Kelas tatap muka di sekolah memang tak tergantikan. Buktinya siswa rindu kembali ke sekolah meski saat ini mereka harus menahannya karena pandemi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian siswa merindukan kelas tatap muka di sekolah alih-alih kelas daring. Namun, rindu itu berisiko karena pandemi Covid-19 belum terkendali.
Salsa (16), siswa kelas X salah satu sekolah negeri di Jagakarsa, Jakarta Selatan, lebih memilih kelas tatap muka di sekolah ketimbang kelas daring. Sebagai peserta didik baru, dirinya kesulitan memahami materi pelajaran. Belum lagi kelas daring kurang interaktif, cenderung satu arah, dan banyak pekerjaan rumah.
”Aku mau belajar di sekolah walau mungkin ada batasan jumlah siswa di kelas. Soalnya kalau daring begini sulit memahami materi karena masih kagok, kadang kelasnya telat, dan banyak tugas rumah,” ucap Salsa, Senin (10/8/2020).
Sejauh ini belum ada informasi dari sekolah terkait kapan kelas tatap muka akan berlangsung. Sekolah baru menjaring suara orangtua siswa terkait tetap kelas daring atau kelas tatap muka jika daerah masuk zona hijau atau kuning.
Menurut Salsa, lebih banyak orangtua siswa di kelasnya memilih kelas tatap muka di sekolah. Orangtuanya sendiri bersilang pendapat. Sang ayah memilih kelas tatap muka di sekolah, sedangkan ibunya memilih kelas daring karena kasus positif Covid-19 terus naik dari hari ke hari.
Sama halnya dengan Atika Citra Dwi Utami (16). Siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan itu memilih kelas tatap muka karena sulit memahami pelajaran selama kelas daring. Apalagi hasil pekerjaan rumah tidak memuaskan. ”Susah pahami materi. Nilai-nilainya jadi jelek,” ujar Atika.
Sekolahnya sudah menjaring suara orangtua siswa. Kedua orangtuanya pun setuju kelas tatap muka, asalkan ada jaminan protokol kesehatan bakal ketat. Syifa (14) juga rindu kelas tatap muka di sekolah meski khawatir paparan Covid-19. Sebab, interaksi antara siswa dengan guru dan siswa lain tidak tergantikan selama kelas daring.
Kelas daring terasa monoton dan satu arah bagi siswa sekolah menengah atas di Hative Kecil, Ambon, Maluku, itu. ”Saya kangen suasana kelas yang ramai, saya kangen main ke rumah teman, kangen bercanda secara langsung tidak menggunakan media perantara,” kata Syifa. Orangtuanya pun setuju pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning karena mereka cukup kerepotan selama kelas daring.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam taklimat media Pengumuman Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, Jumat, 7 Agustus, menyebutkan, pembelajaran jarak jauh diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan.
Kelas tatap muka di sekolah tidak akan buka dan menggantinya dengan pembelajaran jarak jauh jika kepala/komite sekolah serta orangtua tidak siap. Ketentuan itu berlaku meski kepala daerah dan dinas pendidikan/kantor wilayah Kementerian Agama di zona kuning Covid-19 telah memberikan izin.
Tahapan pembelajaran tatap muka satuan pendidikan di zona hijau dan zona kuning Covid-19, sesuai revisi SKB empat menteri, dilakukan secara bersamaan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan pertimbangan risiko kesehatan yang tidak berbeda untuk kelompok umur pada dua jenjang tersebut. Sementara jenjang pendidikan anak usia dini dapat memulai pembelajaran tatap muka paling cepat dua bulan setelah jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Untuk madrasah dan sekolah berasrama di zona hijau dan kuning Covid-19, pembukaan kembali sekolah dilakukan secara bertahap. Sebagai gambaran, kapasitas asrama kurang dari 100 siswa, maka masa transisi bulan pertama asrama hanya boleh diisi 50 persen siswa dan bulan kedua baru 100 persen.
Pembelajaran tatap muka di sekolah selama pandemi Covid-19 wajib melakukan pengisian daftar periksa kesiapan, mulai dari ketersediaan sarana sanitasi, kebersihan, fasilitas layanan kesehatan, area wajib masker, alat pengukur suhu tubuh tembak, pemetaan warga satuan pendidikan, sampai membuat kesepakatan dengan komite satuan pendidikan.