Kontrol sosial warganet terhadap perilaku dan norma umum seks yang sehat semakin ketat. Kontrol itu lebih besar terhadap nilai nilai kemanusiaan yang dipahami secara global.
Oleh
Windoro Adi
·3 menit baca
Akun@m_fikris dengan thread ”Predator, Fetish Kain Jarik” jadi top trending Twitter Indonesia. Kamis (30/7/2020) pukul 14.09 di-retweet 72.000 kali, disukai 109.000 kali, dan mendapat 12.000 balasan atau komentar. Pemilik akun diduga korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh tersangka Gilang Dirga, mahasiswa semester 10 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur.
Dalam aksinya di dunia maya, Gilang membujuk para korban membungkus diri mereka seperti pocong dengan kain batik. Sebelum dibungkus, kaki, tangan, mata, dan telinga korban diplakban. Gilang lalu meminta foto para korban dalam posisi seperti itu.
Menurut pelaku, foto-foto dan percakapan seks (sex chat) dengan para korban membuat gairah seksualnya muncul, meluap. Namun, kepada para korban, ia mengaku melakukan hal tersebut untuk riset. Riset untuk menguji apakah benar aksi ini menghilangkan rasa takut, waswas, atau berbagai bentuk kecemasan lainnya.
Di tempat lain, percakapan seks yang dilakukan Bambang Ariyanto pun viral setelah salah seorang korban menceritakan pengalamannya di media sosial. Bambang mengaku sedang melakukan riset mengenai swinger kepada sejumlah perempuan.
Lewat akunnya, Bambang curhat mengenai istrinya yang suka menyiksa saat berhubungan intim. Saat Bambang membuat akun atas nama istrinya, ia mengaku diajak istrinya swinger. Bambang mengaku sebagai dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta dan sivitas akademika UGM (Universitas Gadjah Mada). Padahal, bukan. Setelah ditangkap, Bambang mengaku, dia hanya ingin berfantasi swinger. Ia mengaku kecanduan nonton video porno di Youtube, terutama video seks Arab.
Masih di dunia maya, akun Libur Panjang@sandi_sa119 menjadi trending Twitter setelah mengungkap perilaku TP, seorang youtuber, yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap teman perempuan seasramanya.
Kontrol sosial ”netizen”
Ketiga kasus yang ramai di dunia maya belakangan ini menunjukkan ketatnya kontrol sosial warganet terhadap perilaku dan norma umum seks yang sehat. Menunjukkan tentang kontrol sosial warganet yang lebih besar terhadap nilai nilai kemanusiaan yang dipahami secara global. Bebas dari sentimen agama, jender, atau golongan.
Kasus kasus ini menjadi viral dan menjadi topik utama di media sosial bukan karena kasusnya, melainkan karena meluapnya bermacam kecaman terhadap para pelakunya. Kasusnya sendiri, maaf, bukan kasus luar biasa. Bukan kasus baru yang kemudian menjadi tren.
Soal swinger, misalnya. Kasus ini mulai ramai muncul di media massa tahun 2017 ketika operator akun Twitter @ekodok87 dan @pasutri94 di Surabaya menawarkan jasa swinger. Bukan cuma jasa swinger saja, melainkan juga bermacam jasa orientasi seksual lainnya. Jasa yang ditawarkan bisa bersifat komersial ataupun nirlaba.
Sementara itu, percakapan seks melalui telepon genggam sudah berlangsung sejak awal tahun 2000-an dan diiklankan secara terang-terangan di beberapa ”koran kuning”. Pada awal tahun itu, fetisisme dan sejumlah penyimpangan seksual di Indonesia merebak karena pendangkalan pergaulan, pornografi internet, praktik ilegal industri hiburan malam, minuman keras, dan narkoba.
Sayang, cara penanggulangan disorientasi dan penyimpangan seksual yang sering berujung pada kekerasan seksual adalah sesat. Bukan dengan cara pendidikan yang mencerahkan, serta esensi beragama yang sehat, melainkan ditanggulangi lewat atribut agama yang konservatif dan retorika politik.
Sementara itu, kerusakan sosial dan spiritual yang bersumber dari perubahan perilaku seksual masyarakat terus terjadi. Media massa sering kali menyajikan kasus sebatas sebagai tontonan menarik demi mengejar peringkat pembaca. Apalagi bila hal itu menyangkut seks.
Lewat ketiga kasus itu, kalangan warganet ingin mengingatkan tentang apa yang berkembang saat ini yang mengancam ”kesehatan” bangsa. Soal modus penelitian dalam kasus Gilang dan Bambang, menjadi kurang penting dibandingkan cara warganet menggerakkan para penegak hukum bertindak.
Anggota DPR, Diah Pitaloka, pun lantas menyeru agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021. RUU ini sempat terhenti karena kata ”hasrat seksual” tak boleh masuk dalam definisi kekerasan seksual.
Dalam kasus Gilang, hasrat seksual dalam definisi kekerasan seksual menjadi jelas wujudnya. Pelaku memenuhi fantasi seksualnya dengan memaksa korban dipocong dengan jarik.