Pembukaan kembali sekolah sebaiknya diprioritaskan di daerah-daerah yang tidak bisa melaksanakan sekolah daring. Untuk perkotaan yang bisa melaksanakan sekolah daring, sebaiknya jangan dibuka terlebih dulu.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan sekolah di zona kuning bakal meningkatkan mobilitas dan risiko penularan Covid-19 di komunitas. Tanpa peningkatan kemampuan tes dan pelacakan kontak, hal ini bakal menyebabkan penularan virus sulit diketahui sejak dini sehingga akan sulit dikendalikan.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah orang yang menjalani pemeriksaan Covid-19 pada Minggu (9/8/2020) hanya sebanyak 8.992 orang dan ditemukan 1.893 yang positif. Ini berarti rasio kasus positif mencapai 21 persen atau lebih tinggi dari rasio positif rata-rata nasional sebesar 12,9 persen.
Menurut data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sebanyak 4.102 orang atau 46 persen dari orang yang diperiksa secara nasional merupakan warga Jakarta. Ini menunjukkan masih dominannya jumlah pemeriksaan di Jakarta.
Sesuai laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu, daerah yang dianggap sudah memenuhi jumlah tes minimal baru Jakarta sehingga bisa dianalisis kriteria epidemiologinya. Selama tiga minggu terakhir, terjadi peningkatan jumlah mingguan kasus Covid-19 terkonfirmasi di DKI Jakarta dengan rasio kepositifan meningkat dari 5,4 persen, menjadi 5,6 persen, dan 7,9 persen yang menunjukkan tingkat penularan yang tinggi.
Daerah lain di luar Jakarta tidak bisa dianalisis kriteria epidemiologinya karena kapasitas tes tidak memadai.
”Daerah lain di luar Jakarta tidak bisa dianalisis kriteria epidemiologinya karena kapasitas tes tidak memadai. Ini menyebabkan kita tidak mengetahui skala penularan di daerah. Situasi semakin mengkhawatirkan dengan rencana pembukaan sekolah secara lebih luas,” kata Joko Mulyanto, epidemiolog Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Menurut Joko, sebagian negara, termasuk di Eropa, kembali berencana membuka sekolah karena ini dianggap akan turut menggerakkan ekonomi. Namun, di negara-negara Eropa saat ini telah memiliki kapasitas tes dan pelacakan sudah sangat baik sehingga jika ada penularan bisa cepat diketahui dan dikendalikan.
”Kalau kita mau buka sekolah, kapasitas tes harus ditingkatkan, minimal sesuai syarat WHO 1 per 1.000 orang per minggu. Selain itu, 75 persen riwayat kontak dari kasus itu harus ditemukan dan diperiksa dalam waktu kurang dari tiga hari,” kata Joko.
Joko menambahkan, jika pembukaan sekolah tetap dilakukan tanpa adanya kemampuan tes masif dan pelacakan kontak yang intensif, hal ini bisa memicu ledakan kasus tanpa terkendali. Dia mencontohkan, beberapa waktu lalu Kota Tegal yang telah membuka kembali sekolah menghadapi peningkatan kasus penularan. ”Ada satu sekolah menengah pertama yang saat ini dievaluasi karena orangtua murid positif,” katanya.
Menurut Joko, penularan di Kota Tegal dikhawatirkan lebih besar, tetapi belum teridentifikasi dengan baik karena kapasitas tes yang terbatas. ”Salah satu indikasi tingginya penularan di komunitas adalah banyaknya tenaga kesehatan di Kota Tegal yang tertular,” katanya.
Joko menyarankan, selain syarat epidemiologi, pembukaan kembali sekolah sebaiknya diprioritaskan di daerah yang tidak bisa melaksanakan sekolah daring. ”Untuk perkotaan yang bisa melaksanakan sekolah daring, sebaiknya jangan dulu dibuka,” katanya.
Berbagai kendala
Joko mengatakan, Indonesia harus memprioritaskan peningkatan kemampuan pemeriksaan. Sebagai perbandingan, jumlah orang yang diperiksa di Indonesia saat ini hanya sepertiga dari yang dilakukan Filipina yang rata-rata telah memeriksa sekitar 29.000 orang per hari. Padahal, jumlah penduduk Indonesia 2,5 kali lipat lebih banyak dari negara tetangga ini. Sementara Amerika Serikat, yang saat ini memiliki jumlah kasus 5,1 juta orang, bisa melakukan pemeriksaan hingga 500.000 orang per hari.
”Ada banyak kendala soal tes ini. Salah satu kendalanya kalau di daerah keterbatasan adalah sumber daya manusia. Peralatan mungkin ada, tetapi tenaga analisis laboratorium terbatas. Bahkan, di lab Unsoed, dokter spesialis patologi harus ikut membantu pemeriksaan. Mereka saat ini sudah bekerja keras, kalau diminta harus lembur, harusnya ada insentif yang jelas,” katanya.
Hana Krisnawati, peneliti Litbang Kesehatan Papua, mengatakan, saat ini sejumlah laboratorium di daerah tidak beroperasi lagi. ”Di Papua sebelumnya ada beberapa laboratorium, tetapi sekarang tinggal kami yang masih jalan karena beberapa lab ini harus kembali melakukan pekerjaan mereka yang lain. Ini juga saya dengar terjadi di daerah-daerah lain,” katanya.
Kendala lainnya, menurut Hana, penelusuran kontak yang dilakukan petugas lapangan cenderung mengendur. Ini menyebabkan jumlah sampel yang dikirim ke laboratorium menjadi berkurang. Jika sebelumnya laboratoriumnya menerima sampel 500 per hari, saat ini rata-rata hanya 200 per hari. ”Kalau dibilang kasus menurun tidak juga karena rasio kepositifan masih sama saja, tetapi sampel yang dikirim cenderung berkurang,” katanya.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Child & Adolescent Health, Senin (3/8/2020), telah memodelkan dampak pembukaan kembali sekolah di Inggris pada September 2020 dan menunjukkan bahwa gelombang kedua Covid-19 dapat dihindari di Inggris, hanya jika mereka bisa melakukan tes, pelacakan, dan isolasi dengan cakupan yang cukup luas.
Ledakan kasus ini hanya bisa dihindari jika minimal 68 persen kontak dapat ditelusuri, 75 persen individu dengan infeksi simtomatik didiagnosis dan diisolasi kurang dari tiga hari. Jika tingkat diagnosis dan pelacakan kontak berada di bawah ini di seluruh populasi Inggris, pembukaan kembali sekolah akan menghasilkan gelombang kedua yang lebih besar dalam dua minggu kemudian.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengungkapkan, 139 laboratorium di Indonesia aktif memeriksa spesimen terkait Covid-19 dengan metode PCR. Jika kinerja semua laboratorium itu bisa dioptimalkan, kapasitas tes molekuler bisa mencapai 30.000 spesimen per hari. ”Kini kinerja semua laboratorium belum optimal. Jumlah tes tertinggi baru sekitar 19.000 spesimen per hari,” ujarnya (Kompas, 17 Juni 2020).