendahkan harkat dan martabat manusia.
Bayangkan saja, manusia diperlakukan seperti barang yang bisa dijual, dibeli, dan diperlakukan sewenang-wenang.
”Bayangkan saja, manusia diperlakukan seperti barang yang bisa dijual, dibeli, dan diperlakukan sewenang-wenang,” ujar Menteri Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati saat membuka Dialog Nasional Memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang ”Mari Lawan Sindikat Perdagangan Orang dan Akhiri Perdagangan Orang”, Kamis (30/7/2020).
Bintang bahkan mengingatkan semua pihak agar tidak meremehkan dampak yang diakibatkan oleh TPPO. Sebab, bukan hanya mengalami luka fisik, korban bisa mengalami trauma berat, depresi atau gangguan kejiwaan, bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan kematian. Apalagi ketika perempuan dan anak menjadi korban, berpotensi mengalami diskriminasi berlapis.
Perdagangan orang saat ini terjadi dalam beragam modus. Namun, di Indonesia, sebagian besar para korban diperdagangkan karena tujuan eksploitasi seksual (prostitusi dan pedofilia) dan eksploitasi tenaga kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Di luar negeri, perdagangan orang menimpa sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI) saat mereka dipekerjakan dengan upah rendah, seperti pekerja rumah tangga, perkebunan, buruh, bahkan anak buah kapal. Di luar itu, ada juga praktik perdagangan orang melalui modus pengantin pesanan (perempuan Indonesia dijodohkan/dinikahkan dengan pria di luar negeri).
Mengapa jumlah korban TPPO dari Indonesia besar? Sebab, Indonesia merupakan negara asal perdagangan orang ke luar negeri, khususnya untuk tujuan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, Hong Kong, Timur Tengah, dan beberapa negara Eropa. Populasi penduduk Indonesia yang padat serta masih banyaknya penduduk yang miskin dan kesulitan mencari pekerjaan menjadi faktor penyebab Indonesia menjadi negara asal perdagangan orang.
Sementara, di sisi lain, Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan orang yang berasal dari China, Thailand, Hong Kong, Uzbekistan, Ukraina, dan beberapa negara lainnya untuk tujuan eksploitasi seksual.
Adapun angka perdagangan orang, menurut Bintang berdasarkan data di Kementerian Sosial sejak 2016 sampai Juni 2019, terdapat 4.906 korban TPPO. Sementara berdasarkan data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 29 Juli 2020 (periode Januari 2019-Juni 2020), terdapat 155 kasus TPPO dengan 195 korban perempuan dan anak. Dari jumlah tersebut, sekitar 65 persen atau 101 kasus adalah eksploitasi seksual.
Di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sepanjang 2015-2020, tercatat ada 704 pemohon perlindungan yang terkait kasus TPPO. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengingatkan perlu adanya kerja sama lanjutan antara LPSK dan pemerintah daerah. Setelah proses hukum selesai, harus ada pendampingan dan pelatihan kerja bagi korban. Hal ini penting agar setelah korban tidak berada di dalam perlindungan LPSK, korban tidak kembali ke rantai kejahatan yang sama.
Keuntungan finansial
Kendati merupakan kejahatan luar biasa, TPPO tak pernah habis. Sebaliknya, semakin canggih modusnya. Ini terjadi karena jaringan mafia perdagangan manusia mendapat keuntungan finansial yang besar. Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2014 mengestimasikan keuntungan dari sindikat TPPO diperkirakan mencapai 150,2 miliar dollar AS. Sebanyak 30 persen dari keuntungan tersebut berasal dari eksploitasi tenaga kerja, yang kebanyakan korbannya berasal dari Asia dan negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia.
Bahkan pada 2016 ILO mengestimasikan korban TPPO di seluruh dunia mencapai 40,3 juta. Dari angka tersebut, sekitar 50 persen korban adalah anak-anak. Pelaku memanfaatkan kondisi korban, seperti kemiskinan, atau keluarga yang terlilit hutang, sehingga mereka merasa tidak mempunyai pilihan lainnya.
Di dalam negeri, perdagangan orang masuk lewat eksploitasi seksual komersial yang menyasar perempuan dan anak-anak perempuan. Umumnya korban diimingi-imingi pekerjaan dengan upah yang tinggi, tetapi dijerumuskan dalam prostitusi, yang saat ini berkembang menjadi prostitusi daring.
Sementara, di luar negeri, jaringan perdagangan orang menyasar pekerja migran Indonesia (PMI). Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) saat meluncurkan Kertas Laporan Investigasi ”Jeratan Perdagangan Orang dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran” pada 30 Juli 2020 lalu menemukan rantai pasok, cara, proses, dan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan orang yang dialami oleh pekerja/buruh migran yang umumnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT), anak buah kapal (ABK), ataupun melalui modus pengantin pesanan.
SBMI mengungkapkan, total aduan kasus perdagangan yang ditangani SBMI sejak 2012 sampai 2020 adalah 2.597 kasus. Dari jumlah tersebut, PRT merupakan korban perdagangan orang terbesar, yakni sebesar 58,5 persen (1.519 kasus). Sasaran berikutnya adalah ABK perikanan sebesar 11,1 persen (288 kasus), dan pengantin pesanan sebesar 0,1 persen (25 kasus). Sisanya, sebesar 29,3 persen aduan (765 kasus), berasal dari sektor lainnya.
”Menariknya, berdasarkan temuan laporan investigasi SBMI, jeratan perdagangan orang dalam bisnis penempatan buruh migran Indonesia ke luar negeri itu proses penempatannya dilakukan secara prosedural oleh 75 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI),” ujar Ketua Umum SBMI Hariyanto.
TPPO hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah terbesar Pemerintah Indonesia karena sejumlah kendala. Selain pemahaman Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 di kalangan aparat penegak hukum yang masih rendah, di kalangan anggota Gugus Tugas TPPO pun demikian. Pencegahan TPPO belum berjalan efektif karena pemahaman masyarakat tentang TPPO masih minim. Sementara penanganan terhadap korban, terutama rehabilitasi, tidak berjalan optimal. Kasus-kasus TPPO terutama modus pengantin pesanan sulit diproses hukum.
Pandemi Covid-19 memang membuat orang tidak bisa bebas bepergian. Akan tetapi, dampak yang diakibatkan Covid-19, terutama dampak sosial ekonomi, perlu diwaspadai. Sebab, kondisi ekonomi yang terpuruk dikhawatirkan bisa menjadi pintu masuk bagi pelaku kejahatan perdagangan orang. Mari lindungi perempuan dan anak-anak agar tidak masuk jerat perdagangan orang.