Pembelajaran Jarak Jauh di Pedalaman NTT Terkendala
Pembelajaran jarak jauh di daerah pedalaman di Nusa Tenggara Timur masih terkendala karena beberapa faktor antara lain listrik sering padam dan buruknya jaringan internet.
KUPANG, KOMPAS — Kegiatan belajar mengajar dalam jaringan di daerah pedalaman di Nusa Tenggara Timur masih terkendala. Tidak ada jaringan listrik, internet, pulsa data, serta sebagian besar guru dan siswa belum paham cara pembelajaran secara daring.
Seperti di Kota Kupang, sebagian besar orangtua siswa memilih belajar secara daring, tetapi kemudian beralih ke sistem manual dengan alasan banyak hambatan
Wakil Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 di Desa Kenotan Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT, Thomas Arakian kepada Kompas dari Adonara, Selasa (11/8/2020), mengatakan, sejak kegiatan belajar mengajar (KBM) tahun ajaran 2020/2021 dimulai, 15 Juli 2020 sampai hari ini, guru dan siswa masih kesulitan memulai kegiatan itu secara on line atau dalam jaringan (daring).
”Persoalan utama adalah listrik selalu padam, tidak ada jaringan internet, tidak ada pulsa data. Hari ini, kami mendapat dua pemateri pengawas binaan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT dengan materi penguatan peningkatan pembelajaran bagi 26 guru. Kegiatan itu gagal dilaksanakan karena listrik padam dan tidak ada sinyal,” ujarnya.
Sejak 15 Juni sampai hari ini KBM berlangsung tatap muka secara bergantian. Hari Senin dan Kamis, siswa kelas X, hari Selasa dan Jumat kelas XI, Rabu dan Sabtu kelas XII. Ini berlaku untuk semua program dengan sistem tatap muka, tetapi tetap menjalani protokol kesehatan.
Hari ini, kami mendapat dua pemateri pengawas binaan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT. Kegiatan itu gagal dilaksanakan karena listrik padam dan tidak ada sinyal.
Selain karena listrik selalu padam pada siang hari, tidak ada jaringan internet, tidak ada pulsa data, tidak ada telepon pintar atau komputer jinjing, juga sebagian siswa dan guru belum mahir menggunakan sistem daring. Pelatihan dari pengawas materi pembelajaran provinsi bagi 26 guru itu agar guru bisa mengikuti sistem aplikasi Zoom, membuat grup belajar melalui WhatsApp dan memahami Google Classroom.
Baca juga: Pendidikan di NTT Prioritas
Ia mengatakan, SMAN1 Adonara Tengah memiliki 210 siswa, berasal dari tiga SMP terdekat, yakni SMP Panca Karya di desa Lite, SMPN1 Adonara Tengah, dan MTs Wewit. Sekolah ini didirikan tahun 2014 sebagai sekolah milik pemerintah, tetapi tiga ruangan belajar masih berupa gedung darurat, tiga ruang belajar lain gedung permanen.
Sekolah ini memiliki 30 guru dan staf tata usaha. Hanya ada lima guru negeri (pemerintah), sisa 21 guru honor komite. Honor mereka bervariasi Rp 300.000-Rp 950.000 per guru setiap bulan. Tidak ada guru kontrak provinsi, puluhan guru setempat beberapa kali melamar sebagai guru kontrak provinsi, termasuk Thomas Arakian, tetapi tidak pernah lolos.
”Saya wakil kepala SMA tetapi berstatus sebagai guru honor komite. Sudah 15 tahun mengabdi sebagai guru honor komite dengan upah Rp 950.000 per bulan. Perbedaan jumlah honor ini sesuai masa kerja masing-masing guru,” ujarnya.
Ia mengatakan, jumlah 26 guru di SMAN 1 Adonara Tengah itu pernah mengikuti pelatihan cara mengajar dan belajar secara daring, tetapi belum mahir antara lain karena masalah jaringan internet dan listrik. Karena itu dilakukan pelatihan lanjutan.
Maria Inche (16), siswi kelas II SMAN Waiwerang Adonara Timur, mengatakan masih menjalani proses KBM melalui daring. Karena kedua orangtuanya yang lulusan SD dan sehari-hari sibuk kerja di ladang, dia terpaksa belajar sendiri di rumah.
Baca juga: Kejar Ketertinggalan di NTT
”Kami di pesisir jaringan internet agak baik. Tetapi listrik dalam satu pekan, 2-4 hari padam, dari pukul 06.00 Wita sampai pukul 18.00 Wita. Pulsa data menjadi masalah besar karena orangtua tidak mampu beli paket data. Kalau paket data habis, saya tidak ikut kegiatan sekolah melalui daring,” ujar Inche.
Belajar sendiri
Ia mengaku belajar sendirian di rumah karena di desa itu tidak ada siswa SMA yang sama. ”Salah atau benar, saya kerjakan saja, lalu kirim ke guru. Kalau guru tidak persoalkan hasilnya, saya anggap sudah benar. Jarak dari sekolah itu 14 km dari rumah,” katanya.
Sementara itu, Kota Kupang pun mengalami kendala hampir mirip terkait pendidikan daring. Dalam pertemuan awal antara kepala sekolah, guru, dan orangtua masing-masing siswa, sebagian besar orangtua menyepakati pembelajaran daring, tetapi dalam perjalanan ditemukan banyak kendala.
Bertha Lobo (55), orangtua dari siswa Indry Radja (14), siswa kelas VIII SMPN 26 Kolhua Kupang, mengatakan, banyak orangtua siswa di Kupang tidak paham soal internet, tetapi memilih mendampingi anak-anak belajar secara daring. Ini terjadi ketika ditanya pihak sekolah, memilih belajar secara daring, luar jaringan (luring), atau campuran, semua orang serentak menjawab daring.
”Nah, dalam perjalanan, orangtua menunggu kapan pembelajaran daring dimulai. Ternyata pihak sekolah pun kesulitan menyusun aplikasi pembelajaran daring, juga bagaimana menyusun materi untuk disebarkan secara daring kepada siswa,” kata Bertha.
Satu pekan kemudian, sistem KMB daring disebarkan dari sekolah. Tetapi siswa tidak tahu menyimpan materi dari sekolah secara daring, kesulitan membahas materi bersama orangtua, tidak ada paket data, jaringan internet sering mengalami gangguan, dan kesulitan ponsel Android.
Baca juga: Kelulusan ditentukan Sekolah Mutu Pendidikan di NTT Menurun
Ia memiliki dua anak, yakni John Radja (17) siswa SMA dan Indry Radja (15) siswi SMP. Di rumah itu hanya satu Android, milik Bertha. Ponsel itu akhirnya digunakan bergantian, sekadar berkomunikasi dengan guru di sekolah, tidak untuk kegiatan belajar daring.
”Saya tidak dampingi sama sekali untuk SMA dan SMP karena saya tidak tahu materi SMA dan SMP, saya cuma kelas dua SD bagaimana bisa dampingi anak SMP dan SMA. Saya Cuma ingat pesan kepala sekolah saat pertemuan, yakni tidak perlu kejar materi, yang penting semua tugas dikerjakan dan presensi disi siswa,” kata Bertha.
Ambil materi
Untuk keperluan belajar John Radja dan Indry Radja, setiap hari Senin Bertha ke dua sekolah itu untuk ambil materi masing-masing. Materi itu disiapkan sekolah untuk dipelajari selama satu pekan. Setiap hari Sabtu, semua tugas yang disampaikan guru dikumpulkan di sekolah.
Ketua Dewan Pendidikan Guru NTT Simon Riwu Kaho mengatakan, 20 kabupaten/kota di NTT sudah masuk zona hijau, kecuali Manggarai Barat, dan Manggarai. Mestinya pemprov sudah bisa menggelar sekolah tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Baca juga: Program Inovasi Mutu Pendidikan Dasar di Sumba diluncurkan
Ini harus dicoba, minimal di Kota Kupang bagi siswa SMA, kemudian ke SMP. Khusus siswa SD dan PAUD tidak boleh menyelenggarakan sistem pembelajaran tatap muka karena mereka masih rentan tertular Covid-19, dan masih sulit diatur oleh guru dan orangtua.
”Kalau kita tetap bertahan dengan sistem daring, pendidikan generasi muda NTT akan hancur. Sistem belajar tatap muka selama ini saja kita gagal membangun SDM yang andal dan berkarakter, apalagi pembelajaran secara daring seperti sekarang, semua serba apa adanya,” kata Riwu Kaho.