Vaksin Covid-19 Belum Ada, Anak-anak Jangan Bermain Tanpa Protokol Kesehatan
›
Vaksin Covid-19 Belum Ada,...
Iklan
Vaksin Covid-19 Belum Ada, Anak-anak Jangan Bermain Tanpa Protokol Kesehatan
Anak-anak di sejumlah wilayah permukiman kerap dibiarkan bermain di luar rumah tanpa pengawasan selama pandemi Covid-19. Kurangnya kewaspadaan itu dikhawatirkan memicu kluster penularan di kalangan anak.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sudah lebih dari lima bulan pandemi Covid-19 melanda sejak Maret silam, tren lonjakan kasus belum pula menampakkan penurunan. Di tengah kondisi itu, sejumlah wilayah kian longgar dalam menerapkan protokol kesehatan. Anak-anak pun dibiarkan bermain di luar rumah tanpa pengawasan.
Di sejumlah wilayah Jakarta, pemandangan anak yang bermain di luar rumah tampak semakin sering. Indah (8) dan Uti (8), misalnya, bermain di wilayah RT 015 RW 007 Kelurahan Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, tanpa pengawasan ibu mereka.
Saat ditemui pada Selasa (11/8/2020) siang, Indah dan Uti sering beraktivitas tanpa menggunakan masker. Segala kegiatan, mulai dari bersepeda, membeli jajan, hingga memegang gawai, dilakukan tanpa memedulikan kebiasaan cuci tangan saat beraktivitas.
Roma Pandjaitan (45), warga setempat, bercerita, sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi yang dimulai pada Juni silam, sebagian warga cenderung beraktivitas normal. Aktivitas tanpa pembatasan sosial kemudian banyak dilakukan warga dan diikuti juga oleh anak-anak.
Situasi serupa berlangsung di RT 003 RW 010 Kelurahan Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Andri (17) bersama sejumlah kawannya kerap berkeliling dengan sepeda di seputaran RW 010 sampai Taman Tebet. Kegiatan bersepeda itu dilakukan tanpa praktik jaga jarak antarorang.
Rohmani, Ketua RT 003 RW 010 Menteng Dalam, mengatakan, dirinya selalu mengingatkan agar warga mengurangi aktivitas di luar dan pakai masker apabila terpaksa bepergian. Walakin, sebagian anak muda sudah diingatkan agar terus pakai masker saat pergi ke luar.
”Kalau anak-anak muda, mereka sudah diingatkan agar tetap pakai masker. Saya paham juga, mereka enggak bisa terus-terusan di rumah, pasti suntuk karena belajar pun mesti online. Pokoknya, saya ingatkan mereka supaya tetap patuhi protokol kesehatan,” tutur Rohmani.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira menegaskan, praktik protokol kesehatan yang kendur semakin membuat anak-anak Indonesia rentan tertular Covid-19. Memasuki bulan Agustus, rata-rata kasus infeksi anak di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata kasus secara global.
Menurut analisis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terhadap sekitar 6 juta kasus infeksi secara global, proporsi orang berusia 15-24 tahun yang tertular Covid-19 naik menjadi 15 persen pada 12 Juli dari sebelumnya 4,5 persen pada 24 Februari. Kasus anak-anak usia 5-14 tahun yang terinfeksi virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, naik menjadi 4,6 persen dari sebelumnya hanya 0,8 persen.
Kalau anak-anak muda, mereka sudah diingatkan agar tetap pakai masker. Saya paham juga, mereka enggak bisa terus-terusan di rumah, pasti suntuk karena belajar pun mesti online.
Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, termasuk Spanyol, Jerman, dan Perancis, serta negara-negara Asia, seperti Jepang, juga melaporkan, banyak kasus baru yang terinfeksi adalah kaum muda.
Sementara data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan proporsi anak usia 0-5 tahun yang menderita Covid-19 di Indonesia sebanyak 2,3 persen. Anak usia 6-18 tahun sebesar 6,8 persen. Proporsi kasus pada anak tersebut lebih besar daripada rata-rata global.
Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, menuturkan, anak-anak sangat bisa menularkan Covid-19 ke orang lain. Karena itu, WHO sebelumnya menegaskan, sekolah dan pusat kerumunan bagi anak agar tidak dibuka dalam waktu dekat. Hal ini diyakini demi mencegah penularan yang lebih luas.
Sejumlah studi berkaitan dengan aktivitas kerumunan anak di sekolah turut mendukung alasan Dicky. Studi yang dikaji oleh Katherine A Auger dan tim dari University of Cincinati, Ohio, mengungkap penutupan sekolah di Amerika Serikat pada periode 9 Maret hingga 7 Mei 2020 telah menurunkan kasus dan kematian akibat Covid-19 secara signifikan.
Studi yang dipublikasikan di The Journal of the American Medical Association (JAMA) pada 29 Juli 2020 menyebut jumlah kasus menurun hingga 62 persen per minggu dan kematian berkurang hingga 58 persen per minggu (Kompas, 7/8/2020).
Studi Taylor Heald-Sargent dari 2Northwestern University Feinberg School of Medicine, Chicago, dan tim juga menunjukkan, anak-anak yang positif Covid-19 dengan gejala ringan hingga sedang memiliki viral load atau konsentrasi virus korona baru di saluran pernapasan. Mereka setinggi orang dewasa. Bahkan, untuk anak-anak berusia di bawah 5 tahun atau anak balita memiliki viral load lebih tinggi dibandingkan anak-anak lebih tua dan orang dewasa.
Studi yang juga dipublikasi dalam jurnal JAMAPediatrics pada 30 Juli 2020 menyebutkan, anak kecil berpotensi menjadi pendorong penting penyebaran vurus korona baru di populasi. Selain implikasi pada kesehatan masyarakat, populasi anak-anak usia dini juga penting diperhitungkan bagi target imunisasi jika vaksin Covid-19 nanti telah tersedia.
Terkait ha itu, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Ascobart Gani, menyarankan agar pengawasan protokol kesehatan di wilayah permukiman lebih ketat. Sebab, dia melihat sendiri praktik penerapan protokol kesehatan di sejumlah wilayah masih rendah.
”Yang saya lihat, ada pemuda yang malah nongkrong, ada yang gowes bareng. Mereka tidak sadar bahwa kondisi itu memungkinkan penularan dari satu orang ke orang lain,” ucapnya.
Selama vaksin Covid-19 belum ditemukan, Ascobart menekankan agar warga mengutamakan prinsip kewaspadaan terhadap wabah. Kasus positif dan meninggal karena Covid-19 terus meninggi. Jangan sampai wilayah permukiman warga sendiri yang menyebabkan virus terus mewabah di Indonesia.