Transparansi Evaluasi Kinerja Lembaga Non Struktural Diperlukan
›
Transparansi Evaluasi Kinerja ...
Iklan
Transparansi Evaluasi Kinerja Lembaga Non Struktural Diperlukan
Sebanyak 18 lembaga non struktural akan dibubarkan. Pembubaran harusnya didahului evaluasi kinerja, manfaat bagi publik dan target sasaran terukur. Evaluasi komprehensif diperlukan agar perampingan birokrasi efektif.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rencana pemerintah dalam membubarkan lembaga non struktural atau LNS seharusnya didahului dengan evaluasi kinerja, manfaat bagi publik, serta target sasaran terukur. Evaluasi komprehensif diperlukan agar perampingan birokrasi itu betul-betul efektif bagi kinerja pemerintahan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari dalam diskusi daring “Perampingan Kabinet Jokowi, Menata Ulang Lembaga-Lembaga Non Struktural”, Senin (10/8/2020) mengatakan, pembubaran 18 LNS harus diikuti dengan standar kinerja, manfaat bagi publik, hingga kepentingan untuk pemerintahan. Seharusnya, ada parameter yang disampaikan ke publik tentang evaluasi tersebut. Misalnya, tentang kinerjanya yang sudah mencapai atau justru jauh dari target.
Dari 18 LSN yang akan dibubarkan, ada lembaga yang dinilai kinerjanya cukup bagus. Badan Restorasi Gambut misalnya, dianggap dapat mengatasi permasalahan kabut asap di Indonesia. Manfaatnya dapat dirasakan masyarakat luas. Ketika lembaga dibubarkan apakah kemudian kementerian terkait dapat melakukan tugas pokok dan fungsi sebaik ketika ada LNS tersebut.
“Pemerintah harus transparan. Apa parameter yang digunakan untuk pembubaran lembaga non struktural itu, apakah benar untuk perampingan? Atau karena ada motif lain yang tidak dibuka ke publik”
“Pemerintah harus transparan. Apa parameter yang digunakan untuk pembubaran lembaga non struktural itu, apakah benar untuk perampingan? Atau karena ada motif lain yang tidak dibuka ke publik,” kata Feri.
Dengan transparansi ke publik, akan terlihat LSN mana yang sebenarnya layak untuk dibubarkan. Apalagi jika keberadaannya tidak dirasakan, dan kinerjanya tidak berdampak bagi publik. Feri menduga bahwa pembubaran sejumlah LSN ini tidak hanya alasan perampingan birokrasi dan efisiensi anggaran. Namun, ada kepentingan politik. Ada sejumlah kementerian yang merasa kewenangannya terhalangi karena adanya LSN ini. Kemudian, solusinya adalah membubarkan dan melebur LSN ke dalam kementerian.
Jika melihat kabinet pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin saat ini pun sebenarnya masih gemuk. Sebab, jatah maksimal 34 kementerian seluruhnya diambil. Hal itu diduga sebagai akomodasi politik dan bagi-bagi kue kekuasan. Jika tujuannya adalah reformasi birokrasi, mengapa kementerian dan badan juga tidak dievaluasi. Meskipun dalam evaluasinya harus melibatkan DPR karena badan atau lembaga itu dibentuk melalui UU.
“Di lingkaran kekuasaan presiden saja ada lembaga yang tugasnya hampir sama, sehingga gemuk secara birokrasi. Itu adalah Menteri Sekretariat Negara, Kantor Staf Presiden, dan Sekretariat Kabinet. Mengapa perampingan tidak lebih dulu menyasar lingkaran tersebut?,” tanya Feri.
Perlu parameter yang jelas
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, sepakat latar belakang pembubaran negara harus diukur dengan parameter yang jelas. Apakah keberadaan lembaga non struktural itu benar-benar membuat pemerintahan kurang efektif. Apakah lembaga tersebut bekerja mengatasi masalah atau tidak. Jika tidak ada evaluasi yang jelas, hal itu akan membingungkan publik. Apalagi, lembaga yang dibubarkan itu adalah yang diatur oleh keputusan presiden (keppres) dan peraturan presiden (perpres). Hingga akhirnya, tugas dan fungsi lembaga akan dikembalikan ke kementerian terkait. Apakah hal tersebut akan menjamin efektivitas kinerja kementerian terkait?
“Perlu ada ukuran yang jelas soal ini. Apakah program pembubaran LSN akan menciptakan efisiensi, tentu saja iya. Namun, bicara soal efektivitas kinerja tentu harus dievaluasi terlebih dahulu,” kata Bivitri.
Di dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, menurut Bivitri, alasan yang dipaparkan baru sekadar efisiensi. Belum menyentuh pada aspek efektivitas kinerja. Apabila pemerintah memang ingin melakukan efisiensi dan perampingan birokrasi, seharusnya yang disasar tidak hanya LNS. Tetapi juga badan atau lembaga yang dibentuk oleh UU.
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, kemunculan LNS awalnya adalah tuntutan reformasi politik di Indonesia. LSN muncul karena ada persoalan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja lembaga struktural peninggalan rezim Soeharto. Sehingga pada saat itu, kemunculan LNS terlalu mudah dibentuk. Bahkan, ada kecenderungan berlebihan. Akhirnya, hal itu menyisakan problem susulan yaitu kegemukan birokrasi.
“Lembaga non struktural muncul karena ada kelambanan birokrasi dalam menyelesaian persoalan publik. Tetapi, munculnya sangat mudah dan berlebihan. Sehingga pada akhirnya LNS ini mudah dimobilisasi dan dipolitisasi,” kata Hurriyah.
Karena terlalu mudah dibentuk, lembaga non struktural pun pada akhirnya memboroskan anggaran, menjadi jalan pintas ketika ada kesenjangan antarlembaga pemerintah, yang pada akhirnya membebani pemerintahan.
Dosen Hukum Administrasi Negara Oce Madril mengatakan, alasan presiden membubarkan lembaga non struktural untuk efisiensi anggaran negara dan perampingan birokrasi masih perlu dikritisi. Sebab, masyarakat belum mengetahui peta jalan penataan itu. Menurut Oce, dari 18 LNS yang akan dibubarkan sebagian besar adalah berbentuk tim, komite, dan dewan yang bersifat sementara (adhoc). Bukan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK). Karena bersifat adhoc, tim, komite, dan dewan itu hanya menangani isu yang sifatnya sementara.
“Ada banyak sekali birokrasi di pemerintahan yang memakai keuangan negara dan sumber daya manusia (SDM) dari pemerintah). Ini harus ada jalan keluarnya karena memang ada isu keuangan negara dan kepegawaian yang harus dirapikan,” terang Oce.
“Ada banyak sekali birokrasi di pemerintahan yang memakai keuangan negara dan sumber daya manusia (SDM) dari pemerintah). Ini harus ada jalan keluarnya karena memang ada isu keuangan negara dan kepegawaian yang harus dirapikan”
Di sisi lain, banyaknya lembaga non struktural yang dibentuk itu juga menunjukkan bahwa sebenarnya kinerja kementerian kurang baik dalam menangani masalah tertentu. Sehingga diperlukan hadirnya lembaga non struktural yang menopang kinerja tersebut. Padahal, seharusnya dari sisi hukum tata kelembagaan, kementerian harus siap dengan urusan yang menjadi tupoksi. Walaupun, urusan itu bersifat actual dan dinamis.
“Padahal, dari 34 kementerian yang dibentuk presiden itu sebenarnya kan sudah ada Badan Penelitian Pengembangan (Litbang), Unit Pelaksana Tugas/Teknis. Tetapi masih tidak mampu menjawab urusan tertentu. Seharusnya ini juga dievaluasi oleh pemerintah,” kata Oce.
Oleh karena itu, menurut Oce, pembubaran LNS yang ditargetkan masih akan berlangsung itu, harus dievaluasi secara komprehensif. Terutama melihat tupoksi LNS disesuaikan dengan visi misi presiden. Dalam hal pemberantasan korupsi misalnya, keberadaan tim saber pungli dan Tim Transparansi Industri Ekstraktif masih diperlukan. Di bidang lingkungan, badan restorasi gambut juga seharusnya tidak dihilangkan.