Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 menjadi salah satu rujukan dalam merevisi Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, kembali akan merevisi Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan regulasi Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 akan dijadikan sebagai salah satu rujukan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya Irvan Widyanto, di Surabaya, Selasa (11/8/2020), mengatakan, saat ini pihaknya masih merumuskan revisi Perwali No 33/2020. Revisi disesuaikan dengan kondisi Surabaya saat ini. ”Perwali perlu dipertajam dan disesuaikan dengan amanat inpres,” katanya.
Irvan mengatakan, ada beberapa hal yang berbeda antara perwali dan inpres. Dalam inpres, beberapa klasifikasi, seperti tempat kerja, sekolah, tempat ibadah, stasiun, terminal, dan bandara, dikategorikan sebagai tempat serta fasilitas umum. Sedangkan dalam perwali diklasifikasikan sebagai kegiatan luar rumah.
Perwali perlu dipertajam dan disesuaikan dengan amanat inpres. (Irvan Widyanto)
Selain itu, ada perbedaan terkait sanksi pelanggar protokol kesehatan. Di dalam inpres disebutkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, kerja sosial, denda administratif, dan penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.
Dalam perwali pada Pasal 34 Ayat (4), sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, paksaan pemerintahan (penyitaan KTP, pembubaran kerumunan, penutpan sementara atau paksaan pemerintah lainnya berupa memberikan makan ODGJ di Liponsos, push up, dan joget).
”Dalam perwali ada sanksi berupa pencabutan izin, tetapi dalam inpres tidak ada sanksi pencabutan izin,” tuturnya.
Meski demikian, Irvan menuturkan bahwa beberapa aturan dalam inpres tersebut sudah selaras dan telah dilaksanakan oleh Surabaya. Salah satunya tentang pelibatan masyarakat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dalam penanggulangan Covid-19 dalam bentuk Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo. Selain itu, setiap tempat kerja, pelaku usaha, pelaku industri, perkantoran negeri ataupun swasta, juga telah diminta membentuk gugus tugas.
”Hal lain yang sudah dilaksanakan yakni terkait kegiatan di luar rumah yang wajib mengikuti protokol kesehatan,” kata Irvan.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengatakan, hal lain yang perlu direvisi terkait klausul wajib menunjukkan hasil pemeriksaan tes cepat dengan hasil nonreaktif atau tes usap dengan hasil negatif bagi pekerja luar kawasan aglomerasi Surabaya yang berlaku 14 hari.
Aturan ini dinilai tidak tepat karena Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan tidak merekomendasikan tes cepat untuk mendiagnosis orang yang terinfeksi Covid-19. Masa berlaku tes cepat selama 14 hari tidak tepat karena tidak ada kepastian bahwa dalam 14 hari usai tes, seseorang tidak tertular virus korona jenis baru.
”Mudah-mudahan bisa segera direvisi karena penggunaan tes cepat tidak bisa dipakai untuk mendiagnosis seseorang tertular atau tidak,” kata Windhu.
Koordinator Posko Pengaduan Covid-19 LBH Surabaya Jauhar Kurniawan mengatakan, pemberlakuan sanksi dalam perwali tidak sah. Seluruh peraturan dari kepala daerah yang memuat sanksi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang telah direvisi menjadi UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam regulasi ini disebutkan perundang-undangan yang dapat memuat sanksi hanya UU atau peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) dan peraturan daerah.
”Pada hakikatnya, pemberlakuan sanksi adalah pengurangan hak masyarakat sehingga harus diatur dalam ketentuan yang melibatkan masyarakat dalam hal ini legislatif (DPR atau DPRD),” ujarnya.