Tantangan Kelompok Antivaksin di Masa Pandemi Covid-19
›
Tantangan Kelompok Antivaksin ...
Iklan
Tantangan Kelompok Antivaksin di Masa Pandemi Covid-19
Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan hanya sekitar 50 persen masyarakat yang bersedia penuh mendapat vaksin Covid-19. Angka yang rendah ini membuat kekhawatiran mengenai masa depan penanganan Covid-19.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan hanya sekitar 50 persen masyarakat yang bersedia penuh mendapat vaksin Covid-19 apabila kelak sudah tersedia. Angka yang rendah ini membuat kekhawatiran mengenai masa depan penanganan Covid-19.
Dalam jajak pendapat yang digelar oleh King’s College London dan lembaga riset pasar Ipsos MORI pada 17-20 Juli 2020, sebanyak 2.237 partisipan berusia 16-75 tahun menjawab sejumlah pertanyaan mengenai kesediaan mereka mendapat vaksinasi Covid-19 apabila kelak vaksin tersebut telah tersedia.
Penelitian yang dipublikasikan pada Minggu (9/8/2020) tersebut menguak temuan bahwa hanya 53 persen warga yang secara yakin bersedia menerima vaksin. Di sisi lain, terdapat 16 persen yang menyatakan tidak akan bersedia mendapat vaksin Covid-19.
Direktur Policy Institute King’s College London Prof Bobby Duffy mengatakan, pada kelompok orang yang tidak bersedia divaksinasi tersebut, ada kecenderungan yang menarik.
Penolakan terhadap vaksin diketahui berkaitan dengan kurangnya kepercayaan kepada sains. Sebagian dari mereka yang menolak vaksin juga termasuk dalam kelompok yang menolak penggunaan masker dan juga menilai bahwa pemerintah terlalu membesar-besarkan Covid-19.
Temuan ini, lanjut Duffy, menunjukkan tugas besar dari masyarakat ilmiah dan pemerintah untuk meyakinkan masyarakat betapa pentingnya vaksin dalam upaya pengendalian pandemi Covid-19.
Persentase masyarakat yang sangat yakin bersedia divaksin ini masih lebih rendah dibandingkan ambang batas kekebalan komunitas yang diperkirakan para pakar untuk bisa menghentikan penyebaran Covid-19. Hal ini yang menjadi kekhawatiran.
”Persepsi yang salah terhadap vaksin ini tampaknya menunjukkan pengaruhnya terhadap masyarakat di masa pandemi ini. Mereka yang menolak vaksin ini memiliki kaitan yang kuat terhadap konten teori konspirasi, kepercayaan yang rendah terhadap sains, otoritas, dan pemerintah,” kata Duffy.
Kekebalan komunitas atau herd immunity adalah konsep dalam epidemiologi yang mengacu pada fenomena terlindunginya seseorang akibat suatu penyakit karena sebagian besar populasi telah memilki imunitas terhadap penyakit itu. Dalam kasus ini, imunitas diciptakan melalui vaksin.
Persepsi yang salah terhadap vaksin ini tampaknya menunjukkan pengaruhnya terhadap masyarakat di masa pandemi. Mereka yang menolak vaksin memiliki kaitan yang kuat terhadap konten teori konspirasi, kepercayaan yang rendah terhadap sains, otoritas, dan pemerintah.
Sejumlah pakar mengalkulasi bahwa kekebalan setidaknya harus dimiliki oleh 70 persen populasi baru kekebalan komunitas dapat tercapai, seperti yang dikatakan oleh epidemiolog Harvard University, AS, Marc Lipstich, beberapa waktu lalu.
Penolakan vaksin
Gerakan penolakan vaksin memang menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pengendalian pandemi. Salah satu narasi yang banyak bererdar adalah vaksin menyebabkan autisme pada anak.
”Temuan” tersebut memang merupakan sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti Inggris pada 1998. Studi tersebut ternyata diketahui tidak valid dan akhirnya dicabut. Namun, dampak kerusakannya pada persepsi masyarakat terhadap vaksin tidak bisa dipulihkan.
Tidak hanya masyarakat biasa, tokoh dunia dan pesohor juga dapat memiliki pemahaman tersebut. Petenis nomor 1 dunia Novak Djokovic pun telah menyatakan bahwa pada prinsipnya ia menolak kewajiban vaksin apabila vaksin Covid-19 sudah tersedia.
”Secara personal, saya tidak sepakat dengan vaksinasi dan saya tidak mau dipaksa oleh orang lain untuk divaksinasi sebagai syarat bepergian,” kata Djokovic dalam sebuah sesi Facebook Live dengan pemain asal Serbia lainnya pada pertengahan April lalu.
Di Indonesia juga tidak berbeda. Pada pekan lalu, penabuh drum grup musik Superman Is Dead, I Gede Ari Astina atau dikenal dengan Jerinx atau Jrx, mengunggah rekaman video demonstrasi penolakan penggunaan masker di Jerman. Dalam deskripsi video tersebut, Jerinx mengajak masyarakat memperjuangkan kebebasan untuk tidak menggunakan masker.
”Kenapa menolak wajib masker? Karena jika menerima begitu saja, maka kita akan dipertemukan dengan kewajiban baru lagi, wajib vaksin. Jika wajib vaksin berhasil, maka akan disusul dengan wajib ini wajib itu hingga kita benar-benar 100 persen di bawah kontrol ’mereka’,” tulis Jrx, yang diunggah pada Senin (3/8/2020).